30 September 2010

PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan serta nilai-nilai etika (code of conduct) yang berlaku secara umum pada industri perbankan, bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance.
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar.
  1. Tranparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
  2. Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif.
  3. Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
  4. Independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
  5. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut di atas, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan minimum serta pedoman yang terkait dengan pelaksanaan good corporate governance yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) NOMOR 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.

23 September 2010

TARGET NASABAH TABUNGANKU BELUM TERCAPAI

“TabunganKu” merupakan suatu produk tabungan untuk nasabah perorangan dengan persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh Bank-bank di Indonesia (bagi yang berminat) guna menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Bank Indonesia sebagai bank sentral Negara Republik Indonesia, selain sebagai wujud kepedulian sosial perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk tabungan yang tidak dibebani biaya administrasi, produk tabungan ini juga disinyalir dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui budaya menabung, Memberikan respon positif terhadap kebutuhan masyarakat kecil terhadap produk tabungan yang berbiaya murah, Membangun image bahwa menabung itu mudah dan menguntungkan.

Tapi hingga kini Produk TabunganKu, yang diperkenalkan Bank Indonesia (BI) untuk dimasyarakatkan oleh industri perbankan sejak Februari 2010 lalu belum maksimal, dimana hanya menjangkau 420 ribu nasabah dari total 1 juta yang ditargetkan BI.

Produk tabunganku kurang diminati oleh masyarakat dikarenakan fitur dan kemanfaatan yang dimiliki tidak menarik,disatu sisi masyarakat sudah memiliki produk tabungan lain dari bank yang memilki fitur dan mempunyai nilai lebih dari tabunganku,misalnya saja tingkat suku bunga yang lebih tinggi, memiliki kartu ATM, serta tabungan yang dimilki dapat ditarik dikantor/cabang dimana bank tersebut berada berbeda dengan TABUNGANKU yang hanya dapat ditarik di cabang/kantor penerbit.

Tujuan awal dari Tabunganku adalah sebagai wujud kepedulian sosial perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk tabungan yang tidak dibebani biaya administrasi, produk tabungan ini juga disinyalir dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui budaya menabung, Memberikan respon positif terhadap kebutuhan masyarakat kecil terhadap produk tabungan yang berbiaya murah, Membangun image bahwa menabung itu mudah dan menguntungkan.

Untuk meningkatkan jumlah nasabah TabunganKu, BI mengaku telah menyiapkan beberapa strategi termasuk mengajak kepala daerah untuk mendorong TabunganKu dengan mewajibkan pegawai di instansinya memiliki TabunganKu sebagai role model untuk masyarakat, kemudian juga dengan menambah kemudahan atau fitur, seperti misalnya memberikan fasilitas ATM untuk menarik minat masyarakat, kemudian juga akan meluncurkan produk tersebut ke tiap sekolah dasar mulai tahun 2011, yang akan menjadi pendidikan keuangan sejak dini dalam mendorong gerakan menabung.


19 September 2010

Kredit Mikro Bantu Warga Miskin

Indonesia memiliki sejarah layanan kredit mikro yang panjang, lebih dari dari 113 tahun. Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren adalah cikal institusi kredit mikro di Indonesia. Didirikan Raden Arya Wiriatmadja, patih di Purwokerto pada 16 Desember 1895, Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi ini menyediakan pinjaman kepada kaum pribumi agar tak lagi terjerat lintah darat.

Pada era 1950-an, masyarakat Indonesia sudah mengenal kredit mikro. Saat itu, di berbagai desa di Jawa Tengah didirikan koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh perangkat desa. Di Pekalongan, misalnya, ada Koperasi Desa Kauman dan Koperasi Rakyat Noyontaan. Saat ini, koperasi simpan pinjam yang besar juga banyak tersebar di Indonesia, seperti Kospin Jasa di Pekalongan dan Koperasi Setia Bhakti Wanita di Subaraya dengan konsep tanggungrenteng-nya.

Di Indonesia, saat ini terdapat sedikitnya 50.000 institusi yang memberikan layanan kredit mikro, mulai dari yang berbentuk koperasi, yayasan, baitul mal wattanwil, atau sekadar kelompok arisan.


Gerakan dunia


Di dunia, layanan kredit mikro telah menjadi gerakan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Kampanye KTT Kredit Mikro, proyek Dana Pendidikan Results yang berbasis di Washington, DC, mulai 1997 telah menjadi jaringan global terbesar dunia pemangku kepentingan kredit mikro, termasuk 3.600 lembaga pembiayaan mikro di 134 negara. Delapan Ratus (800) pemimpin kredit mikro internasional, donor, penanam modal, dan penganjur kredit mikro berkumpul dalam KTT Kredit Mikro Asia-Pasifik di Bali.

Sejumlah tokoh penting hadir dalam kesempatan itu, di antara Presiden Honduras Manuel Zalaya Rosales, Mantan Presiden Peru Alejandro Toledo, Ibu Negara Afrika Selatan Zanele Mbeki, Peraih Hadiah Nobel sekaligus Pendiri dan Direktur Utama Grameen Bank Dr. Muhammad Yunus, dan Sam Daley-Harris, Direktur Kampanye KTT Kredit Mikro. Konferensi ini merupakan forum anggota untuk menyesuaikan program ke depan berupa target 2015, sekaligus mendiskusikan hambatan, dan solusi untuk mencapai tujuan tersebut.

Pada pertemuan terbesar di dunia ini peserta akan membagi pengalaman, mendiskusikan isu terbaru, dan belajar bagaimana cara terbaru dipraktikkan. Presiden Jose merupakan pimpinan sidang itu. Dia berpendapat dukungan terhadap keuangan mikro adalah hal mendasar untuk memperkuat demokrasi dan tata pemerintahan, serta penting untuk memperluas pembangunan, meningkatkan produktivitas dan daya saing guna mengurangi kemiskinan. Kampanye KTT Kredit Mikro bertujuan memberikan kepemimpinan, pedoman, dan dukungan untuk menjamin dalam pencapaian tujuan pembangunan millennium. Sampai 2015, gerakan ini akan memastikan bahwa sebanyak 175 juta keluarga termiskin di dunia, khususnya para wanitanya, menerima kredit swausaha serta jasa keuangan dan bisnis lain. Di samping itu, sebanyak 100 juta keluarga di atas ambang pendapatan US$1 per hari, yang disesuaikan untuk membeli persamaan kekuasaan. Hingga Desember 2006, kelompok Kampanye KTT Kredit Mikro memberikan pinjaman dan jasa keuangan lain guna membantu lebih dari 133 juta keluarga miskin mengentaskan kemiskinannya. Ini mencakup 92 juta keluarga yang bergantung pada kurang dari US$1 per hari pada saat mereka menggunakan pinjaman pertama mereka.

Risiko kredit


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka KTT Kredit Mikro tersebut mengharapkan program kredit mikro bisa terus dikembangkan untuk mengurangi warga miskin yang diperkirakan akan meningkat akibat dampak tingginya harga minyak dan pangan. Kredit mikro terbukti mampu membantu masyarakat miskin yang ingin melakukan usaha.

"Dalam perbankan, ketidakahlian dan kekurangan modal adalah sesuatu yang high risk, terutama di sektor pertanian. Tetapi keuangan mikro tidak melihat risiko itu, yang dilihat adalah kesempatan untuk masyarakat dan untuk mereka sendiri," katanya, seperti dikutip www.setneg.go.id.

Nasabah kredit mikro, kata Presiden, sudah dikenal sebagai pengusaha yang baik, seperti data Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa kredit bermasalah hanya 1%.

Ekonomi yang fokus pada usaha kecil juga merupakan investasi jangka panjang yang mengarah pada pertumbuhan dari bawah dan juga penting untuk mengurangi pengangguran. Menurut Presiden, meski di Indonesia sudah ada 50.000 lembaga keuangan mikro, masih ada 40 juta warga Indonesia yang belum mendapatkan akses pelayanan kredit, yang tersebar di banyak provinsi, karena tidak memiliki jaminan. Mereka kebanyakan tinggal di daerah terpencil dengan keterbatasan geografis dan infrastruktur serta kurangnya informasi tentang kredit mikro. Kepala Negara mengatakan pemerintah serius menangani hal ini, dengan berusaha membangun daerah terpencil dan membuka akses kredit bagi daerah tersebut. Tapi di sisi lain, masih banyak lembaga keuangan mikro yang masih menghadapi ketidakpastian hukum. Ini karena rancangan undang-undang yang sudah bertahun-tahun digagas tak kunjung disahkan

18 September 2010

Menggagas Konsep & Model Bangsa Untuk Menjawab Tantangan Sektor rill & UMKM

Kita mengetahui dan sadar bahwa Peran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) jumlahnya sangat dominan dan strategis dalam struktur perekonomian Indonesia. Namun, kesadaran kita ini tidak ditindaklanjuti oleh upaya yang sungguh-sungguh, matang dan berkesinambungan untuk memposisikan UKM sebagai landasan yang kokoh untuk pembangunan ekonomi nasional. Justru kita membiarkan perkonomian Nasional lebih dikuasai oleh segelintir pemodal besar yang ternyata sangat labil terhadap goncangan ekonomi global. Perlu kita ketahui bersama bahwa bisnis UMKM ataupun mikro merupakan usaha yang sangat tahan banting tidak lekang dengan goncangan seperti krisis global yang belakangan ini melanda belahan jagad raya ini beda dengan usaha ataupun bisnis besar terutama usaha ekspor impor.

Efek domino krisis keuangan Amerika Serikat telah sampai ke pelosok desa kita dan menghancurkan patron ekonomi desa. Seperti harga TBS (tandan buah segar) dan CPO merosot tajam sampai nilai Rp.300/kg yang sebelumnya rata-rata diatas Rp.2000an/Kg. dilain pihak harga downstream product-nya seperti minyak goreng, margarine dan produk turunan lainnya yang dikuasai pemodal besar relative stabil dan bahkan cenderung naik. Akibatnya sangat berbahaya, bila kita terus membiarkan terjadinya ketidakpekaan dan ketidakpedulian pemimpin kita yang selalu salah mengatasi krisis itu. Sebab akan mempengaruhi angka pengangguran/kemiskinan terus meningkat yang akan mendorong antagonisme sosial semakin mendekat kepermukaan. Selain itu, akan berdampak pada kelesuan ekonomi Indonesia bisa berkepanjangan dan lebih parah lagi apabila ekonomi dunia sudah kembali bangkit, namun sektor riil Usaha Kecil dan Menengah (UKM) kita sudah terlanjur punah.

Salah satu bagian penting dari tatanan ekonomi moderen yang sehat adalah persaingan yang adil belum terwujud. Menyikapi hal tersebut diatas, sudah saatnya pemerintah lebih aktif, berani dan tulus untuk mengambil keputusan “politik UKM” yaitu sebuah keputusan politik yang benar-benar mampu mengamankan kebijakan nasional untuk membangun modal sosial (social Capital) bangsa agar pelaku UKM (petani-nelayan dan pedagang ) Indonesai dapat dijamin mendapatkan haknya untuk maju secara berkesinambungan dalam kondisi kehidupan yang mengandung unsur-unsur akhlak dan budipekerti, kebebasan, kebahagiaan dan keamanan yang mencakup spectrum kemanusiaan yang luas.

Modal sosial menurut Pierre Bourdieu adalah sebuah konsep kebersamaan yang lahir dari adanya kepekaan pemimpin yang ditindaklanjuti dengan menggagas untuk membangun kesadaran masyarakat yang memiliki saling keterkaitan sosial, sehingga terwujud rasa peduli dan tanggungjawab yang memiliki nilai jaringan sosial. Modal Sosial diyakini secara luas dapat menjadi solusi bagi semua masalah yang menimpa komunitas masyarakat masa kini. Terlebih ketika Bank Dunia mendukung sebuah program penelitian tentang hal ini.

Praktek modal sosial dapat kita kenal antara lain secara sederhana pada POMG (Persatuan Orang tua Murid dan Guru), kepramukaan, dewan sekolah, liga boling, jaringan internet, dan bahkan kelompok-kelompok ekstrem seperti Ku Klux Klan dan gerakan perlawanan radikal. Namun, modal sosial mempunyai kekuatan sangat dahsyat untuk membangun perekonomian suatu bangsa khususnya ketika menghadapi krisis seperti pengalaman Jepang yang berhasil keluar dari berbagai krisis yang dimulai dari restorasi meiji tahun 1853 sampai krisis pada tahun 1990.

Belajar dari pengalaman yang pernah ada, ternyata modal sosial sangat efektif membangun kekuatan ekonomi untuk tumbuh dan memiliki daya tahan lebih kokoh bila didukung oleh gerakan koperasi. Sebab. Sebab gerakan koperasi adalah subuah gerakan ekonomi yang massif yang tidak mengenal kepemilikan tunggal dan secara natural dapat dikatakan sudah “go public” karena dibentuk melalui keanggotaan terbuka dan dapat dikembangkan melalui nilai-nilai budaya korporasi (corporate culture) sebagai etika-nya.

Pertanyaan kita adalah bagaimana cara memperluas dan memberdayakan modal sosial, agar terjalin sinergi dunia bisnis yang dapat menggunakan keahlian bisnisnya untuk menemukan cara inovatif melayani sector riil UKM yang cenderung masih menerapkan manajemen tradisional, lemah terhadap akses permodalan, tekhnologi cenderung konvensional, miskin inovasi dan jaringan pasar yang akhirnya termarginalkan dari proses pembangunan.

Jawabannya yang sederhana adalah UKM harus dikelola oleh koperasi dan koperasi dikelola secara korporat atau dilakukan korporatisasi pada gerakan koperasi. Agar UKM dapat mempersiapkan dan mengembangkan pola organisasi yang sesuai dengan perencanaan, dapat dilaksanakan secara professional dan terukur – terkendali didalam menejemen terpadu. Walaupun upaya ini diakui tidak mudah karena menyangkut proses perubahan karakter, kultur dan mental para pengelola koperasi. Namun, apabila semua pihak berkesungguhan hati, bertekad dan konsisten, semua akan berubah menjadi mudah.

Setelah Indonesia merdeka, KOPERASI dianggap sebagai suatu sistem ekonomi yang yang berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa pengertian “asas kekeluargaan” itu adalah koperasi.

Sayangnya, sebagian besar karakter pengurus gerakan koperasi di Indonesia masih mewarisi “penyakit” mental “jatah” dan “fasilitas” dari Pemerintah di masa Orde Baru. Sebab sering orang masuk koperasi bukan karena ingin bekerja sama dalam kegiatan produktif, melainkan karena ingin menikmati fasilitas dan jatah dari Pemerintah. Pengelola koperasi yang demikian sangat labil dan akhirnya sering kehilangan hati nurani dan memperlihatkan banyak dimensi yang kontradiktif serta menyimpang dari kepatutan etika dan moral dengan kepemimpinan ideal.


Namun, suka atau tidak suka, hanya gerakan Koperasi yang mampu membangun modal sosial skala besar terhadap kegiatan petani, pedagang kecil, perajin, nelayan, petambak, bahkan juga dapat dipakai instrumen peningkatan kesejahteraan kaum buruh, karyawan dan pegawai.

Saat ini, kondisi sektor riil yang merupakan tulang punggung kehidupan bangsa justru sedang berhadapan dengan sebuah fenomena paradoksal (paradox of growth), dimana pertumbuhan ekonomi tidak disertai oleh penurunan kemiskinan dan pengangguran. Hal tersebut terefleksikan pada semakin merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor keuangan dan sektor riil. Perbankan enggan menyalurkan kredit. Namun bank-bank dan para pemilik modal cenderung menempatkan dananya pada instrumen-instrumen keuangan yang berisiko rendah, misalnya pada SBI dan SUN. Pembiayaan bank ke sektor riil menjadi sangat berkurang. BI kemudian menghadapi liquidity overhang dalam bentuk SBI outstanding yang jumlahnya saat ini mencapai ratusan triliun. Fenomena paradoksal itu, mungkin dikarenakan pemerintah masih melihat inflasi hanya berdasarkan “buyers’ inflation” atau “demand-pull inflation” sehingga masih melakukan pengetatan fiscal dan kebijakan moneter yang berlebihan dan akhirnya merugikan sector riil.

Ekonomi pasar dengan teori “invisible hand” yang digagas oleh Adam Smith didalam bukunya “Wealth of Nation” pada tahun 1776 itu, tidak dapat mencapai keadilan bagi masyarakat luas, khususnya dinegara berkembang seperti Indonesia. Bahkan Amerika Serikat sebagai kiblatnya ekonomi pasar tidak berdaya dan dipaksa melakukan kebijakan “etatisme” penyediaan “Bailout” sebesar USD.700 Milyar untuk mengambil alih saham swasta yang bermasalah diawali kepada Lehman & Brothers yang bangkrut, disusul permintaan “bailout” untuk menanggulangi krisis likwiditas automotive AS yang disebut The Big Three (Ford, General Motors and Chrysler), AIG (American International Group) dan Citigroup.

Untuk mengatasi hal tersebut, semua pihak terkait harus memainkan peran penting dan strategis memberikan gagasan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk segera mengambil sikap tegas, berani dan cepat untuk mentransformasikan kehidupan dan sistem sosial melalui pembangunan “modal sosial” bangsa untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia antara lain:
  1. Melakukan percepatan perbaikan kondisi distortif dan risiko mikro di sektor riil melalui perbaikan iklim investasi secara keseluruhan, termasuk percepatan perbaikan infrastruktur dan penyediaan modal yang lebih terjamin. Sehingga kita tidak lagi mengulangi paradoks kebijakan yang dilatarbelakangi keinginan mengangkat UKM yang berada di dasar piramida (bottom of the pyramid) namun gagal untuk diikutkan ke gerbong kereta kemakmuran yang sudah disesaki pemodal besar.
  2. Mengkoordinasikan, membentuk, merevitalisasi dan memperkuat modal sosial melalui synergy antara para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti lembaga penjamin/Asuransi, Modal Ventura bersama para pelaku pasar, regulator untuk mengikat diri kedalam “risk sharing” demi terwujudnya perkuatan modal, teknologi, dan menejemen UKM.

Cintai Produk Dalam Negeri

Sekarang, orang-orang Indonesia sangat suka membeli produk luar negeri, bahkan mereka memiliki perasaan bangga dan gengsi tinggi bila menikmati maupun menggunakan produk luar negeri. Kopi Starbucks, donat J.CO ( ternyata J.Co merk dagang asli Indonesia),McD, KFC, CFC, Coca Colla, dan produk-produk luar lainnya laris manis. Jelas saja produsen-produsen asing itu melebarkan sayapnya untuk membuka cabang di Indonesia, karena konsumennya di sini sangat banyak. Bahkan menurut data, orang Indonesia termasuk orang yang paling banyak belanja baju di Singapore, berobat ke Rumah sakit dimalaysia. Padahal, rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan masih sangat banyak.

Kenapa banyak orang Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan?

Jawabannya adalah, karena orang Indonesia banyak yang malas. Malas kerja, malas usaha, dan lain-lain. Padahal Pemerintah sudah meluncurkan banyak program untuk membantu Usaha Kecil dan Menengah (UKM), seperti pinjaman modal usaha dengan bunga ringan tanpa agunan. Mungkin juga sosialisai yang dilakukan pemerintah maupun pihak bank ataupun pihak yang terkait selama ini masih kurang.

Ada satu alasan lagi, mengapa orang Indonesia malas usaha, padahal sudah difasilitasi Pemerintah. Karena para calon pengusaha itu takut gagal, takut kalah bersaing dengan produsen lain terutama produsen asing. Mungkin juga mereka kurang laris karena kualitas produknya berbeda dengan produk asing. Tetapi, sebagai masyarakat Indonesia kita harus membangkitkan UKM seperti itu agar masyarakat Indonesia mampu untuk mandiri.

Produk Indonesia sebenarnya lebih bagus dari produk asing. Contohnya kopi. Di Indonesia banyak macam kopi, seperti kopi toraja, kopi robusta, kopi arabika, dan kopi luak. Kopi luak saja harganya $100 - 150 per kilogram. Dan kopi luak itu kata orang-orang rasanya enak sekali. Kopi luak berasal dari kotoran luak. Luak adalah hewan yang suka memakan kopi, karena pencernaan luak tidak sempurna, maka kotorannya pun menjadi kopi dan inilah yang disebut kopi luak.

Sekali lagi saya menghimbau kepada masyarakat Indonesia, konsumsilah produk dalam negeri, agar memajukan sektor UKM dan membangkitkan usaha masyarakat. Sehingga Indonesia kita bisa maju dan mandiri.

17 September 2010

KEBIJAKAN GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH

Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Jumat, 3 September 2010 memutuskan untuk menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam Rupiah menjadi 8% dan menerapkan GWM LDR. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk merespons tekanan inflasi yang cenderung meningkat melalui pengelolaan ekses likuiditas perbankan. Penetapan besaran GWM tersebut telah mempertimbangkan kondisi likuiditas perbankan sehingga tidak mengurangi kemampuan bank dalam ekspansi kredit sesuai dengan rencana bisnis bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

LATAR BELAKANG
  1. Kinerja perekonomian domestik terus membaik dan disertai dengan terjaganya
    stabilitas sektor keuangan. Namun, tekanan inflasi yang meningkat dan kondisi ekses
    likuiditas perbankan yang persisten tinggi perlu direspon agar tidak mengakselerasi
    ekspektasi inflasi yang dapat mengganggu stabilitas moneter.
  2. Stabilitas sektor keuangan yang telah terpelihara selama ini perlu terus didukung oleh
    penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko yang muncul,
    serta perbaikan fungsi intermediasi perbankan.
  3. Stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu terus ditingkatkan melalui pengelolaan
    ekses likuiditas perbankan secara terukur, antara lain melalui penerapan GWM.
  4. GWM dalam Rupiah yang berlaku perlu disesuaikan dengan memperhatikan kondisi
    likuiditas perbankan serta peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi
    sehingga tetap dapat memenuhi target ekspansi kredit sesuai dengan rencana bisnis
    bank, terutama kredit untuk tujuan produktif dan meningkatkan kapasitas
    perekonomian.

KEBIJAKAN YANG DITEMPUH :
  1. GWM Primer sebesar 8% DPK rupiah:
  • Penyesuaian GWM Primer dalam rupiah dari 5% menjadi 8% dari DPK rupiah
  • Terhadap pemenuhan tambahan GWM Primer dalam rupiah sebesar 3% dari DPK
    rupiah akan diberikan jasa giro sebesar 2,5% p.a.
  • Jasa giro tidak akan diberikan pada bank yang memiliki GWM Primer di bawah 8%.

2. GWM Sekunder sebesar 2,5% DPK rupiah:
  • GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% DPK rupiah tetap berlaku.

3. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% DPK rupiah tetap berlaku.
  • GWM LDR ditetapkan dalam suatu kisaran yang dipandang mampu mendorong
    fungsi intermediasi perbankan namun tetap menjaga prinsip kehati-hatian
  • Berdasarkan tujuan di atas, kisaran target LDR ditetapkan dengan batas bawah
    78% dan batas atas 100%.
  • Bank-bank dengan LDR di luar kisaran tersebut akan dikenakan disinsentif dengan
    ketentuan sebagai berikut:
- Untuk bank yang memiliki LDR lebih rendah dari batas bawah target LDR
dikenakan disinsentif berupa tambahan GWM sebesar 0,1 dari DPK rupiah untuk
setiap 1% kekurangan LDR.
- Untuk bank yang memiliki LDR lebih tinggi dari batas atas target LDR dan
memiliki CAR lebih kecil dari 14% dikenakan disinsentif berupa tambahan GWM
sebesar 0,2 dari DPK rupiah untuk setiap 1% kelebihan LDR.
- Untuk bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas target LDR namun memiliki
CAR 14% atau lebih tidak dikenakan tambahan GWM.

  • Target LDR dan parameter disinsentif sebagaimana dimaksud di atas akan
    dievaluasi oleh Bank Indonesia sewaktu-waktu diperlukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

1. GWM Primer 8% DPK rupiah , Berlaku mulai 1 November 2010
2. GWM Sekunder 2,5% DPK rupiah Tetap berlaku
3. GWM LDR , Berlaku mulai1 Maret 2011

Masa tenggang waktu yang cukup lama tersebut dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi perbankan dalam menyesuaikan pengelolaan likuiditasnya. Kebijakan GWM dalam rupiah tersebut akan senantiasa dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian.

Pencabutan Izin terhadap 25 Usaha Pedagang Valuta Asing Bukan Bank (PVA BB)

Bank Indonesia melakukan Pencabutan Izin terhadap 25 Usaha Pedagang Valuta Asing Bukan Bank (PVA BB). Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/11/PBI/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pedagang Valuta Asing, Bank Indonesia telah memberikan Sanksi Peringatan Pertama, Peringatan Kedua, dan Sanksi Pemanggilan Pengurus dan Pemegang Saham kepada 25 (dua puluh lima) Pedagang Valuta Asing Bukan Bank (PVA BB).PVA BB tersebut tidak mengindahkan dan/atau menindaklanjuti sanksi Pemanggilan Pengurus dan Pemegang saham dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya sanksi tersebut, maka Bank Indonesia mengenakan sanksi Pencabutan Izin Usaha kepada 25 (dua puluh lima) PVA BB. Berikut adalah PVA BB dimaksud :

  1. PT Aneka Valasindo Lestari; Globe Plaza, Lantai I No. 145, Jl. Samanhudi No. 4, Pasar Baru, Jakarta Pusat
  2. PT Anugerah Siloam Valasindo; Gedung Atlantica, Jl. Kuningan Barat No. 7, Jakarta Selatan
  3. PT Apex Valasindo; Gedung Harco Mangga Dua Lt. 1 No. 31, Jl. Arteri Mangga Dua Raya, Jakarta Pusat
  4. PT Bina Arta Swadaya Money Changer; Rukan Artha Gading Niaga Blok C No. 10, Kelapa Gading, Jakarta Utara
  5. PT Bogoan; Jl. Kali Besar Barat No. 38, RT/RW : 006/003, Jakarta Barat
  6. PT Davinzki Forexa; Grand Panglima Polim, Jl. Wijaya II/52, Jakarta Selatan
  7. PT Dewata Artha Pratanshi; Cilandak Town Square Matahari Supermarket Lt.1, Jl. TB. Simatupang Kav.17, Jakarta Selatan
  8. PT Diorra Prima Valutama, Jl. Suryo No. 50, Jakarta Selatan
  9. PT Duta Mustika Valasindo; Pusat Niaga Roxy Mas Blok E I/42, Jl. KH.Hasyim Ashari, Jakarta Pusat
  10. PT Indovalas Kemalindo; Tamini Square, Lt. Ground Blok GS 10 No.01, Jl. Pondok Gede, Jakarta Timur
  11. PT Indovalas Prima; Jl. Danau Sunter Utara Blok J12 No. 6, Sunter, Jakarta Utara
  12. PT Inko Asset; Gedung Bursa Efek Jakarta Menara 1, Suite 304, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53, Jakarta Selatan
  13. PT Megasari Investment; Jl. KH. Wahid Hasyim No. 007, Jakarta Pusat
  14. PT Miger Forexindo; Jl. Boulevar Artha Gading, Mal Artha Gading Lt. 1 Blok A6/15, Kelapa Gading, Jakarta Utara
  15. PT Molindo Viega Egitama; Jl. Sultan Iskandar Muda Ruko No. 8N, Jakarta Selatan
  16. PT Permata Leleangi Indovalas; Jl. Asia Afrika Senayan Trade Center Lt. 4, Gelora Tanah Abang, Jakarta
  17. PT Prima Indoses; Komp.Ruko Roxymas Blok D3/23, Jl. KH Hasyim Ashari, Jakarta Pusat
  18. PT Prima Prestasi Valutama; Jl. Daan Mogot No.88, Jakarta Barat
  19. PT Prima Valasina; Jl. Prof Soepomo SH 6 A, Jakarta Selatan
  20. PT Rahayu Inti Valasindo; Wisma Mitra Sunter Ground Floor D-04, Jl. Yos Sudarso Kav.89, Jakarta Utara
  21. PT Royal Dana Ekatama; Jl. Kapten Tendean No. 12, Jakarta Selatan
  22. PT Sumber Devisindo Bersama; Jl. KH. Hasyim Ashari No. 12 Rt.001 RW.004, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat
  23. PT Tuparev Valas; Jl. Tuparev No. 281, Karawang, Jawa Barat
  24. PT Tri Murti Valasindo; Oil Center Building, Jl. M.H.Thamrin No.55, Jakarta Pusat
  25. PT Yatim International Money Changer; ITC Kuningan Lt.3 Blk.C1 No.3, Jl. Prof Dr. Satrio, Jakarta Selatan

16 September 2010

Prospek Ekonomi Indonesia 2010 & 2011

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6,0% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 6,0-6,5% pada tahun 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. “Di samping tetap kuatnya permintaan domestik, perbaikan terutama bersumber dari sisi eksternal sejalan dengan pemulihan ekonomi global, seperti terlihat dari ekspor yang mencatat pertumbuhan positif sejak triwulan IV-2009

Pemulihan ekonomi global sangat jelas terlihat dari berbagai indikator ekonomi baik di negara maju (Amerika Serikat dan Jepang) maupun di kawasan Asia (Cina dan India). Di Amerika Serikat, pemulihan tercermin pada pengeluaran konsumsi masyarakat yang terus menguat dan dibarengi peningkatan respon di sisi produksi. Sementara di Jepang, ditandai oleh pertumbuhan positif pada triwulan terakhir 2009. Di Cina dan India, indikasi pemulihan ekonomi lebih jelas terlihat sebagaimana tercermin pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbagai perbaikan tersebut memberikan dampak positif bagi negara-negara yang menjadi mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor non migas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17% dan masih berlanjut pada Januari 2010. Peningkatan ekspor tidak hanya terjadi pada komoditas pertambangan dan pertanian, tetapi juga ekspor komoditas manufaktur mulai mengalami peningkatan. Perkembangan ini mendukung pertumbuhan di sektor industri dan sektor perdagangan yang lebih tinggi dari perkiraan. Sementara itu, aktivitas impor sedikit meningkat sejalan dengan peningkatan ekspor tersebut, meskipun pada tingkat yang masih rendah. Transaksi berjalan di triwulan I-2010 diperkirakan mencatat surplus yang lebih besar dari perkiraan semula. Sementara itu, keyakinan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia yang semakin membaik tercermin pada surplus transaksi modal dan finansial yang masih cukup tinggi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2010 surplus NPI diperkirakan lebih baik dari perkiraan semula. “Tinggal 1 notch lagi bagi Indonesia untuk mencapai investment grade, sehingga akan semakin memberikan keyakinan yang lebih besar bagi investor asing untuk meningkatkan investasinya di Indonesia”, jelas Hartadi menanggapi perbaikan sovereign rating Indonesia oleh Fitch menjadi BB+ dari semula BB beberapa waktu yang lalu.

Disamping kinerja ekspor yang membaik tersebut, kegiatan konsumsi swasta juga menunjukkan perbaikan. Hal ini dikonfirmasi oleh peningkatan berbagai indikator konsumsi seperti impor barang konsumsi, penjualan mobil dan motor, serta penjualan ritel. Ke depan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap meningkat sejalan dengan pendapatan yang lebih tinggi karena income effect dari perbaikan ekspor dan terjaganya tingkat keyakinan konsumen.

Di sisi harga, tekanan inflasi diyakini belum akan signifikan setidaknya pada semester I-2010. Perkembangan inflasi dalam 2 bulan pertama 2010 masih tetap terjaga pada tingkat yang rendah. Relatif terkendalinya inflasi juga tercermin pada perkembangan inflasi inti yang turun dari 4,43% (yoy) pada bulan Januari 2010 menjadi 3,88% (yoy) pada bulan Februari 2010. Kenaikan inflasi IHK di awal tahun 2010 terbukti bersifat temporer, terutama karena kenaikan harga beras, dan diperkirakan tidak akan terjadi lagi lonjakan harga dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan telah datangnya musim panen di berbagai daerah. Kemungkinan kenaikan tarif TDL, apabila kemudian tetap diberlakukan, diperkirakan juga tidak akan menimbulkan dampak yang besar terhadap inflasi sepanjang diterapkan terutama pada kelompok pelanggan besar. Secara keseluruhan, inflasi ke depan diyakini akan tetap terjaga pada sasaran yang ditetapkan yakni 5%+1% pada tahun 2010 dan 2011. “Meskipun kegiatan ekonomi domestik meningkat

KEJAHATAN MELALUI ATM KEMBALI MENERPA PERBANKAN INDONESIA

Dunia perbankan kembali diguncang dengan kejadian raibnya dana nasabah melalui pembobolan ATM yang disinyalir dilakukan oleh sindikat pembobol ATM Internasional. Menurut Bank Indonesia, sampai saat ini telah terjadi pembobolan rekening nasabah lewat ATM pada 6 bank, yaitu BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Permata, dan BII dengan lokasi kejadian di Bali dan Jakarta dengan potensi kerugian yang diperkirakan bisa mencapai angka Puluhan milyaran rupiah

Hal ini merupakan suatu contoh kejadian risiko operasional yang disebabkan oleh kejahatan secara eksternal (Eksternal Fraud) yang jika tidak diantisipasi secara dini akan berdampak pada munculnya risiko lainnya, seperti risiko reputasi (pemberitaan negatif terkait operasional Bank) dan pada akhirnya berujung pada munculnya risiko likuiditas karena nasabah bank yang merasa dananya tidak aman lagi akan melakukan penarikan dana secara besar-besaran. Tentunya jika hal ini terjadi, tidak hanya akan mengganggu likuiditas bank itu sendiri tapi juga akan dapat membawa implikasi terhadap perekonomian secara menyeluruh atau berpotensi berdampak sistemik.

Tentunya hal seperti ini sangat tidak diharapkan baik oleh pihak bank, nasabah maupun pemerintah. Perlu segera dilakukan langkah-langkah mitigasi, minimal untuk menekan secara dini peluang-peluang munculnya indikasi keresahan yang berujung pada penarikan dana besar-besaran.

Selain bertindak untuk mengurangi keresahan para nasabah, bank-bank korban juga melakukan investigasi langsung terhadap modus pembobolan ini. Tentunya dengan mengetahui bagaimana modus kejahatan berlangsung, dapat dicarikan solusi agar hal ini tidak terjadi lagi, misalnya dengan melakukan pemutakhiran teknologi ATM dengan metoda anti skimming, pemasangan kamera CCTV bagi ATM yang belum memiliki, dan ada juga Bank yang melakukan sweeping mesin-mesin ATM dari indikasi pemasangan teknologi pembobolan ATM Bank. Tindakan mitigasi ini tentunya tidak hanya dilakukan disaat baru ada kejadian, karena pencegahan yang seperti ini merupakan suatu tindakan yang reaktif bukan suatu hal yang dinilai responsif.

Disisi lain, walaupun Bank Indonesia telah mengintruksikan Bank agar mengganti setiap kerugian nasabahnya yang menjadi korban, kita sebagai nasabah juga harus lebih jeli dan berhati-hati dalam melakukan transaksi baik Via ATM atau media lainnya. Jeli dalam memilih Bank untuk bertransaksi, rutin mengganti PIN, menutup angka saat memasukkan nomor PIN dengan harapan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya pembobolan ATM kita.

Kejadian pembobolan ATM di Indonesia merupakan kejadian yang sering kali terjadi, tentunya dengan modus dan teknik yang selalu berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi. Untuk itu sudah saatnya hal ini menjadi perhatian dan prioritas utama. Bank dituntut untuk segera melakukan kajian ulang terhadap teknologi yang mereka gunakan, salah satunya dengan mengimplementasikan penggunaan kartu debet atau kredit yang berbasiskan chip. Walau hal ini membutuhkan investasi yang cukup besar namun perlu dipertimbangkan. Selain itu Bank juga harus secara rutin melakukan pemantauan terhadap mesin-mesin ATM yang mereka gunakan dan memastikan bahwa keamanan seluruh mesin ATM telah terstandarisasi.

Tabunganku TABUNGAN MASA DEPANKU

“Tabunganku” merupakan produk Nasional dalam rangka Pencanangan Pemerintah dimana ditetapkan tahun 2010 sebagai tahun “Indonesia Menabung”. Produk “Tabunganku” diberi tagline “TABUNGANKU MASA DEPANKU”.

“TabunganKu” merupakan suatu produk tabungan untuk nasabah perorangan dengan persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh Bank-bank di Indonesia (bagi yang berminat) guna menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Bank Indonesia sebagai bank sentral Negara Republik Indonesia, selain sebagai wujud kepedulian sosial perbankan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk tabungan yang tidak dibebani biaya administrasi, produk tabungan ini juga disinyalir dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui budaya menabung, Memberikan respon positif terhadap kebutuhan masyarakat kecil terhadap produk tabungan yang berbiaya murah, Membangun image bahwa menabung itu mudah dan menguntungkan.

Bank Indonesia memprediksi potensi penghimpunan dana dari produk “TabunganKu” ini hingga Rp 24 Trilyun dengan biaya pemasaran produk yang lebih murah karena dilakukan secara bersama, namun ini hanyalah sebuah analisa diatas kertas saja. Rp 24 T diperebutkan secara bersama, tentunya Bank harus melakukan kaji ulang tentang berapa potensi dana yang bisa mereka dapatkan dengan demografi bisnis yang masing-masing bank sangat jauh berbeda. Untuk terget penghimpunan dana dengan jumlah tertentu, Bank harus melakukan promosi yang terencana, dan itu juga merupakan biaya.

Fitur Produk TabunganKu

  1. Tanpa biaya administrasi bulanan.
  2. Setoran awal pembukaan rekening minimum Rp20.000,00.
  3. Setoran tunai selanjutnya minimum Rp10.000,00.
  4. Saldo minimum rekening (setelah penarikan): Rp20.000,00;
  5. Saldo dorman (tidak ada transaksi selama 6 bulan berturut–turut).
  • Biaya penaltinya adalah Rp2.000,00 per bulan.
  • Apabila saldo rekening mencapai <>

6. Biaya penutupan rekening atas permintaan nasabah Rp20.000,00.
7. Jumlah minimum penarikan di counter sebesar Rp100.000, kecuali pada saat nasabah ingin menutup rekening.

8. Bunga /bonus Wadiah dihitung berdasarkan saldo harian dan tidak progresif
9. Bunga / bonus Wadiah dibayarkan mengikuti periode pembayaran masing-masing bank.
10. Suku Bunga / bonus Wadiah:

  • Rp0.00 sampai dengan Rp500.000,00 tidak diberikan bunga.
  • Diatas Rp500.000,00 sampai dengan Rp1.000.000,00 sebesar 0.25%/tahun.
  • Diatas Rp1.000.000,00 sebesar 1%/tahun.

Syarat dan Ketentuan Produk TabunganKu

  1. Tabungan perorangan untuk warga negara Indonesia.
  2. Satu orang hanya memiliki 1 rekening di 1 bank untuk yang sama, kecuali bagi orang tua yang membuka rekening untuk anak yang masih dibawah perwalian sesuai kartu keluarga yang bersangkutan.
  3. Tidak diperkenankan untuk rekening bersama dengan status “dan/atau”.
  4. Transaksi penarikan tunai dan pemindahbukuan melalui hanya dapat dilakukan di kantor bank dimana rekening dibuka.
  5. Persyaratan pembukaan rekening tetap mengacu pada peraturan

Identitas diri yang dibutuhkan KTP/SIM/Paspor (berusia 17tahun ke atas). Penabung di bawah perwalian, harus menggunakan nama orang tua.

POLITISASI PENYELAMATAN PERBANKAN

Biaya penyelamatan bank sering kali menimbulkan kontroversi. Sebab biayanya tidak masuk akal dan cenderung menimbulkan kemarahan sebagian masyarakat. Apalagi, pemerintah sering menyebutnya sebagai biaya krisis untuk menyelamatkan kerugian yang lebih besar sehingga biaya yang dikeluarkan tidak sepadan dengan tingkat recovery-nya.

Saat krisis perbankan 1998, pemerintah telah melakukan rekapitalisasi perbankan (bailout) sebesar Rp650 triliun. Di dalamnya termasuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Angka itu setara dengan 55% dari produk domestik bruto (PDB). Bahkan, biaya itu masih jadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga sekarang dan bahkan hingga 2018 atau lebih.

Kalau mau lebih jujur, laba besar bank-bank sekarang masih disumbang bunga obligasi rekap, kendati bank-bank tersebut sudah dimiliki asing. Dengan demikian, bonus yang diterima direksi, komisaris, dan karyawan bank tersebut masih ada unsur subsidi APBN.

Inti dari penyehatan perbankan adalah mengembalikan fungsi bank yang sebelumnya tidak sehat. Bank-bank yang disehatkan sudah menjalankan fungsi intermediasi, menggerakkan ekonomi, meningkatkan pembayaran pajak, dan menafkahi para karyawannya. Itulah sebenarnya tujuan penyelamatan bank. Mengembalikan fungsi bank dan tidak menimbulkan energi negatif bagi industri atau bank-bank lain. Sebab, tidak mungkin suatu negara tidak memiliki bank.

Secara matematika, biaya yang diperoleh dari penjualan aset bank mestinya sama atau lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan pemerintah. Apalagi, banyak pendapat dari berbagai unsur masyarakat, jika biaya penyelamatan bank tersebut digunakan untuk membangun sekolah dasar yang sering ambruk atau membuat program pengentasan kemiskinan, tentu akan lebih bermanfaat.

Pendapat demikian tidak salah. Namun, dalam konteks penyelamatan bank tentu tidak bisa disejajarkan. Sebab, visi penyelamatan bank adalah menyelamatkan industri secara tidak langsung. Jika tidak diselamatkan, tentu kita tidak akan pernah punya Bank Central Asia (BCA) yang menjadi payment bank terbesar di Indonesia. Juga, tidak akan pernah ada Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kita juga tidak akan pernah melihat Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI), dan 12 bank pembangunan daerah (BPD) lainnya.

Kembali pada kasus Bank Century yang diributkan publik lantaran biaya penyelamatannya dinilai terlalu besar, yakni Rp6,7 triliun, karena tidak akan kembali ketika Bank Century dilepas kepada investor. Menurut Dradjad H. Wibowo, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), kalau bank ini dijual, tidak akan mendapatkan harga penyertaan sementara. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun akan berpotensi merugi setidaknya Rp5 triliun.

Biaya sebesar itu bukanlah semata-mata untuk menyehatkan Bank Century, melainkan menyehatkan industri perbankan secara tak langsung, yang kala itu tengah dilanda krisis dari kerugian yang lebih besar. Hitung-hitungannya sangat besar, sekitar Rp30 triliun, karena saat itu ada 23 bank dalam kondisi rawan likuiditas. Ada kecenderungan flight to quality alias dana berpindah dari satu bank ke bank yang lebih kuat.

Apalagi, rekapitalisasi terhadap Bank Century tidak menggunakan uang negara, tapi menggunakan uang LPS. Berdasarkan pengalaman krisis 1998, penyelamatan bank membuat APBN kobol-kobol sampai dengan sekarang. Hingga kini tidak ada kerugian negara, kendati semua pihak sependapat untuk terus dilakukan pengawasan yang proporsional. Tidak seperti sekarang, mulai dari ulama hingga tukang ojek pun fasih berbicara tentang Bank Century. Bahkan, pembicaraannya sudah kehilangan substansi.

Langkah yang perlu ditempuh semua pihak adalah harus dapat memisahkan Bank Century sebelum diselamatkan (rekapitalisasi) dan sesudah rekapitalisasi karena merupakan dua hal yang berbeda. Tidak bisa disamakan seperti yang terjadi dalam berbagai diskusi dan talkshow di televisi. Kini Bank Century sedang menuju pemulihan. Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder dan bukan menjadikan Bank Century sebagai bola panas bagi pemerintah.

Politisasi dalam penyelamatan Bank Century yang mulai tampak terkuak tidak akan membuat kita belajar tentang pentingnya fungsi sistem perbankan. Apa jadinya jika dalam perjalanan ada bank beraset Rp100 triliun, karena sesuatu hal mengalami kesulitan, tidak ada yang berani mengambil keputusan. Karena, siapa yang berani jika kebijakan menjadi kriminalisasi kebijakan.

Kenyatan itu akan membuat industri perbankan memasuki era gelap karena politisasi terhadap perbankan akan menghasilkan kerugian yang besar bagi industri perbankan. Apalagi, jika isu sebuah bank dijadikan jalan menuju puncak kekuasaan, perebutan kursi, atau alat posisi tawar bagi sebuah kekuasaan. Tentu sangat mahal harganya.

Bank adalah sebuah lembaga kepercayaan yang harus terus dijaga seluruh stakeholder. Pasalnya, setiap kesulitan perbankan akan memengaruhi sistem perbankan dan pada akhirnya mengganggu perekonomian karena bank juga menjadi darah bagi perekonomian.

BANK SYARIAH SEBUAH TANTANGAN DAN SOLUSI BAGI UMAT ISLAM

Umat Islam di Indonesia merupakan pelaku ekonomi terbesar di Indonesia bahkan dunia, selama ini kita mengikuti dan merujuk kepada sistim perekonomian bangsa. Sistim ekonomi yang ada memang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa tetapi umat Islam seharusnya punya suatu sistim yang mengarah kepada syariah sehingga umat Islam lebih leluasa mengembangkan diri karena sesuai dengan kaedahnya dan anutan. Salah satu sistim yang perlu dikembangkan adalah sistim perbankan syariah.

Bank merupakan mediator utama untuk melakukan traksaksi finansial dalam suatu perekonomian. Bank sebagai pengumpul uang masyarakat dan menyalurkan dalam bentuk investasi. Sejak jaman Belanda bank yang ada hanyalah bank konvensional yang menganut sistim bunga. Bank konvensional tidak menitikberatkan pada pemberdayaan ekonomi secara bagi hasil,tetapi sangat tergantung kepada kemampuan pengelola dan agunan. Ini tentu sangat menguntungkan sebagian orang atau institusi tertentu. Indonesia dengan penduduknya mayoritas miskin tentu tidak mampu memanfaatkan fasilitas yang disediakan.

Umat Islam mau tidak mau bila ingin manabung harus ke bank konvensional, walaupun selalu bertentangan dengan hati nurani sebagai umat yang bertaqwa kepada Allah swt. Umat Islam merasa ragu dan was-was dengan sistim bank konvensional karena masalah riba. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al Quran Surat Al Baqarah : 275)

Riba dalam Islam adalah haram. Akibatnya banyak umat Islam terutama di desa-desa enggan menabung di bank, mereka lebih cenderung menabung dalam bentuk emas sehingga bebas riba. Namun masyarakat khususnya kaum muslimin di Indonesia kurang merespon adanya bank syariah. Hal ini disebabkan antara lain :

  1. Masyarakat sudah terbiasa selama berabad-abad hidup dalam sistem interest/bunga. Hal ini tentu membuat rasa nyaman meskipun dalam hal-hal tertentu mengakui bahwa ada yang kurang adil dalam sistem bunga bank.
  2. Diakui ataupun tidak kita menjadi bangsa yang sekuler, bahkan kaum ulama pun seringkali memisahkan kehidupan agama dari kehidupan dunia. Sehingga tausiah pada bidang muamalah juga masih jarang disentuh. Tidak heran jika fatwa MUI tentang haramnya bunga tidak dengan segera ditanggapi positif oleh masyarakat.

Paling menarik berdasarkan penelitian antara lain oleh Markplus, diketahui nasabah bank syariah yang berlatar belakang emosional agama hanya sedikit, sebagian besar adalah orang yang rasional yakni jika bank syariah memberi layanan dan manguntungkan maka mereka akan bertransaksi di bank syariah, namun jika bank konvensional lebih menguntungkan maka mereka pindah ke bank konvensional

Setidaknya perbankan syariah perlu melakukan pendekatan rasional agar perbankan syariah tidak kalah dengan konvensional :

  1. Meningkatkan standar layanan, kemudahan akses dan jaringan layanan
  2. Perlunya sosialisasi dan publikasi yang lebih banyak mengenai kajian-kajian ilmiah kerugian sistem bunga dan studi komparasi sistem bunga vs sistem bagi hasil/margin
  3. Perlunya kolaborasi industri perbankan syariah dan akademisi untuk menghasilkan SDM yang memiliki kompetensi di bidang perbankan syariah
  4. Meningkatkan kerjasama dengan para pelaku dan pemerhati ekonomi syariah Islam yaitu: pihak pemko dan pemkab, para ulama, akademisi, komunitas pengusaha muslim dan komunitas-komunitas berbasis Islami seperti ESQ, HidupBerkah, MES, IAEI, dll.
  5. Pertumbuhan asset perbankan syariah, secara bertahap harus diimbangi dengan meningkatkan sistem IT setara bank konvensional, meskipun disadari hal ini akan membutuhkan investasi yang cukup besar.

15 September 2010

KODE ETIK BANKIR INDONESIA

KODE ETIK BANKIR INDONESIA
(CODE OF ETHICS OF INDONESIAN BANKERS)

Seorang bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
(A banker should obey and comply to the respective laws and existing regulations)

Seorang bankir melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang bertalian dengan kegiatan banknya.
(A banker should correctly record all related transactions and activities of the bank)

Seorang bankir menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.
(A banker should avoid unhealthy competition)

Seorang bankir tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi
(A banker should not abuse the given authority for personal purposes)

Seorang bankir menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan.
(A banker should avoid conflict of personal interests in decision making)

Seorang bankir menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya.
(A banker should safe guard the confidentiality of the customers and the bank)

Seorang bankir memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap keadaan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
(A banker should take into considerations the disadvantages to the economy, social, and environment when establishing the policy of the bank)

Seorang bankir tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarganya.
(A banker should not accept undeclared gift nor compensation to enrich one self or the family)

Seorang bankir tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya.
(A banker should not misconduct which may effect disadvantageously to the image of the profession)

Sumber : bankir-indonesia

INTERNATIONAL CHANGE AND HOPE DARI OBAMANOMIC

Perekonomian Amerika Serikat jatuh ke dasar paling rendah. Bagaimana perubahan dan tantangan Barack Obama sang Presiden AS ? Apa yang akan dilakukan Obama?

OBAMA akhirnya memenangi pemilihan presiden yang disebut-sebut merupakan salah satu yang melelahkan, namun sekaligus mengundang partisipasi rakyat yang juga termasuk terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat (AS). Tidak hanya rakyat AS yang kelihatan bergairah dengan terpilihnya Obama. Di banyak bagian belahan dunia lain pun, termasuk Indonesia, terpilihnya Obama disambut dengan sukacita.

Jargon kampanye Obama yang mengedepankan kata kata “change” dan “hope” agaknya sangat tepat memenuhi harapan “sentimental” banyak orang AS (dan masyarakat dunia) yang sudah mulai jenuh dengan politik perang yang dijalankan Bush, yang kemudian diperparah dengan terjadinya krisis finansial pada akhir pemerintahannya.

Setelah euforia terhadap janji “perubahan” dan “harapan” mereda, saatnya untuk lebih realistis melihat pada apa yang sebenarnya ditawarkan Obama dengan jargon perubahan dan harapannya. Yang pasti, Obama adalah seorang presiden AS, bukan “presiden dunia”. Ia akan bertindak sejalan dengan apa yang dijanjikannya kepada rakyatnya, in the best interest of the United States of America.

Bagaimana paket perubahan dan harapan yang ditawarkan pemerintahan Obama dalam mengatasi krisis finansial? Sampai dengan saat ini belum terlihat jelas bagaimana kebijakan ekonomi pemerintahan Obama.

Salah satu clue yang mungkin dapat diambil saat ini adalah bahwa terwujudnya “perubahan” itu akan berjalan secara gradual dan “harapan” tidak dapat dicapai secara cepat. Hal ini dinyatakan dalam pidato kemenangannya di Chicago beberapa saat lalu.

Obama menyatakan bahwa skala krisis ini sedemikian besar dan dalam, sehingga ada kemungkinan “pekerjaan reparasi” yang harus dilakukan tidak akan selesai, bahkan dalam dua kali masa pemerintahannya (jika dia terpilih dua kali).

Partai Demokrat, partai yang mengusung Barack Obama, menganut paham Jefersonian yang memercayai kemajuan suatu negara adalah apabila ada pemerataan income bagi rakyatnya, lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi.

Salah satu contoh kebijakan ekonomi yang menunjukkan filosofi ekonomi Partai Demokrat adalah apa yang dijalankan pemerintahan Clinton. Saat itu, Clinton menaikkan pajak pendapatan bagi kalangan atas sebagai usahanya untuk mengatasi defisit anggaran yang kemudian menyebabkan ketidakmerataan pendapatan dalam masyarakat AS.

Kebijakan itu kemudian dikritik pihak yang menentangnya bahwa hal itu akan membawa ekonomi AS pada jurang kehancuran. Kenaikan pajak tersebut dinilai akan menghambat inovasi dan investasi yang berasal dari para pemilik modal, kalangan yang menjadi target kenaikan pajak pendapatan.

Kebijakan Clinton untuk menaikkan pajak ini dilaksanakan setelah periode pemerintahan Reagan (Partai Republik) yang terkenal sebagai Reaganomics, yang sangat berpihak pada paham pasar bebas (free market). Paham pasar bebas itu artinya memberi kebebasan pasar yang sebesar-besarnya, tingkat pajak yang rendah, dan peranan pemerintah yang sekecil mungkin dalam mengatur pasar.

Kebijakan tersebut juga dianut pemerintahan Bush yang berasal dari partai yang sama dengan Reagan. Reaganomics maupun kebijakan ekonomi Bush ternyata menyebabkan defisit anggaran yang besar dan berujung pada income inequality.

Obama diwarisi kondisi ekonomi AS yang sedang mengalami krisis terbesar sejak great depression pada 1930 dengan defisit anggaran paling besar (yang pernah terjadi) dan income inequality yang juga makin besar. Krisis ekonomi yang dialami AS saat ini dan janji-janji yang dikemukakan Obama selama kampanye mengundang kekhawatiran akan adanya kebijakan-kebi­jakan yang mengarah ke proteksionisme.

Kekhawatiran akan proteksionisme AS ini bahkan sudah disuarakan Perdana Menteri (PM) Inggris. Dia mengharapkan Barack Obama tidak terjebak dalam kebijakan protesionis da­lam menghadapi resesi ekonomi. Banyak ana­lis melihat bahwa kebijakan ekonomi Obama akan terlihat sedikit mix: tidak sepenuhnya menganut pasar bebas, tetapi juga tidak menganut proteksionisme yang menutup pasar secara kuat.

Untuk pasar keuangan, Obama terlihat mendukung ide para pemimpin Eropa dalam G 20 untuk membuat aturan yang lebih ketat. Dia melihat bahwa krisis finansial yang terjadi saat ini adalah kegagalan sistem pasar bebas yang dibiarkan terlalu bebas tanpa adanya regulasi yang memadai. Obama dan para pemimpin Eropa berpendapat bahwa krisis keuangan yang terjadi sekarang bukan sepenuhnya karena kegagalan mekanisme pasar bebas, melainkan hanya karena kurangnya regulasi pada hal-hal yang seharusnya diatur.

Krisis kali ini menunjukkan bahwa pasar ternyata tidak sepenuhnya mampu mengatur dirinya sendiri secara efisien dan membawa kesejahteraan pada orang banyak secara fair, seperti yang diyakini para pendukung “total” free market selama ini.

Secara sederhana, kebijakan Obama untuk pasar keuangan adalah pasar bebas yang lebih diatur. Sampai di mana regulator dapat berpe­ran, sampai saat ini masih dalam perdebatan karena ada pendapat dan pengalaman dari beberapa negara bahwa aturan yang terlalu ketat akhirnya dapat menjadi bumerang dan menghambat pertumbuhan pasar yang sehat.

Di sisi pasar keuangan, Obama masih terlihat market friendly, tapi tidak demikian dengan tone-nya pada sisi perdagangan internasional. Dalam berbagai pidato kampanyenya, “tone” yang terlihat adalah proteksionisme. Kebijakan yang mengarah pada proteksionisme ini salah satunya terlihat dari ancaman yang dilancarkan Obama untuk menghukum perusahaan AS yang membawa kesempatan kerja ke luar AS.

Keinginan untuk menjalankan kebijakan proteksionis ini terlihat sangat pas dengan kondisi perekonomian AS saat ini yang lesu. Hal itu ditandai dengan makin meningkatnya pengangguran dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar AS. Yang terakhir terjadi adalah keteterannya industri mobil yang tidak mampu bersaing dengan produsen mobil Asia, seperti Jepang dan Korea.

Kekhawatiran akan proteksionisme AS ini sudah disuarakan PM Inggris yang beberapa waktu lalu mengharapkan Obama tidak terjebak untuk menjalankan kebijakan proteksionis dalam membenahi perekonomian AS. Namun, kondisi perekonomian dan tekanan untuk dapat merealisasikan janji menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya untuk rakyat AS akan menimbulkan tekanan politis yang kuat kepada Obama untuk melancarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat proteksionis.

Banyak kesepakatan di masa Bush yang dipandangnya merupakan kebijakan pasar bebas yang kebablasan dan merugikan AS, terutama para pekerja yang merupakan konstituen utama Obama. Salah satu langkah yang mencerminkan hal tersebut adalah dia akan meninjau kembali Perjanjian NAFTA, “to make sure that the agreement benefits us”. Dia juga akan menaikkan standar kualitas produk dan banyak orang memandang kebijakan ini merupakan usaha untuk melindungi pasar AS dari serbuan produk Cina yang sangat kompetitif dalam harga.

Obama juga akan berjuang untuk memasti­kan bahwa perjanjian tersebut merupakan perjanjian perdagangan yang fair, yang dalam “kamus” Obama berarti haruslah memberi benefit bagi ekonomi dan menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyat AS. Obama juga berpendapat bahwa akan lebih baik jika dana yang selama ini berkeliaran di luar AS ditarik kembali untuk pembangunan infrastruktur dan sektor riil yang memberikan kesempatan kerja lebih luas kepada rakyat—yang berarti juga makin mengerutnya likuiditas global.

Kebijakan-kebijakan yang menjadi pilihan Obama pada saat dia resmi menjadi presiden tentu akan berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian global. Dunia mungkin akan melihat suatu overhaul sistem keuangan dan akan lebih restricted.

Kebijakan Obama atau “Obamanomic” yang bernuansa proteksionis akan membuat pertumbuhan perekonomian global melemah dan negara di seantero dunia harus bersiap menghadapinya karena yang sakit kali ini adalah pusat perekonomian dunia. Kemampuan untuk bergantung pada kekuatan ekonomi domestik sangat diperlukan, setidaknya dalam masa-masa sakit parahnya ekonomi AS, sehingga vitalitas ekonomi dapat terjaga.

Tidak semua kebijakan Obama akan menjadi “ancaman” bagi dunia. Keinginannya untuk menggalakkan pemakaian energi alternatif merupakan angin segar bagi permasalahan global warming yang makin menghantui dunia.

Namun, untuk mengegolkan kebijakannya di bidang energi ini, Obama harus berhadapan dengan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan pemakaian minyak fosil selama mungkin. Mereka adalah “orang-orang kuat” dan pelobi ulung yang sangat “kenyal” dalam mempertahankan kepentingannya.

Untuk saat ini kita di Indonesia hanya bisa menunggu bagaimana kebijakan Obama yang sesungguhnya. Tentunya sembari menyiapkan perangkat kebijakan dan “senjata”, sehingga negara ini selamat melayari resesi dunia.

http://www.infobanknews.com diedit seperlunya dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis)

Pertumbuhan Kredit Perbankan 2009 Diperkirakan Anjlok Jakarta, (Analisa)

Pertumbuhan kredit perbankan pada 2009 diperkirakan anjlok setelah 2007 dan 2008 mengalami pertumbuhan yang sangat pesat akibat dampak dari resesiglobal yang bakal makin terasa tahun depan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad, di Jakarta, Kamis mengatakan, pihaknya membuat perkiraan angka pertumbuhan kredit 2009 sebesar 15-20 persen, turun dari pertumbuhan kredit tahun ini yang berada di sekitar 30 persen.

Namun angka tersebut, menurut dia, masih dikaji lebih lanjut menunggu rencana bisnis bank yang akan dilaporkan ke BI.
Ia mengatakan, angka perkiraan kredit tersebut dirasa agak berat bagi perbankan ketika disosialisasikan oleh BI.
"Pembicaraan saya dengan beberapa teman-teman bank angka ini (pertumbuhan kredit 15-20 persen) terlalu berat.

angka itu masih bisa didiskusikan. Tapi beberapa bank menengah pertumbuhan itu masih bisa diterima. Nanti kita lihatlah, karena bank nanti ajukan rencana bisnisnya untuk 2009, nanti di-'confirm' (dikonfirmasi) lagi apakah angka itu terlalu tinggi karena pengaruh krisis lebih besar. Itu angka anecdotle yang berkembang dan terus berubah," katanya.
Menurut dia, tantangan perbankan pada 2009 masih tinggi dalam menyalurkan kredit.

Ia mengatakan, pada 2009 krisis kekeringan likuiditas masih akan berlangsung di perbankan, sehingga bank tidak akan ekspansif dalam memberikan kreditnya. Terutama untuk menjaga tingkat likuiditas yang dimiliki perbankan.

Di sisi lain, dampak krisis global yang semakin terasa membuat pergerakan sektor riil menjadi lambat. Turunnya permintaan dunia membuat banyak perusahaan yang harus menurunkan kapasitas produksianya bahkan menghentikan produksinya. Sehingga kekhawatiran munculnya kredit macet akan menjadikan perbankan sangat selektif dalam menyalurkan kredit.

"Secara keseluruhan kita mengkhawatirkan kemampuan membayar (kredit) berkurang. Kalau secara keseluruhan ada perkiraan kemampuan membayar berkurang jadi lebih bagus diperhatikan sejak awal bagiamana bank memitigasi (mengendalikan) resiko ini," katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Ryan Kiryanto mengatkan, pertumbuhan kredit pada 2009 akan berkisar antara 12-16 persen.
"Kita melihat tantangan 2009 bagi industri perbankan masih sangat kuat," katanya.

Menurut dia, perbankan masih akan dilanda krisis kekeringan likuiditas hingga kuartal III, sehingga bank-bank akan mengerem ekspansi pemberina kredit.
Di sisi lain, menurut dia, tingginya kekahwatiran kredit macet akibat memburuknya situasi ekonomi pada 2009 menghantui bank dalam menyalurkan kredit. "Mereka akan lebih prudent (hati-hati)," katanya.

Selain itu, menurut dia, pada 2009 perbankan akan mengerem penyaluran kredit setlah 2008 ini perbankan melakukan penyaluran kredit yang sangat agresif.
Namun demikian, menurut dia, pada 2009, pertumbuhan kredit usaha mikro kecil dan menengah akan melejit seiring dengan banyaknya para pekerja yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) masuk ke sektor informal seperti pedagang.

"Pada 2009 menjadi peluang bagi mereka yang bergerak di sektor UMKM, bank-bank seperti BRI, Danamon yang mengincar sektor ini akan tumbuh baik pada kredit ini," katanya.
BI sebelumnya telah merevisi angka pertumbuhan kredit dari 22-24 persen pada 2009 menjadi 19-22 persen seiring dengan kondisi perekonomian yang terus meburuk.

Sementara itu, pertumbuhan kredit dalam dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan pesat. Dari perkiraan bank Indonesia pada 2007 sebesar 22 persen kredit mampu tumbuh hingga 25,5 persen mencapai Rp 1.045,7 triliun atau kredit tumbuh Rp 41,05 triliun.

Pada 2008, dari target pertumbuhan kredit 26 persen, angka penyaluran kredit melaju pesat hingga diatas 30 persen. Bahkan pertumbuhan kredit sempat menembus angka 36 persen. Tingginya pertumbuhan kredit tersebut membuat Bank pada Oktober 2008 pertumbuhan kredit (YoY) mencapai 34 persen, sementara itu Mulyaman mengatakan, hingga akhir tahun kemungkinan pertumbuhan kredit di bawah 30 persen

BI RATE TURUN SEBESAR 25 bps

Setelah mencermati dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi dan keuangan di dalam dan luar negeri, Bank Indonesia akhirnya kembali memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,5 %.

Perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian yang tinggi, meskipun akhir-akhir ini terdapat sentimen positif terkait dengan adanya kesepakatan G20 yang mendorong perbaikan di pasar modal dan pasar keuangan global.

Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia 2009 akan berada pada kisaran 3-4%. Meskipun mengalami perlambatan, pertumbuhan tersebut masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan prospek pertumbuhan negara-negara lain. Geliat ekonomi domestik akan ditentukan pula oleh berjalannya stimulus fiskal.


Tekanan inflasi terus menurun. Penurunan tekanan inflasi tersebut terutama disebabkan oleh masih berlanjutnya dampak dari penurunan BBM, produksi pangan yang diperkirakan membaik dan membaiknya ekspektasi inflasi. Tekanan dari harga-harga makanan yang bergejolak (volatile food prices) juga rendah seiring dengan terjaganya produksi pangan. Dengan perkembangan tersebut, inflasi 2009 diperkirakan dapat mencapai batas bawah kisaran 5% - 7%.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia triwulan I-2009 lebih baik dari perkiraan semula. Volume ekspor beberapa komoditas unggulan seperti minyak sawit dan tembaga tetap menunjukkan kinerja yang positif. Sedangkan manufaktur memang mengalami penurunan, seiring dengan melemahnya permintaan global. Selama triwulan I-2009, neraca pembayaran diprakirakan mencatat surplus sebesar USD 3,5 miliar. Pada akhir triwulan I-2009, cadangan devisa tercatat sebesar 54,8 miliar dollar AS atau setara dengan 5,9 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Kondisi perbankan nasional tetap terjaga baik. Rasio kecukupan modal masih cukup tinggi yakni 17,7% (Februari 2009) dengan Non-Performing Loans (NPL) relatif masih terkendali (NPL Gross sebesar 4,3%, NPL Net 1,6% per Februari 2009). Likuiditas perbankan, termasuk aliran likuiditas dalam pasar uang antar bank, makin membaik seiring dengan pengurangan segmentasi dan meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK). Pertumbuhan kredit dalam triwulan I-2009 masih rendah, namun diharapkan mulai meningkat dalam triwulan II ini. Dalam kaitan ini akan dilakukan sinkronisasi yang lebih intensif antara sumber pembiayaan fiskal dan perbankan dalam memperlancar pembiayaan proyek-proyek stimulus ekonomi.

Bank Indonesia akan senantiasa mencermati perkembangan yang terjadi di bidang ekonomi dan keuangan dan siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat perekonomian domestik dan menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan.


SEBUAH ANALISA MENGENAI KRISIS AMERIKA


Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis ekonomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikat dan Bahkan di dunia.

Ada sebuah analisa lain, selain yang disampaikan oleh Dahlan Iskan tempo lalu di harian Kompas. Analisa ini saya dapatkan dari mailist sumbernya saya lupa. Artikel ini diberi judul : Asal Mula Krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat.

Asal Mula Krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat (AS)

Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom. Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank.

Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya.

Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini, banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya.

Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.

RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.

Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor (mirip pemberian kartu kredit yang jor-joran di Indonesia, seorang office boy punya 2 sd 5 kartu kredit).

Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage.

Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.

Kumpulan utang tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.

Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s (S&P).

Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :

1. Kreditor Perumahan Murah
Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.

Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.

Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.


2. Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.


3. Investment Banks (Bank Investasi)
Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

Dampak Krisis Subprime Mortgage Amerika Serikat (AS)


Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)

Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia. Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.

Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.

Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.

Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.

Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.

Kebijakan Bank Sentral Untuk Mengatasi Krisis Subprime Mortgage
Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.

Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi khususnya di negara berkembang.

Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerint ah negara seluruh dunia.

Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusaha an sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusaha an keuangan sedemikian besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.

Kesimpulan

Kebijakan perubahan suku bunga bank sentrak yang tidak diimbangi dengan koordinasi yang komprehensif dengan pengawasan penyaluran dana terutama sektor non produktif (property) memiliki dampak yang luas terhadap stabilitas system keuangan jangka panjang, sikap perbankan yang kurang hati-hati dan penerbitan derivative securities yang terlalu liberal tanpa didukung oleh pemberdayaan sektor riil yang produktif juga memiliki kontribusi yang besar terhadap kerapuhan ekonomi, terakhir adalah peranan dari pemeringkat yang memberikan penilaian yang terlalu confidence terhadap fenomena market yang dominant debt market juga memberikan peranan terhadap krisis lembaga keuangan keuangan.

Dengan demikian be carefull dengan kebijakan pengaturan suku bunga yang terlalu mempercayakan kepada market, be carefull dengan laporan pemeringkat yang terlalu overlooked, dan be strong dengan pengawasan terhadap perbankan dan lembaga keuangan yang banyak mengucurkan dana public untuk sektor konsumtif termasuk property.





PEMINDAHAN IBU KOTA RI ?

Beberapa waktu yang lalu wacana-wacana seputar pemindahan ibukota negara, hah..?? pindah..??

emang bisa gitu..?? oo..ya jelas bisa,, dan itu pastinya dengan alasan yang kuat dan tujuan yang benar-benar jelas....

sebelumnya di Indonesia sendiri dulu juga acap kok memindahkan ibukota negara, ibukota negara Indonesia ini pernah di Yogyakarta,pernah pula di Bukittinggi.

Dan bukan hanya di Indonesia saja lho, negara-negara lain yang pernah memindahkan ibukotanya, seperti :

Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari Philadelphia ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Melbourne ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.


Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.

Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta..??
Apa ini tidak beresiko besar..?? dan memakan biaya yang sangat besar pula..??

Pertama, seperti yang kita ketahui, ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.

Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.

Akibatnya :

1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet.

2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.

3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.

4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.

5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan.

6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.

7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.

8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.

9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.

10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.


Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.

Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.
Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa). Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah. Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?



Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!

Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.

Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.

Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.

Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan tidak ada gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.

Jika membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu sangat besar.

Kedua, karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun rupiah lebih.

Oleh karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat pelabuhan.


Dengan cara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebih dari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, maka biaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.

Ibukota Brazil, Brasilia dibangun dari tanah kosong / awal. Dari situ dirancang dan dibangun semuanya dari awal oleh para ahli tata kota. Ibukota lainnya yang dirancang dan dibangun dari awal untuk jadi ibukota adalah Washington DC, Canberra, dan Islamabad: Islamabad rancangan kotanya disiapkan tahun 1960, pembangunan konstruksi pertama tahun 1961, dan selesai tahun 1966. Selesai dalam 6 tahun. Umumnya ibukota baru dibangun tidak jauh dari kota sekitarnya (di bawah 400 km jaraknya). Brasilia sejak jadi ibukota tahun 1957 sekarang jumlah penduduknya sekitar 2,5 juta jiwa, Canberra 350 ribu jiwa dan Washington DC sekitar 563 ribu jiwa.

Pembangunan ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?

Dari 500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah. Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan rumah dinas. 100 km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2. Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.

Total pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20 trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4% jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp 175-350 trilyun.

Ibukota baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.

Usulan sarannya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka. Diharapkan Indonesia dengan kota ini benar-benar merdeka secara ekonomi dan politik. Letaknya 30 km dari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km (lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota ini bisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Kondisinya seperti kota London yang jaraknya dari laut sekitar 40 km. Dengan posisi agak jauh dari laut, kota ini relatif lebih aman dari bahaya invasi secara mendadak. Selain itu dengan sungai yang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, dan Australia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai. Sebagian Kota ini juga ada di dataran tinggi antara 50-500 meter dari permukaan tanah. Kota ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang dari satu jam. Diharapkan dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata. Memang pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan direncanakan mulai dari sekarang. Jika tidak pindah, apa jadinya jika jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 30-40 juta jiwa pada tahun 2018?



Sumber artikel lain tentang PEMINDAHAN IBUKOTA
(sumber :skyscrapercity)
http://www.antara.co.id/arc/2008/2/8...bukota-negara/
http://beritasore.com/2008/02/09/mem...bukota-negara/
http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/2
http://64.203.71.11/kompas-cetak/041...ro/1343410.htm
http://eddysatriya.blogspot.com/2007...indonesia.html
http://www.guardian.co.uk/world/2004/aug/12/northkorea
http://geography.about.com/library/weekly/aa101199.htm
http://www.infobrasilia.com.br/bsb_h...s%20planejadas