Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva, Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit.
A. Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum
Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat.
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
3. kebijakan persetujuan kredit;
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
5. pengawasan kredit;
6. penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan
perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.
B. Batas Maksimum Pemberian Kredit
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan
usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik
kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar pengaturan dalam UU Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit, tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana bank dalam bentuk :
a. kredit;
b. surat berharga;
c. penempatan;
d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
e. tagihan akseptasi;
f. darivatif kredit (credit derivative);
g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit, standby letter of credit);
h. tagihan derivatif;
i. potential future credit exposure;
j. penyertaan modal;
k. penyertaan modal sementara;
l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k.
Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan.
Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tidak diperlakukan sebagai kelompok peminjam sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan dana bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak dapat dilakukan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank.
Kemudian dapat ditambahkan bahwa pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari peritungan BMPK sepanjang wesel ekspor berjangka diterbitkan atas dasar letter of credit berjangka yang sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku, dan telah diaksep oleh Prime Bank. Bank yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat pemberian penyediaan dana.
Sementara, pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud di atas.
Penyediaan dana oleh Bank dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh :
a. penurunan modal bank;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam;
e. perubahan ketentuan.
Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK, bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindakan (action plan) untuk penyelesaiannya yang setidaknya memuat langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam PBI No. 7/3/PBI/2005.
Bank yang menyampaikan action plan untuk pelanggaran BMPK setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. Sementara, bank yang menyampaikan action plan untuk pelampauan BMPK setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
Selanjutnya bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan pelaksanaan action plan masing-masing untuk pelanggaran BMPK dan pelampauan BMPK kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah realisasi action plan.
Bank yang menyampaikan laporan pelaksanaan action plan setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
Bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK sesuai dengan action plan setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 1 (satu) minggu untuk setiap teguran, dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan, antara lain berupa :
a. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi penyediaan dana; dan atau
c. larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring.
Selain itu, terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50 dan Pasal 50 A UU Perbankan.
C. Penilaian Kualitas Aktiva
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini maupun di waktu yang akan datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam mengelola portofolio aset bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank perlu meminimalkan potensi kerugian atas penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pengurus bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehatihatian yang terkait dengan transaksi-transaksi dimaksud. Hal di atas diatur dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan bank (dalam hal ini Direksi) untuk menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif) senantiasa baik.
Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaantransaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Sementara, Aktiva Non Produktif adalah aset bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih. Dalam Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 diatur bahwa bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, hal ini juga berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) bank (termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi). Dalam hal terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif, maka kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah.
Ketentuan untuk menetapkan kualitas yang sama tersebut di atas juga berlaku terhadap Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama (vide Pasal 6 PBI No. 7/2/PBI/2005). Termasuk dalam pengertian ‘proyek yang sama’ antara lain apabila :
a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap signifikan antara lain apabila proses produksi di suatu entitas tergantung pada proses produksi entitas lain, misalnya adanya ketergantungan bahan baku dalam proses produksi.
b. kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara signifikan apabila cash flow entitas lain mengalami gangguan.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar. Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Sementara, penilaian terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
Kemudian penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut :
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur;
c. kelengkapan dokumentasi kredit;
d. kepatuhan terhadap perjanjian kredit;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar) dengan mempertimbangkan komponen-komponen di atas. Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian itu, kualitas kredit ditetapkan menjadi : Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. PPA meliputi cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif, dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. Cadangan umum sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan paling kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar. Sementara, cadangan khusus ditetapkan paling kurang sebesar :
a. 5 % (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15 % (lima belas peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50 % (lima puluh peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi nilai agunan;
d. 100 % (seratus peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan;
Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut :
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
b. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan;
c. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau
d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Untuk kredit bermasalah, salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian pada kredit bermasalah tersebut adalah bahwa bank juga dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah dilakukan restruktuirisasi. Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual. Untuk itu bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank.
Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar atau telah dikatagorikan Macet serta bank telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali penyediaan dana tersebut, bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih.
Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus buku penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur. Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban debitur (tagihan kepada debitur) yang tidak mungkin lagi diselesaikan oleh debitur.
D. Sistem Informasi Debitur
Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh sistem informasi yang utuh dan komprehensif
mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur dapat mendukung percepatan proses analisa dan pengambilan keputusan pemberian kredit. Untuk kepentingan manajemen risiko, sistem informasi mengenai profil dan kondisi debitur
dibutuhkan untuk menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu tersedianya informasi kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan sinkronisasi penilaian kualitas debitur di antara bank pelapor.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia berperan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia mengembangkan sistem informasi debitur yang dari waktu ke waktu selalu disempurnakan untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Ketentuan mengenai sistem informasi debitur tersebut diatur dalam PBI No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan ketentuan PBI tersebut, bank umum, penyelenggara kartu kredit selain bank dan BPR yang memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih wajib menyampaikan laporan debitur kepada Bank Indonesia setiap bulan meliputi informasi mengenai debitur, pengurus dan pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang menerima penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih).
Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang memiliki total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat menjadi pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani surat pernyataan keikutsertaan anggota.
Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta informasi debitur kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas debitur, pemilik dan pengurus, fasilitas penyediaan dana yang diterima debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas. Informasi yang diperoleh pelapor tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan pelapor dalam rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana, dan atau identifikasi kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang berlaku.
E. Kredit kepada Pihak Asing
Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar dunia.
Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestik digunakan oleh warga negara asing dan badan asing di dalam negeri, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan badan asing.
Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas, peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga neara asing dan badan asing dalam perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan menetapkan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun PBI No 3/3/PBI/2001telah menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestik, namun masih dirasakan perlu dilakukan berbagai penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil agar ketentuan yang berlaku tidak
menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam perekonomian domestik secara keseluruhan dan dipihak lain dapat tetap menunjang tercapainya stabilitas sistem keuangan dan moneter di dalam negeri.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia mencabut PBI No 3/3/PBI/2001 dan mengeluarkan PBI No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Berdasarkan peraturan tersebut, bank dilarang memberikan kredit baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut meliputi :
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki status pnduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
Pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas meliputi:
a. kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
1) mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan
3) kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri;
b. kartu kredit;
c. kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
d. cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
e. cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya administrasi;
f. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mngelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank.
F. Kredit kepada Perusahaan Sekuritas
Berdasarkan SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR dan SE BI No. 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham, bank dilarang memberikan kredit untuk jual beli saham kepada perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas. Pemberian kredit kepada perusahaan sekuritas dilakukan oleh bank dengan ketentuan :
a. Setiap bank hanya boleh memberikan kredit kepada suatu perusahaan sekuritas masing-masing dengan maksimum sebesar jumlah yang terkecil antara 25% dari modal perusahaan sekuritas yang bersangkutan atau 15% dari modal bank.
b. Seluruh kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank kepada semua perusahaan sekuritas maksimum sebesar 30% dari modal bank.
Disamping itu, bank dilarang memberikan kredit dengan agunan berupa saham perusahaan lain. Dalam perkembangannya, ketentuan ini dicabut dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No. 26/68/KEP/DIR dan SE BI No. 26/1/UKU tentang Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit masing-masing tanggal 7 September 1993. Berdasarkan ketentuan ini saham boleh dijadikan agunan tambahan dengan syarat selama 3 bulan terakhir aktif diperdagangkan, harga saham tersebut di atas nilai nominal dan nilai saham yang diagunkan adalah 50% dari harga pasar tersebut.
G. Kredit untuk Keperluan Transaksi Derivatif
Pengertian transaksi derivatif berdasarkan SE BI No. 28/15/UD tanggal 18 Februari 1996 adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana. Pihak bank hanya boleh ikut dalam transaksi derivatif dengan dibatasi pada transaksi derivatif yang berkaitan dengan valuta asing (nilai tukar) dan suku bunga. Adapun transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin BI secara kasus per kasus.
Transaksi derivatif yang dilarang dalam kaitannya dengan nasabah bank adalah :
a. Bank dilarang memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan oleh nasabah grup dari bank, direksi, komisaris, pegawai atau pemilik bank yang bersangkutan.
b. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) dalam rangka kewajiban pemenuhan margin deposit nasabah untuk keperluan transaksi derivatif kepada nasabah (vide Pasal 6 ayat (2) SK Direksi BI No. 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif).
Transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah harus berdasarkan kontrak yang sekurang-kurangnya mencakup :
a. Pagu transaksi derivatif
b. Base currency yang digunakan
c. Jenis valuta/instrumen yang dipertukarkan
d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement)
e. Pembukuan laba/rugi transaksi derivatif yang dilakukan
f. Pencatatan atas posisi laba/rugi yang potensial (unrealised)
g. Metode atau cara transaksi derivatif
h. Besarnya komisi
i. Penggunaan kurs konversi
j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif
k. Kerahasiaan, dan
l. Domisili dan hukum yang berlaku.
Transaksi derivatif yang dilakukan tanpa diikuti penyerahan dana/instrumen, kontraknya harus pula mencakup :
a. Jumlah margin deposit
b. Maintenance margin yang ditentukan, dan
c. Hak dan kewajiban nasabah yang harus dicetak dalam huruf yang besar sehingga mudah dibaca.
H. Kredit untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah Laju pertumbuhan pinjaman perbankan yang berlebihan kepada sektor properti merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan moneter dan kesehatan perbankan terutama pemberian kredit untuk pembiayaan pengadaan dan pengolahan tanah sebagai unsur yang banyak mendorong pertumbuhan yang berlebihan pada kredit sektor properti.
Oleh sebab itu, BI telah mengeluarkan SK Direksi BI No. 30/46/KEP/DIR dan SE BI No. 30/2/UK masing-masing tanggal 7 Juli 1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah. Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam kaitannya dengan pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah adalah sebagai berikut :
a. Bank dilarang memberikan kredit kepada pengembang, baik secara langsung maupun tidak langsung dan atau membeli/menjamin surat berharga dari pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah. Pemberian kredit secara langsung adalah pemberian kredit oleh bank langsung kepada pengembang, sedangkan pemberian kredit secara tidak langsung adalah pemberian kredit oleh bank kepada pihak lain yang secara efektif dapat dimanfaatkan oleh pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah.
b. Bank dilarang pula membeli dan atau menjamin surat berharga (surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk pula commercial paper) yang diterbitkan oleh pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah, kecuali surat berharga yang diterbitkan oleh pengembang yang mengkhususkan usahanya di bidang pembangunan rumah sederhana atau jalan tol.
c. Bank dapat memberikan kredit kepada pengembang selain untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah sepanjang memenuhi persyaratan:
1) Harga atau nilai tanah tidak dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pembiayaan sendiri (self financing) nasabah yang dipersyaratkan oleh bank dalam persetujuan kredit.
2) Penyediaan fasilitas kredit untuk pembiayaan pembangunan properti hanya dapat dilakukan atas dasar bukti pemilikan tanah atas nama pengembang atau dokumen lain yang memberikan hak kepada pengembang untuk menggunakan tanah tersebut bagi pembangunan properti yang dibiayai.
3) Pencairan kredit untuk pembiayaan properti hanya dapat dilakukan atas dasar Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau sekurangkurangnya bukti pengajuan permohonan IMB yang dikeluarkan instansi yang berwenang serta surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan pembangunan untuk proyek yang dibiayai antara pengembang dengan kontraktor.
d. Beberapa hal yang dikecualikan :
1) Pemberian kredit untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah yang akad kreditnya dibuat sebelum tanggal 14 Juli 1997.
2) Pengalihan kredit dari pengembang kepada suatu pengembang lain dalam rangka penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo kredit.
3) Perpanjangan jangka waktu kredit dalam rangka penyelamatan tanpa menambah saldo kredit.
4) Pemberian kredit dan atau pembelian/penjaminan surat berharga dari pengembang untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah guna pembangunan rumah sederhana.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemberian kredit kepada pengembang untuk tujuan pembangunan rumah sederhana. Kategori rumah sederhana adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai dengan 200 m2 dengan biaya pembangunan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas tipe C yang berlaku sebagaimana diatur dalam SK Direktur Jenderal, serta rumah susun dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 serta kaveling siap bangun dengan luas maksimum 72 m2.
I. Pemberian Garansi oleh Bank Pemberian garansi oleh Bank diatur dalam SK Dir BI No. 23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU masing-masing tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi oleh Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut garansi yang diberikan oleh bank meliputi :
1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit.
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit. Dengan demikian pemberian garansi oleh bank dalam bentuk tersebut harus dihitung sebagai contingent liabilities yang tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Pemberian Garansi oleh Bank. Agar bank memperoleh kepastian kapan berakhirnya contingent liabilities yang timbul sebagai akibat pemberian garansi dalam bentuk ini, maka bank dalam memberikan garansi tersebut hendaknya menetapkan suatu batas waktu.
Selanjutnya, bank dapat memberikan garansi baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing, namun demikian perlu diperhatikan bahwa pemberian garansi untuk penerimaan kredit dari luar negeri hanya dapat dilakukan dengan junlah seluruhnya setingi-tingginya 20 % dari modal.
Dalam pengertian jumlah keseluruhan tersebut termasuk pula garansi yang dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.
Karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum. Sebelum garansi diberikan, bank diminta untuk terlebih dahulu melakukan penelitian dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang dilakukan dalam pemberian kredit, antara lain mengenai :
1. bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
2. sifat dan nilai transaksi yang akan dijamin.
3. jumlah garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai dengan kemungkinan terjadinya risiko. Kontra garansi ini dapat berupa :
a. kontra garansi dari bank di luar negeri yang bonafide.
b. Setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan.
c. Kontra garansi lainnya yang diperoleh dari pihak yang dijamin dengan nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang mungkin diderita oleh bank. Kontra garansi ini dapat berupa garansi material dan atau immaterial tergantung pada penilaian bank atas kemungkinan terjadinya risiko. Apabila dianggap perlu bank dapat meminta sejumlah uang setoran kepada nasabah yang dijamin untuk diblokir pada bank yang bersangkutan sebelum garansi diberikan.
Pemberian garansi atas permintaan bukan penduduk hanya diperkenankan apabila disertai dengan kontra garansi yang cukup dari bank di luar negeri yang bonafide (tidak termasuk cabang bank yang bersangkutan di luar negeri), atau setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan.
Sumber : http://www.bankirnews.com
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.