Blanket guarantee memang bisa memberikan rasa aman dan membangkitkan confidence masyarakat. Sekarang momentum yang paling baik untuk mengganti era blanket guarantee dengan era LPS. Apa latarnya?
Pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sebenarnya merupakan obsesi lama sektor perbankan kita. Ketika Bank Summa dilikuidasi pada 1992, isu ini sudah mulai mengemuka. Ketika sebuah bank ditutup pemerintah, nasabah pun tidak mendapat perlindungan yang memadai. Mereka harus lama menunggu dan mengurus sebelum mendapatkan kembali haknya. Dalam kasus penutupan Bank Summa, diperlukan tempo empat tahun untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya. Bahkan, konon, sampai sekarang masih ada saja yang belum beres secara tuntas.
Dari kasus itu, kemudian timbul ide bahwa sektor perbankan kita memang memerlukan sebuah lembaga penjaminan dana nasabah yang disimpan di bank. Sehingga, jika sewaktu-waktu bank bangkrut, kepentingan nasabah terlindungi asuransi. Ide tersebut tentu saja bukan suatu hal baru. Sebab, tatkala terjadi the great depression pada 1930-an, pembentukan LPS menjadi suatu safety net yang amat penting.
Sesudah kasus Bank Summa, ide tentang LPS ini kembali tenggelam di tengah hiruk-pikuknya euforia perbankan. Sejak deregulasi Paket 27 Oktober 1987 (Pakto 87), sektor perbankan memang mengalami euforia luar biasa yang hanya sedikit mengalami jeda ketika crash menimpa Bank Summa.
Ide tentang LPS sebenarnya tak pernah mati. Secara sporadis, masih sering dilontarkan ide untuk membentuknya. Argumentasinya sangat jelas. Satu, kita pernah mengalami sendiri kasus Bank Summa. Dua, secara internasional pun sudah ada contoh sejarah bahwa LPS memang diperlukan untuk memberi rasa aman bagi nasabah.
Pengalaman internasional yang paling berharga adalah pembentukan Federal Deposit Insurance Company (FDIC) di Amerika Serikat pada 1934. LPS ini dibentuk sebagai respons atas kasus kepanikan perbankan yang menimpa Negeri Paman Sam itu pada 1932, yakni pada zaman depresi besar. Seperti halnya negara-negara maju di Eropa, sektor perbankan Amerika Serikat tidak luput dilanda kepanikan yang muncul bersama dengan kepanikan di bursa saham Wall Street, New York.
Dalam dunia perbankan, ada adagium sederhana bahwa “jika sebagian besar nasabah menarik uangnya bersama-sama, bank sekuat apa pun tak akan bisa bertahan dan bisa dipastikan akan segera bangkrut”. Adagium tersebut berlaku universal. Dan, Amerika Serikat bukanlah sebuah perkecualian. Rush yang hebat ini telah menghancurkan sektor perbankan. Sehingga, kemudian muncul ide untuk membentuk FDIC.
FDIC adalah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk menjamin simpanan nasabah di bank. Setiap simpanan nasabah dijamin dengan batas tertinggi US$100.000 per rekening. Ketika zaman makin berkembang dan peta perekonomian berubah cepat, FDIC mengalami modifikasi. Penjaminan per rekening pun terus berubah, misalnya menjadi maksimal US$200.000 per rekening. Itu pun dengan catatan bahwa banyak nasabah besar yang memecah rekeningnya menjadi beberapa (lebih dari satu) supaya semua simpanannya ter-cover oleh skema penjaminan.
Misalnya, seseorang memiliki simpanan US$1 juta. Supaya aman, simpanan tersebut dipecah ke dalam lima rekening, sehingga semuanya mendapat jaminan FDIC. Hal tersebut disadari benar oleh pengelola FDIC. Mereka tahu praktek “portofolio” semacam itu. Tapi, hak setiap orang untuk mengamankan semua simpanannya dengan cara itu. Dan, itu tidak bisa dianggap melanggar aturan.
Dari sini, kita bisa menarik pelajaran bahwa pada dasarnya semua nasabah (deposan) pasti menghendaki semua simpanannya terjamin di bank. Makin tinggi plafonnya, makin baik.
Namun, di sisi lain, dari kacamata pemerintah dan lembaga penjamin, penjaminan yang terlalu besar atau bahkan tak terhingga seperti halnya skema penjaminan blanket guarantee akan sangat rawan menyebabkan praktek moral hazard. Pengelola bank akan bersikap seenaknya dan cenderung nothing to lose dalam mengelola dana pihak ketiga (DPK). Sebab, setiap simpanan sudah otomatis dijamin lembaga penjaminan.
Di Indonesia, LPS sudah menjadi kebutuhan yang mendesak setelah terjadi crash terdahsyat dalam sejarah perbankan Indonesia pada 1 November 1997, yakni ketika pemerintah yang didukung rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) menutup 16 bank yang mengalami defaults.
Menghadapi bank-bank yang sudah insolvent dalam waktu sekian lama, pemerintah pun dihadapkan pada pilihan menutup bank-bank tersebut. Bahkan, waktu itu, tindakan tersebut banyak mendapat simpati. Sebab, ternyata, beberapa bank yang terkait dengan Keluarga Cendana pun tak bisa menghindar dari tebasan pedang likuidasi. Pendeknya, kebijakan tersebut mendapat dukungan yang cukup secara politis karena dianggap objektif. Tapi, apa yang kemudian terjadi?
Kebijakan tersebut belakangan menuai kritik dan menjadi salah satu blunder terbesar yang dilakukan IMF di Indonesia. Joseph E. Stiglitz (2002), misalnya. Dia menulis, “Bagaimana mungkin IMF menutup bank-bank di Indonesia tanpa terlebih dulu menyiapkan financial safety nets-nya?”.
Yang dimaksud Stiglitz adalah mestinya IMF membuat terlebih dulu skema penjaminan nasabah yang merupakan jaring pengaman (safety nets). Sebab, hal itu bisa mengurangi dampak negatif penutupan bank yang dramatis tersebut.
Menutup serombongan bank (16 bank) tatkala confidence tengah tipis ternyata sama saja dengan bunuh diri. Segera setelah penutupan 16 bank, masyarakat pun berbondong-bondong menarik dananya. Saya pikir, respons mereka sudah logis. Mana ada nasabah yang mau duitnya terjebak di bank dan sulit ditarik kembali jika dilikuidasi. Pengalaman kasus Bank Summa sudah amat cukup menjadi benchmark pahit.
Desember 1997 dan Januari 1998 merupakan puncak penarikan dana dari perbankan. Mereka kemudian memindahkan dananya ke bank-bank asing, membeli valuta asing, atau bahkan menyimpannya di luar negeri demi keamanan (flight for safety).
Pemerintah (bersama IMF) baru ngeh terhadap situasi ini setelah segala sesuatunya berkembang amat buruk. Skema penjaminan total atau 100% simpanan nasabah di bank (blanket guarantee) akhirnya diberlakukan pada 27 Januari 1998. Tapi, semua itu sudah terlambat. Bank sudah berdarah-darah dan dana pun kabur ke luar negeri.
Akibatnya, timbullah skema pencairan liquidity support atau dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi sangat kontroversial itu. Dalam situasi panik semacam itu, BLBI merupakan keniscayaan.
Namun, kita juga tak boleh menutup mata atau pura-pura naif bahwa di sela-sela kesempitan itu senantiasa ada kesempatan untuk berbuat jahat. Terjadilah praktek-praktek moral hazard ketika dana BLBI tidak dialirkan sebagaimana mestinya. Ada yang dipakai untuk membayar utang, ada yang dipakai untuk menambah modal dengan cara berputar—dana itu dicairkan terlebih dulu seolah-olah ditarik nasabah—dan ada pula yang digondol ke luar negeri.
Siapa yang salah? Pasti pihak yang menerima dana BLBI. Tapi, kita juga tak boleh lengah, kesalahan bisa juga terletak pada pemberinya, yakni Bank Indonesia (BI). Pendeknya, moral hazard semacam itu sangat dimungkinkan terjadi “berkat kerja sama pihak-pihak”. Jadi, bukan pekerjaan satu orang saja. Tidak seperti pengamen yang bisa menyanyi solo. Duit sebanyak itu bisa bobol karena kerja sama yang “harmonis”, mirip sebuah orkestra. Jadi, konyol kalau beranggapan bahwa yang bersalah dalam kasus BLBI cuma sepihak. Atau, bahkan, yang dianggap bersalah cuma “manajemen” BI (gubernur dan para direkturnya).
Sulit dipahami jika jaksa dan pengadilan hanya membidik kesalahan pada policy-nya, seperti yang terungkap dalam pengadilan kasus sejumlah mantan Direktur BI: Hendro Budiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Soetopo. Dan, belakangan juga akan menyusul mantan Gubernur BI, J. Soedradjad Djiwandono.
Apakah tidak terpikir bahwa kesalahan lebih dilakukan level pelaksana, bukan pada level policy decision making? Harus dikaji lagi, apakah ini kesalahan makrostrategis ataukah operasional-teknis.
Kembali ke soal LPS. Lembaga ini jelas amat diperlukan karena blanket guarantee bukanlah pilihan terbaik. Meski blanket guarantee memberi rasa aman dan membangkitkan confidence masyarakat, ia tetap mengandung celah kelemahan. Adanya blanket guarantee bisa menimbulkan moral hazard di kalangan manajemen perbankan. Bankir yang integritasnya rendah, sekalipun sudah lulus fit and proper test oleh BI, bisa saja menjalankan praktek moral hazard. Sebab, jika banknya mengalami default, toh, dana simapanan masyarakat tetap terjamin.
Selama ini, pembentukan LPS selalu tertunda-tunda karena otoritas moneter masih belum yakin bahwa timing-nya sudah tepat. Saya sependapat bahwa faktor timing harus menduduki prioritas tinggi dalam memutuskan pembentukan LPS. Sebab, jika tidak dilakukan pada saat yang tepat, hanya akan menimbulkan kepanikan baru.
Pertanyaannya, apakah sekarang merupakan saat yang tepat? Saya berani menjawab, “ya”. Memang, kalau dipikir-pikir, selalu saja kita merasa kondisinya belum kondusif. Tapi, dengan posisi rupiah di level Rp8.500 per US$1—bahkan pernah sedikit di bawah Rp8.000 per US$1—suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang menembus 9%, inflasi yang hanya 7%, dan cadangan devisa yang hampir US$34 miliar—neto US$25 miliar plus utang dari IMF US$9 miliar—apa lagi yang mesti ditunggu?
Setidaknya, situasi sekarang merupakan yang terbaik dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Karena itu, kalau pemerintah tidak segera memanfaatkan momentum ini untuk melahirkan LPS, saya khawatir, kita tidak sempat lagi memperolehnya pada masa mendatang.
Situasi ini kurang lebih sama dengan tatkala kita harus memutuskan keluar dari IMF. Ternyata, kita toh akhirnya berani keluar dari kontrak IMF. Sebab, kalau sekarang tidak berani, tak ada jaminan bahwa momentum bagus seperti sekarang bisa kita dapatkan lagi kelak. Begitu pula soal kelahiran LPS ini. Selamat datang era LPS, selamat tinggal era blanket guarantee
6 komentar:
makasih banyak y kawan Info nya...salam kenal..
good luck always kwan
makasih seringnya gan, moga tambah sukses kedepannya,.... saya juga doa'in ya xixixixixi
makasih banyak y kawan dah share Info nya...
semoga sukses slelalu salam kenal kawan
semoga sukses tuk kedepan nya...makasih dah share Info nya...nice Post kawan
Makasih informasinya.
makasih banyak y kawan dah share Info nya....
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.