Makin banyak orang Indonesia yang aware sekaligus membutuh
kan SMS/mobile banking. Ada empat masalah besar yang harus dicarikan
solusinya.
Jika sebatas menggunakan hasil survei yang dilakukan Sharing Vision tentang short message service
(SMS)/mobile banking, terdapat sejumlah fakta menarik yang menyiratkan
potensi bisnis yang amat luas bagi industri perbankan di Tanah Air.
Survei kami pada akhir 2011 dengan 105 responden di Jakarta dan Bandung
yang utamanya menegaskan bahwa semakin banyak orang Indonesia aware
sekaligus membutuhkan SMS/mobile banking, termasuk dari segmen kurang
potensial.
Salah satu indikatornya terlihat dari anggaran
komunikasi mayoritas pengguna SMS banking, dalam hal ini kelompok
terbanyak justru berasal dari yang memiliki anggaran seluler bulanan
relatif kecil. Kita membayangkan daya akses mereka tak kuat. Sebanyak
48% responden adalah mereka yang memiliki anggaran seluler kurang dari
Rp100.000 per bulan dan 30% yang memiliki bujet seluler Rp100.000 sampai
dengan Rp300.000. Hanya 12% memiliki bujet Rp300.000-Rp1 juta dan 21%
di atas Rp1 juta.
Separuh dari responden mengaku hanya memiliki satu akun rekening bank. Namun, nilai kepraktisan, misalnya tidak perlu datang ke automatic teller machine (ATM), membuat mereka “memaksakan diri” untuk bisa akses SMS banking.
Mereka
paling banyak menggunakan ATM untuk cek saldo (83%), transfer sesama
bank (28%), pembelian voucher pulsa (26%), informasi berkaitan dengan
akun seperti tagihan kartu kredit (25%), transfer antarbank (24%), dan
pembayaran tagihan (20%).
Survei kami juga menunjukkan bahwa
responden dalam jawaban terbukanya menyebutkan layanan SMS/mobile
banking sebagai layanan yang paling banyak diakses dibandingkan dengan
lainnya pada akses data di telepon seluler (ponsel) mereka. Bukan lagi
Facebook, bermain game, atau chatting sebagai jawaban
mayoritas. Namun, cukup mengejutkan sekaligus membuka mata, terutama
bagi kawan-kawan bankir, bahwa 57% dari mereka memang mengakses
SMS/mobile banking.
Dari dua temuan awal survei ini terdapat
benang merah bahwa kian luas saja rentang masyarakat Indonesia pengguna
layanan tersebut (termasuk kelas menengah bawah). Popularitasnya bahkan
mengalahkan layanan yang sudah lebih dulu populer sekaliber Facebook.
Problem yang ada ?
Kita
boleh melihat peluang terbuka lebar, menengarai potensi masa depan
primadona layanan perbankan di Tanah Air pada titik ini. Namun, di mata
penulis sendiri, agar peluang tersebut benar-benar tajam dan
menghasilkan, terdapat empat masalah besar yang harus ditemukan terlebih
dulu solusinya.
Satu, kualitas layanan di industri belum merata
karena ada bank yang prima memberikan layanan SMS/mobile banking.
Sebaliknya, ada pula yang menimbulkan kekecewaan mendalam akibat sistem
pembayaran yang tidak oke. Sebanyak 64% kekecewaan responden survei kami
muncul akibat tiga problem kualitas layanan dominan. Ketiga masalah
tersebut adalah layanan gagal tapi pulsa seluler dipotong, info transfer
berhasil padahal gagal, dan tak ada konfirmasi keberhasilan akses
layanan.
Kekecewan lain dalam jumlah kecil terkait dengan layanan
yang tidak pernah sukses dijalankan, jaringan sering kali error, tarif
dianggap mahal sekali, transfer sekali tapi didebit dua kali, gagal
aktivasi, serta transfer antarbank yang berbeda gagal. Di lain sisi,
kalau mengacu pada kualitas perbankan yang sudah baik, responden melihat
kecepatan dan kemudahan transaksi sudah sangat tinggi (tingkat kepuasan
nasabah hingga 81%). Karenanya, masih ada gap kualitas di antara
industri.
Situasi ini perlu segera dicarikan solusi. Pasalnya,
kontribusi layanan fee based income semacam SMS/mobile banking bagi
perbankan Indonesia makin hari makin besar. Ini lantaran posisinya bukan
lagi sekadar value added service.
Berdasarkan data Bank Mandiri, 31% pendapatan pada 2011 bank terbesar di Tanah Air berasal dari fee based income, yang di dalamnya meliputi ATM, electronic data capture (EDC), internet bangking, dan SMS banking.
Dua, regulasi tentang SMS banking belum ada yang khusus (lex specialis).
Semua masih dinaungi undang-undang (UU) yang bersifat general dan
tentunya tidak akan membidik secara tepat dan memproteksi seluruh
kepentingan yang ada.
Bagaimana sebenarnya pembedaan akunting
antara pulsa seluler yang digunakan oleh pengguna dan bea transaksi
perbankan, misalnya? Siapakah yang berwenang meregistrasi kartu perdana
pelanggan SMS banking: perbankan atau operator? Sejauh apakah
perlindungan pelanggan yang diberikan? Jika layanan mobile number portability
jadi diterapkan, bagaimanakah sinergi antara perbankan dan operator
seluler? Lantas, pada era konvergensi sekarang, sinergi apa yang paling fair?
Masih
banyak pertanyaan sejenis ini, yang jika tidak segera disikapi dengan
pembuatan regulasi yang spesialis dan utuh, desakan pertanyaan tersebut
bisa makin banyak dan akhirnya paling awal merugikan kepentingan
masyarakat.
Tiga, keamanan layanan seluler memasuki titik nadir
nan mengkhawatirkan setelah terjadi kasus sedot pulsa sepanjang tahun
lalu. Dengan 9.000 pengaduan di call center Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI) plus kerugian yang bisa mencapai
triliunan rupiah, SMS/mobile banking bisa layu sebelum berkembang.
Dengan
modus penyedotan pulsa yang sebenarnya sudah terjadi sejak 2007 dan
terus berlanjut, ditambah belum ada aksi tegas yang memberikan efek jera
dari BRTI, pembayaran mobile sebenarnya berada dalam posisi berisiko. Jika langkah gerak penindakan dan pencegahan dari stakeholder
industri seluler masih selamban tahun lalu, percayalah kerugian
(moril/materiil) tak hanya terjadi di industri seluler, tapi juga akan
berimbas pada industri perbankan.
Empat, pada tahun lalu (2011)
terdapat perkembangan teknologi gadget yang demikian cepat, terutama
pada produk komputer tablet dan smartphone. Sistem operasi Android,
misalnya, di-upgrade hingga tiga kali selama tahun lalu. Belum lagi
variasi dan modifikasi komputer tablet yang amat dinamis. Ini menjadi
tantangan bagi industri perbankan nasional dalam menyediakan aplikasi
peranti lunak yang selain bisa kompatibel, juga memiliki daya adaptif.
Bahkan,
aplikasi pembayaran SMS/mobile banking juga idealnya bisa melampaui
perkembangan aplikasi yang ada. Sehingga, perbankan malah menjadi
stimulan atau market driven bagi industri seluler.
Secepat kita
menuntaskan empat masalah besar tersebut, secepat itu pula perbankan di
Indonesia akan menikmati pendapatan jumbo dari fee based income. Kita
bisa jika kita mau dan pastinya jika kita terus bergerak. (*)
Sumber :
Tulisan dari Dimitri Mahayan (Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung) - Majalah Infobank
4 komentar:
trimakasih atas informasinya.....:)
ya betul banget tuh , jaman sekarang banyak banget iklan yang bikin pulsa habis
aku setuju sekali sama postingan anda , memang benar di indonesia itu banyak sekali penipuan melalui sms banking
nice article gan, makasih udah share, semakin maju teknologi memang semakin banyak kemudahan yg didapat dan semakin banyak cara2 utk mencari keuntungan dg merugikan orang lain..
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.