29 Oktober 2012

Modal dan Resiko Bank

.
Sesuai dengan persamaan akuntasi Aset = Utang + Modal, maka setiap perubahan di Aset akan memengaruhi Utang dan atau Modal melalui laba rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca bank, yang memiliki aset Rp 100, Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga kredit dan deposito masing-masing 6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar (default rate) sebesar 0%, aset bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp 106 dan modal menjadi Rp 6,25 melalui proses peningkatan laba sebesar Rp 1,25. Namun, dengan gagal bayar sebesar 4%, maka modal bank telah tergerus sebesar Rp 2,99 sehingga menjadi 2,01. Akibatnya pemilik bank akan mengalami kerugian karena tingkat pengembalian modal (ROE) menjadi minus 69,80%, dibandingkan dengan bila tidak terjadi gagal bayar dengan ROE 25%. Bila proses bisnis terus memburuk, misalnya gagal bayar menjadi 8%, maka modal bank menjadi minus Rp 2,23, karena pendapatan bank menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya utang (bunga) tidak boleh default.  

Neraca pertama memberikan gambaran kepada kita bahwa kegagalan mengelola bank akan berdampak penciptaan nilai bagi pemegang saham, yakni merugi dan ancaman untuk dilikuidasi karena modal sudah negatif. Untuk mengatasinya, tindakan yang harus diambil adalah dengan menambah modal menjadi Rp 10. Pada neraca kedua, dengan gagal bayar 8%, bank tetap bertahan dalam bisnis, tidak dilikuidasi karena modal bank masih positif Rp 3,02. Namun, bila bank dikelola dengan semberono atau tidak mampu berselancar di atas gelombang perubahan yang menimbulkan resiko strategik dan resiko kredit, maka dengan gagal bayar yang lebih tinggi, misalnya 11%, bank ini membutuhkan injeksi modal baru. Artinya, injeksi modal bank tidak akan memberi manfaat dalam jangka panjang bila resiko yang dihadapi tidak dikelola dengan baik. Tetapi, dalam jangka pendek, injeksi modal telah membuat bank tetap bertahan dalam menghadapi gejolak.

28 Oktober 2012

Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia

Hidup penuh dengan risiko yang terduga maupun tidak terduga, oleh karena itulah kita perlu memahami tentang asuransi. Beberapa kejadian alam yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini dan memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun harta, seperti mengingatkan kita akan perlunya asuransi. Bagi setiap anggota masyarakat termasuk dunia usaha, resiko untuk mengalami ketidakberuntungan seperti ini selalu ada. Dalam rangka mengatasi kerugian yang timbul, manusia mengembangkan mekanisme yang saat ini kita kenal sebagai asuransi.

Fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan resiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan resiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan resiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya.


Asuransi jiwa adalah jawaban yang sangat tepat untuk menunjang kebutuhan kita yang tidak terduga nanti. Lalu dimanakah kita bisa mendapatkan Asuransi Jiwa Terbaik ? Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa adalah Commonwealth Life, Commowealth Life merupakan salah satu  Asuransi Jiwa Indonesia yang memiliki visi cukup baik yaitu menjadi Menjadi Perusahaan Penyedia Pelayanan Asuransi Jiwa Terbaik di Indonesia, yang Terbaik dalam hal Pelayanan Pelanggan.

Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia telah banyak memberikan keuntungan dan kenyamanan bagi pemegang polis (nasabah), memiliki kinerja cukup baik dan Asuransi Jiwa Commonwealth Life sangat sehat dan mampu bertahan hingga saat ini ditengah persaingan asuransi lainnya. Commonwealth Life mulai melayani Nasabah sejak tahun 1992 dengan nama Astra Jardine yang kemudian berubah nama menjadi Astra CMG Life sampai dengan tahun 2007. Nama PT Commonwealth Life diperkenalkan untuk pertama kalinya pada Juli 2007, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor W7-07188 HT.01.04-TH 2007 tentang Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.

Saat ini saham terbesar Commonwealth Life dimiliki oleh Commowealth Bank of Australia (CBA) Group sebesar 80% (CMG Asia Life Holdings Limited 50% saham dan Commwealth Life International Holdings PTY LTD 30% saham)  dan 20% oleh PT Gala Arta Jaya. CBA adalah salah satu perusahaan penyedia jasa keuangan terkemuka yang menguasai industri perbankan dan asuransi di Australia. Dua perusahaan asuransi jiwa CBA yang lebih awal berdiri adalah ‘CommInsure’ di Australia' dan ‘Sovereign’ di New Zealand yang keduanya merupakan perusahaan asuransi jiwa terbaik di masing-masing negara.

Seiring dengan visi dan misi perusahaan untuk selalu menjadi yang terbaik, Commonwealth Life terus mengembangkan produk dan layanannya yang tersebar di 19 kota besar dan didukung oleh lebih dari 7.500 Sales Force di seluruh Indonesia yang melayani Nasabah individu dan kumpulan.
Peta Jaringan Commonwealth Life yang hampir tersebar di Seluruh Indonesia
Lalu program asuransi seperti apa yang ditawarkan oleh Commonwealth Life ? Commonwealth Life menawarkan produk asuransi seperti : Proteksi, simpanan & Investasi dalam program unit link (Investra Link), asuransi jiwa tradisional (Danatra Cendekia, Danatra Sejahtera), perlindungan terhadap tabungan dan kredit (COMM Protection), serta program asuransi tambahan (asuransi kecelakaan, jaminan rawat inap, penyakit kritis).

Performa keuangan Commonwealth Life sendiri telah berhasil mengalami banyak peningkatan pada Laporan Keuangan 2011. Pos laba meningkat dengan jumlah Rp 181 miliar lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yakni sebesar Rp 148 miliar. Peningkatan ini membawa pengaruh terhadap kenaikan pos laporan lainnya seperti kenaikan rasio kecukupan modal (Risk Based Capital – RBC) yaitu 676% sekitar lima kali lebih tinggi dari angka ketentuan oleh pemerintah. Total aset di 2010 sebesar Rp 4 triliun dan meningkat hingga Rp 3,9 triliun di 2011. Prestasi ini akan memberikan motivasi kepada Commonwealth Life untuk berada pada tingkat yang lebih tinggi lagi dalam perusahaan Asuransi Jiwa Indonesia.

Untuk program asuransi kumpulan (group) dan perlindungan kredit (credit life), Commonwealth Life juga bermitra dengan beberapa perusahaan besar lainnya seperti PermataBank, Commonwealth Bank, Bank BTPN, BCA Finance, BII Maybank, Bank BNP, Bank OCBC NISP, Bank Index, Bank Mayora, Adira Insurance, Olympindo Multifinance. Selain itu, Commonwealth Life juga mendistribusikan berbagai produknya kepada Mitra Bank dan Non-Bank melalui program Bancassurance, mitra bisnis meraka antara lain adalah Citibank, BCA Card, AstraWorld, Telkomsel, PermataBank, Commonwealth Bank, Astra Credit Companies.

Untuk menjamin kemanan dan kenyamanan Nasabah berasuransi, Commonwealth Life memilih mitra perusahaan reasuransi yang memiliki reputasi internasional. Kredibilitas ini ditunjukkan dengan rating yang dikeluarkan oleh lembaga rating ternama yaitu:
  • Cologne Re (rating AA+ oleh Standard Credit Rating)
  • Gen Re (rating AA+ oleh Standard & Poor's)
  • Marein (rating A oleh Pefindo)
  • MetLife (rating A+ oleh Standard & Poor's)
  • Munich (rating AA- oleh Standard & Poor's)
  • ReIndo - Reasuransi Indonesia (rating A+ oleh Pefindo)

Tidak salah jika anda menjatuhkan pilihan untuk melakukan perlindungan asuransi  terhadap diri maupun keluarga dengan Asuransi Jiwa Commonwealth Life, saya sendiri berada di kota pekanbaru dan kebetulan Asuransi Jiwa Commonwealth Life telah memiliki jaringan di Kota pekanbaru dalam waktu dekat dalam kesempatan pertama saya akan berkunjung ke Asuransi Jiwa Commonwealth Life untuk bertanya-tanya. Bagi yang tertarik ataupun penasaran dengan produk Asuransi Jiwa Commonwealth Life tidak ada salahnya jika anda datang ke Cabang Asuransi Jiwa Commonwealth Life yang terdekat di Kota Anda atau mengunjungi halaman resmi Asuransi jiwa indonesia Commonwealth Life  atau menghubungi Commonwealth Center di Nomor  500 525 pada jam kerja.

27 Oktober 2012

Shadow Banking, Siapa yang Mengawasi

Pengaturan terhadap shadow banking ini mendesak. Sebelum terjadi korban berikutnya. Dan, setiap krisis senantiasa menyebabkan kematian lembaga-lambaga shadow banking—yang makin nyata ini. Siapa yang mengawasi ? 

Jangan ditanya tingkat keuntungan bank-bank di Indonesia. Yang jelas, sangat tebal dan menggiurkan siapa saja, baik dari sisi margin maupun perolehan laba tahun berjalan. Kondisi itu sungguh membuat ngiler siapa saja, termasuk lembaga yang bergerak seperti bank (bank gelap) atau shadow banking dalam banyak cerita di dunia.

Cerita nikmatnya margin yang diperoleh bank-bank di Indonesia bahkan mengusik Bank Indonesia (BI). BI pun terganggu dan berusaha mengatur tingkat perolehan margin dengan membuat banyak kebijakan dan pernyataan bahwa tingkat keuntungan bank di Indonesia sudah tidak wajar dan perlu dikurangi karena bank-bank tidak efisien.

Sinyal Krisis Perbankan

Harus diakui memang masih ada indikator lain yang harus diwaspadai terkait dengan belum jelasnya penanganan krisis di Eropa. Sangat bijak kalau kita tidak selalu menghibur diri dengan mengatakan bahwa dampak krisis Eropa sudah dapat dikendalikan. 

Perkembangan terbaru dari krisis perbankan di Eropa memberikan indikasi yang belum menggembirakan. Banyak analis memperkirakan bahwa krisis tersebut lambat laun akan merambat ke kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Apakah krisis akan berdampak secara langsung (first round) ataupun tidak langsung (second round), itu hanya persoalan waktu. Tapi, jika bicara tentang besaran dampaknya, tentu akan berbeda untuk masing-masing negara, termasuk tiap bank di negara bersangkutan.

Terlepas dari kapan dan besar kecilnya dampak krisis di Eropa terhadap perekonomian Indonesia dan khususnya sektor perbankan, ada baiknya kita ingat pepatah bijak, sedialah payung sebelum hujan. Bukan sebaliknya, ketika hujan justru kita sibuk mencari payung. Dalam konteks antisipasi dampak krisis Eropa terhadap sektor perbankan khususnya, kita harus bijak mencermati lebih intensif atas situasi perkembangan yang ada. Ada beberapa indikasi yang mengharuskan kita lebih siaga.

Pertama, karena informasi sudah sedemikian mudah didapat, maka sangat wajar kalau semua pelaku bisnis sudah mengetahui apa yang terjadi atas krisis di Eropa. Di satu sisi, hal ini positif karena mereka bisa mendapatkan informasi terkini, tapi di lain pihak mereka juga dapat melakukan langkah-langkah sendiri yang bisa jadi tidak selalu tepat. Dengan perkataan lain, semakin banyak antisipasi mereka, bisa saja berdampak negatif bagi lainnya.
Salah satu kecenderungan yang terjadi adalah semakin banyaknya dana dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dipindahkan dari simpanan berjangka (deposito) ke simpanan yang sangat likuid, yaitu giro. Kecenderungan tersebut terjadi pada kalangan pengusaha khususnya, bukan lagi untuk mendapatkan imbalan bunga, tetapi lebih kepada kebutuhan likuiditas di satu pihak dan boleh jadi spekulasi dengan mencari keuntungan (profit taking) di tengah pelemahan rupiah.

Apabila semua pengusaha memiliki kecenderungan yang sama, di mana dananya lebih banyak ditempatkan di giro, misalnya, perbankan tentunya harus ekstra menjaga likuditas karena setiap saat dana tersebut bisa dicairkan untuk keperluan apa pun.

Seyogianya bank tidak “terlena” karena mendapat sumber dana murah, tapi stabilitas dalam jangka panjang akan mengganggu likuditasnya. Harus ada langkah strategis yang saling menguntungkan, baik bagi bank maupun nasabah dalam menghadapi kondisi tersebut.

Kedua, sekalipun likuiditas perbankan dalam kondisi baik, dari sisi nasabah penerima kredit bisa terjadi yang sebaliknya. Misalnya, kreditor yang berorientasi ekspor sudah mulai merasakannya, selain permintaan mulai berkurang, harganya cenderung turun. Bila keduanya berjalan pararel, maka persoalan yang timbul adalah menurunnya kemampuan membayar. Jika kondisi itu terjadi secara serempak, bisa jadi non performing loan (NPL) akan naik dan akhirnya memengaruhi kinerja bank.

Saat ini gejala tersebut belum begitu terasa, tapi ada kemungkinan akan membesar. Kalau ekspor terus menurun dan dibarengi harga komoditasnya, praktis akan mengganggu arus kas (cash flow) perusahaan. Belum lagi bagi industri yang bahan bakunya masih impor, gangguan arus kas terjadi dari dua sisi, yaitu biaya dan pendapatan.

Ketiga, ketidakpastian sering kali mengundang isu dan rumor di pasar. Kondisi ini sulit dihindari karena mereka juga memiliki akses informasi yang relatif mudah dan bebas. Tentunya akan sangat tidak produktif kalau hal tersebut terus berkembang sehingga perlu adanya penyeimbang informasi, termasuk dari pemerintah.

Indonesia di masa lalu punya pengalaman yang kurang baik, di mana semakin sering dinyatakan tidak ada masalah, justru dalam tempo yang relatif singkat masalah itu terjadi. Sering disampaikan bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Pernah disampaikan juga bahwa kondisi perbankan dalam keadaan sehat, lalu tiba-tiba muncul masalah Bank Global dan Bank Century.
Belajar dari pengalaman masa lalu itu, seyogianya keterbukaan informasi lebih sering dilakukan. Memang akan menjadi buah simalakama. Semakin terbuka bisa saja direspons positif, tapi tak jarang pula respons pasar atau pelaku bisnis khususnya malah sebaliknya. Andai diambil untung ruginya, nampaknya tetap lebih baik kalau keterbukaan informasi dan penyampaian kondisi kekinian lebih banyak dilakukan.

Penyampaian informasi terkini tentunya harus disertai dengan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan/atau regulator. Dengan adanya rencana langkah-langkah yang jelas, terbuka, serta rasional, akan mengurangi isu negatif atau rumor sekalipun tidak hilang sama sekali.
Ketiga catatan tersebut merupakan bagian-bagian yang termasuk penting. Harus diakui memang masih ada indikator lain yang harus diwaspadai terkait dengan belum jelasnya penanganan krisis di Eropa. Sangat bijak kalau kita tidak selalu menghibur diri dengan mengatakan bahwa dampak krisis Eropa sudah dapat dikendalikan.

Kalau hanya data-data publikasi, baik dari luar maupun dalam negeri yang digunakan, kita bisa jadi akan terjebak dalam pola pikir yang linier. Artinya, karena data-data sebelumnya baik, maka disimpulkan ke depan akan tetap baik. Padahal, krisis terjadi lantaran adanya “break” (menjadi tidak linier) sehingga tidak selalu semua data yang menunjukkan indikasi positif akan berlaku untuk seterusnya.

Pihak pemerintah dan regulator (Bank Indonesia atau BI) sudah mengumpulkan dan mengkaji berbagai sinyal yang berkaitan dengan dampak krisis Eropa. Berbagai simulasi (stress test) sudah dilakukan dan juga berbagai langkah penanganannya sudah disiapkan.
Demikian juga beberapa instrumen keuangan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas perbankan khususnya juga sudah ada dan akan terus disempurnakan. Semua itu tentunya berkaitan dengan sedia payung sebelum hujan. Semoga kita memiliki payung yang tidak mudah bocor dan rusak. Lebih celaka lagi ketika hujan reda, kita baru punya payung. 

26 Oktober 2012

Gaji Bankir dan Multi Licence

Jangan sampai pasar yang besar itu kita sediakan hanya untuk kepentingan asing dengan dalil efisiensi—yang faktanya bank-bank swasta milik asing juga tidak efisien dan justru menikmati margin yang besar. 

Bank Indonesia (BI) kembali hendak meluncurkan beleid baru tentang pengaturan perbankan. Salah satunya adalah pemberian izin berjenjang kepada bank-bank. Nantinya bank tidak boleh seenaknya melakukan ekspansi seperti sekarang, yang punya satu izin bisa untuk apa saja. BI akan membuat aturan tentang izin berjenjang (multi licence).

Tidak hanya soal izin berjenjang, BI juga tengah menggodok masalah remunerasi para bankir di Indonesia. BI menilai, gaji bankir di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan bankir di kasawan ASEAN. Pemicu BI akan mengatur masalah gaji bankir sejatinya adalah “oleh-oleh” krisis di Amerika Serikat (AS), yang salah satunya karena besaran remunerasi bagi para bankir perbankan di negara tersebut.

BI Rate Tetap 5,75%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut dipandang masih konsisten dengan tekanan inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2012 dan 2013, yaitu 4,5% ± 1%. Fokus kebijakan tetap diarahkan untuk menjaga keseimbangan eksternal dengan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi domestik. Rapat Dewan Gubernur memandang bahwa berbagai kebijakan yang dilakukan sebelumnya telah mendorong penurunan defisit transaksi berjalan. Sementara itu, perekonomian domestik masih tumbuh cukup baik meskipun tidak setinggi prakiraan sebelumnya akibat berlanjutnya pelemahan perekonomian global. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengevaluasi dampak dari kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan dan apabila diperlukan akan mengambil langkah-langkah kebijakan lanjutan sesuai dengan dinamika perekonomian. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam mengelola permintaan domestik dan perbaikan neraca pembayaran agar tetap sejalan dengan upaya menjaga kestabilan ekonomi makro dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional. 

Dewan Gubernur mencermati bahwa perekonomian global cenderung tumbuh lebih lambat dari perkiraan dan masih dibayangi dengan ketidakpastian. Pemulihan ekonomi AS masih rentan, sementara ekonomi Eropa masih mengalami kontraksi seiring krisis yang masih berlanjut. Di sisi lain, perekonomian China dan India juga diprakirakan semakin menurun. Inflasi global secara umum juga relatif moderat, sejalan dengan harga komoditas dunia yang masih cenderung turun. Kondisi tersebut mendorong otoritas di berbagai negara untuk menempuh kebijakan yang lebih longgar untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini telah menimbulkan sentimen positif di pasar keuangan global, termasuk arus modal asing ke negara-negara emerging