09 Juli 2011

Moral Hazard di Balik Ketenangan Nasabah

Blanket guarantee memang bisa memberikan rasa aman dan membangkitkan confidence masyarakat. Sekarang momentum yang paling baik untuk mengganti era blanket guarantee dengan era LPS. Apa latarnya?

Pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sebenarnya merupakan obsesi lama sektor perbankan kita. Ketika Bank Summa dilikuidasi pada 1992, isu ini sudah mulai mengemuka. Ketika sebuah bank ditutup pemerintah, nasabah pun tidak mendapat perlindungan yang memadai. Mereka harus lama menunggu dan mengurus sebelum mendapatkan kembali haknya. Dalam kasus penutupan Bank Summa, diperlukan tempo empat tahun untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya. Bahkan, konon, sampai sekarang masih ada saja yang belum beres secara tuntas.

Dari kasus itu, kemudian timbul ide bahwa sektor perbankan kita memang memerlukan sebuah lembaga penjaminan dana nasabah yang disimpan di bank. Sehingga, jika sewaktu-waktu bank bangkrut, kepentingan nasabah terlindungi asuransi. Ide tersebut tentu saja bukan suatu hal baru. Sebab, tatkala terjadi the great depression pada 1930-an, pembentukan LPS menjadi suatu safety net yang amat penting.

Sesudah kasus Bank Summa, ide tentang LPS ini kembali tenggelam di tengah hiruk-pikuknya euforia perbankan. Sejak deregulasi Paket 27 Oktober 1987 (Pakto 87), sektor perbankan memang mengalami euforia luar biasa yang hanya sedikit mengalami jeda ketika crash menimpa Bank Summa.

Ide tentang LPS sebenarnya tak pernah mati. Secara sporadis, masih sering dilontarkan ide untuk membentuknya. Argumentasinya sangat jelas. Satu, kita pernah mengalami sendiri kasus Bank Summa. Dua, secara internasional pun sudah ada contoh sejarah bahwa LPS memang diperlukan untuk memberi rasa aman bagi nasabah.

06 Juli 2011

BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT

Untuk mengurangi potensi kegagalan usaha sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, al dengan melakukan penyebaran dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit).

Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usaha bank dengan konsentrasi penyediaan dana, maka bank dilarang untuk memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan PELANGGARAN BMPK. Disamping larangan dan pembatasan persentase tertentu dari permodalan, bank diwajibkan pula menerapkan manajemen risiko kredit yang lebih prudent kepada pihak terkait maupun peminjam atau kelompok peminjam yang memiliki eksposur besar (large exposure).

Hal utama dalam pengaturan BMPK  adalah :
1. Penyediaan Dana kepada PIHAK TERKAIT ditetapkan maksimum 10% dari modal bank
2. Penyediaan dana kepada satu peminjam yang BUKAN PIHAK TERKAIT maksimum 20% dari modal bank.
3. Penyediaan dana kepada satu kelompok pemimjam yang BUKAN PIHAK TERKAIT maksimum 25% dari modal bank.

05 Juli 2011

ILUSTRASI PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM

Contoh perhitungan GWM Primer dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). GWM Primer dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah).
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah serta GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah serta GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
  1. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
  2. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
  3. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
  4. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.

Contoh perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah).
GWM Sekunder dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah).
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder dalam rupiah adalah sebagai berikut:
Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
  • GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
  • GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
  • GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
  • GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.

Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar).

Contoh Perhitungan GWM LDR dalam rupiah (Contoh 1 : LDR bank sebesar LDR target) :
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 90% (sembilan puluh persen).
Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target sebesar 100% (seratus persen) sehingga LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target.
Dengan demikian GWM LDR dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah.
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar:
  1. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
  2. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) dipenuhi dalam bentukSBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
  3. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).

Perhitungan GWM LDR dalam rupiah (Contoh 2 : LDR bank di bawah LDR target) :
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 50% (lima puluh persen).
Sebagaimana diketahui :
  • Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 100% (seratus persen).
  • Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol koma satu).
LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target, sehingga GWM LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Bawah x (Batas bawah LDR Target – LDR Bank) x DPK dalam rupiah
= 0,1 x (78% - 50%) x DPK dalam rupiah
= 0,1 x 28% x DPK dalam rupiah
= 2,8% x DPK dalam rupiah
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar:
  • GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
  • GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
  • GWM LDR sebesar 2,8 % (dua koma delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.540.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus empat puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.

Perhitungan GWM LDR dalam rupiah (Contoh 1 : KPMM bank dibawah insentif dan LDR bank di atas LDR target):
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen).
Sebagaimana diketahui:
  • Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 100% (seratus persen).
  • Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua).
  • KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen).
LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Atas x (LDR Bank – batas atas LDR Target) x DPK dalam rupiah
= 0,2 x (105% – 100%) x DPK dalam rupiah
= 0,2 x 5% x DPK dalam rupiah
= 1% x DPK dalam rupiah
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar:
  • GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
  • GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
  • GWM LDR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(bankirnews,com)

04 Juli 2011

Sejarah Money Laundering

Salah satu bentuk kejahatan kerah putih sekaligus dapat dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime) adalah money laundering (pencucian uang). Menurut Billy Steel istilah “money laundering” aslinya berasal dari bisnis Laundromats (tempat cuci otomat) milik Mafia di Amerika Serikat. Para gangster di sana telah memperoleh penghasilan yang besar dari pemerasan, pelacuran, judi dan penyelundupan minuman keras. Mereka menginginkan agar uang yang mereka peroleh tersebut terlihat sebagai uang yang halal. Salah satu caranya adalah dengan membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis halal dan mencampurkan uang hasil dari kejahatan mereka dengan uang hasil dari bisnis halal mereka tersebut. Laundromats dipilih oleh para gangster ini sebab usaha Laundromats dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan sebagaimana yang dilakukan oleh Al Capone.




Walaupun Al Capone telah dituntut dan dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz pada bulan Oktober 1931, namun itu semua lebih karena ia dinyatakan bersalah telah melakukan penggelapan pajak daripada membuktikannya bersalah terhadap kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, atau penjualan minuman keras tanpa izin yang telah menghasilkan banyak harta kekayaan tidak sah.   

03 Juli 2011

REGULASI BANK INDONESIA TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KREDIT BANK

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank. Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.

UU Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva, Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit.

A. Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum
Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat.
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
3. kebijakan persetujuan kredit;
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
5. pengawasan kredit;
6. penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan
perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.

B. Batas Maksimum Pemberian Kredit
Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan
usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik
kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK mendapatkan dasar pengaturan dalam UU Perbankan. Pengaturan tersebut selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK yang telah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit, tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan  dana yaitu penanaman dana bank dalam bentuk :
a. kredit;
b. surat berharga;
c. penempatan;
d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali;
e. tagihan akseptasi;
f. darivatif kredit (credit derivative);
g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit, standby letter of credit);
h. tagihan derivatif;
i. potential future credit exposure;
j. penyertaan modal;
k. penyertaan modal sementara;
l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan huruf a sampai dengan huruf k.
Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan.
Sementara, pihak terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tidak diperlakukan sebagai kelompok peminjam sepanjang hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan langsung pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan dana bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak dapat dilakukan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank.
Kemudian dapat ditambahkan bahwa pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari peritungan BMPK sepanjang wesel ekspor berjangka diterbitkan atas dasar letter of credit berjangka yang sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku, dan telah diaksep oleh Prime Bank. Bank yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK dikenakan sanksi penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat pemberian penyediaan dana.
Sementara, pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud di atas. 

Penyediaan dana oleh Bank dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh :
a. penurunan modal bank;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam;
e. perubahan ketentuan.