Tampilkan postingan dengan label ANALISIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ANALISIS. Tampilkan semua postingan
06 November 2012
30 Oktober 2012
10 Maret 2012
Menyoroti Kinerja Perbankan Indonesia
Di tahun Naga Air ini perbankan Indonesia harus memperhitungkan potensi risiko yang bersumber dari dua area. Area pertama adalah risiko perlambatan ekonomi global menyusul krisis utang Eropa yang sulit diselesaikan dalam waktu singkat
Di tengah keterpurukan sektor perbankan di Amerika Serikat dan kawasan Eropa karena didera krisis ekonomi, kinerja sektor perbankan Indonesia justru menunjukkan potret menggembirakan. Hal ini setidaknya tecermin dari kinerja harga saham emiten sektor perbankan sebagai refleksi capaian kinerja di sepanjang 2011 lalu yang mengesankan.
Diproyeksikan kinerja emiten perbankan pada 2012 akan ditopang oleh tingginya permintaan dari dalam negeri. Memang sejumlah kebijakan Bank Indonesia (BI) berpotensi mengurangi net interest margin (NIM), tetapi bank akan meningkatkan volume kredit atau meningkatkan pendapatan non-bunga (fee based income/FBI) untuk mengatasi penurunan tersebut.
Target penyaluran kredit industri perbankan sebesar 23,6% pada 2012 akan didukung permintaan dari industri domestik. Kontribusi kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih berkisar di level 27%, lebih rendah dibanding Filipina 30%, India 51%, Thailand 79%, Malaysia 109%, dan Singapura 139%. Hal ini menunjukkan perbankan Indonesia masih memiliki ruang yang cukup besar untuk menyalurkan kredit.
Diproyeksikan kinerja emiten perbankan pada 2012 akan ditopang oleh tingginya permintaan dari dalam negeri. Memang sejumlah kebijakan Bank Indonesia (BI) berpotensi mengurangi net interest margin (NIM), tetapi bank akan meningkatkan volume kredit atau meningkatkan pendapatan non-bunga (fee based income/FBI) untuk mengatasi penurunan tersebut.
Target penyaluran kredit industri perbankan sebesar 23,6% pada 2012 akan didukung permintaan dari industri domestik. Kontribusi kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih berkisar di level 27%, lebih rendah dibanding Filipina 30%, India 51%, Thailand 79%, Malaysia 109%, dan Singapura 139%. Hal ini menunjukkan perbankan Indonesia masih memiliki ruang yang cukup besar untuk menyalurkan kredit.
02 Desember 2011
STRATEGI BENANG MERAH MERAIH FUNDING
Perburuan funding yang tidak dilakukan secara organik, apalagi sustain, tidak direkomendasikan (unrecommended).
Apakah karena Bank Century bermasalah terus, Bank Mutiara menjadi susah funding-nya? Oh, jangan salah, fakta mencatat mereka makin merekah.
Yang nenjadi tanda tanya adalah dari mana alur si benang merah tersebut. Itu menggelitik untuk ditelusuri dan menarik untuk dikaji. Menyingkap sebuah misteri demi lahirnya sebuah strategi.
Memang hampir kebanyakan orang terpana, heran, dan tak percaya apa hal itu bisa? Dari laporan publikasi, Bank Mutiara telah membukukan kenaikan funding selama triwulan ketiga 2010 sebesar Rp1,8 tiriliun.
Kok bisa? Bukankah orang masih alergi terhadap produk-produk Bank Mutiara karena Bank Century? Tak usah pusing-pusing mencari.
Berikut ini kupasan mengenai konsep dan formulasi strategi benang merah ekspansi funding.
Sebelum membahas lebih jauh, kita samakan persepsi dulu bahwa formulasi ekspansi funding, yakni menahan dana existing dan menambah dana baru (fresh fund) yang berasal dari nasabah existing dan nasabah baru.
Kedua unsur tersebut harus digarap simultan sebab kalau tidak pasti berlepotan. Contoh, ada dana baru masuk, tetapi dana existing keluar, ya percuma. Sampai di sini pasti gampang dimengerti.
Selanjutnya, bagaimana strategi benang merah untuk ekspansi funding ?
01 Desember 2011
Memahami Disability Insurance
Benefit yang didapat dari perusahaan asuransi akan sangat tergantung pada jenis benefit yang di-cover dalam produk disability insurance. Jenisnya bisa jadi berbeda antara produk yang dikeluarkan oleh perusahaan yang satu dan yang lain.
Risiko
kehilangan kemampuan untuk mencari nafkah selalu mengintai setiap
orang. Namun, sering kali risiko ini diabaikan sebagian orang. Untuk
mengantisipasi hal itu, sebaiknya masyarakat ikut disability insurance.
Disability insurance dapat
diartikan sebagai asuransi yang menjamin pendapatan yang diperoleh
penerima manfaat jika terjadi risiko ketidakmampuan bekerja. Produk
ini melindungi keluarga dari situasi yang tidak diinginkan dan menjamin
kelanjutan hidup keluarga pada saat tulang punggung keluarga mengalami
ketidakmampuan bekerja karena suatu hal.
Ada dua jenis disability insurance: ada yang masanya jangka pendek dan ada yang jangka panjang. Lalu, apa saja yang benefit yang diperoleh dari disability insurance?
29 November 2011
7 Langkah Agar Asuransi Umum Tetap Sehat
Berkonsentrasi untuk menambah modal. Selain untuk
meningkatkan kapasitas perusahaan, hal itu juga menjadi bagian dari
komitmen pemilik dalam bisnis asuransi. Jika sulit, cari mitra strategis
dan tidak perlu mengambil dividen dari laba yang diperoleh.
Berdoalah
pada Tuhan agar tidak terjadi bencana alam, baik banjir maupun gempa,
ataupun kecelakaan. Bencana yang datang silih berganti selain
menimbulkan banyak klaim juga mendorong orang untuk berasuransi. Orang
mulai banyak mengambil asuransi tidak hanya karena takut bencana datang,
tapi karena ada sedikit kesadaran baru.
Selain berdoa pada Tuhan,
para pemilik perusahaan asuransi (dalam hal ini asuransi umum) juga
harus segera menambah modal agar tidak disebut kecil-kecil “belum tentu”
cabe rawit. Tidak sedikit langkah yang sudah ditetapkan menajemen untuk
memperbaiki kinerja, tapi tidak ada salahnya mengikuti langkah yang
disodorkan Biro Riset Infobank berdasarkan kenyataan di lapangan dan
komentar para praktisi.
23 November 2011
Tips Menghindari Investasi Pepesan Kosong
Banyak sekali jenis investasi, yang menyebabkan kita bingung
dalam memilih. Salah-salah kita apes akibat investasi bodong. Bagaimana
terhindar dari investasi pepesan kosong ?
Pertama, hati-hati
dengan penawaran investasi yang memberikan “janji-janji surga” akan
imbal hasil tinggi di atas rata-rata pasar dalam jangka waktu yang
relatif singkat. Sebab, kemungkinan besar penawaran tersebut memang
berupa janji-janji belaka.
Kedua, jangan langsung
termakan bujuk rayu penjual yang memaksa Anda untuk membuat keputusan
saat itu juga, sekalipun penjual tersebut adalah orang yang Anda kenal
baik sejak lama.
Sri Mulyani Indrawati: "Effective aid requires more than money"
Even skeptics admit it: effective aid
works. In the last 25 years, the share of poor people in developing
countries has been cut by half, and the last decade has witnessed
impressive development successes in countries once thought beyond help.
Globally, the mortality rate for children under five has declined by a
third, and sub-Saharan economies grew by up to 6% per year on average.
With the exception of fragile and conflict-affected countries, today’s
poor countries are very different from the poor countries of the past.
In the 1990’s, developing countries’ economies accounted for only
one-fifth of global economic growth. Today, many of them are driving the
global economy. Some estimate that by 2025, six major emerging-market
economies – China, South Korea, Indonesia, Brazil, India, and Russia –
will collectively account for more than half of all global growth.
05 Oktober 2011
Efek Kebangkrutan AS dan Yunani
Akibat jebakan krisis, rating utang AS anjlok
menjadi AA+. Namun, Yunani lebih bangkrut lagi. Bagaimana imbasnya bagi
perbankan Indonesia? Anjloknya ekonomi global akan mengurangi porsi
investasi asing secara drastis.
Melewati pertengahan 2011, kondisi perekonomian global kembali terlihat memasuki cuaca buruk. Awal Agustus suatu lembaga rating terkemuka, Standard & Poor (S&P), menurunkan rating Amerika Serikat (AS) dari AAA ke AA+. Ini adalah suatu pukulan telak, mengingat rating puncak AAA telah dipegang AS sejak 1941. Krisis fiskal dan prospek ekonomi yang negatif adalah argumen S&P untuk melakukan downgrade atas status kredit AS.
Di
Eropa permasalahan krisis fiskal bahkan lebih parah. Secara teknis,
sebenarnya Yunani telah bangkrut dan sepenuhnya tergantung pada bantuan
dana dari International Monetary Fund (IMF) dan Uni Eropa. Bantuan dana
juga diberikan kepada Portugal dan Irlandia yang tengah mendekati
kondisi bangkrut. Kalangan analis memperkirakan, Spanyol dan Italia
segera menyusul.
Kejatuhan posisi fiskal negara-negara di Eropa dan AS akan menimbulkan kerugian (capital loss)
bagi banyak lembaga keuangan besar dunia. Dengan posisi modal yang
belum pulih dari krisis global lalu, hal itu akan kian memperburuk
fungsi intermediasi. Kerugian juga akan dialami sektor riil yang akan
menurunkan keyakinan (optimisme) bisnis.
Indonesia tentu tidak
dapat menghindar dari perkembangan ekonomi global yang negatif
itu. Dampak perkembangan ekonomi global akan terjadi melalui jalur
perdagangan, keuangan, dan psikologis. Daya tahan yang tinggi seperti
ketika menghadapi krisis global pada 2008-2009 dapat saja terjadi,
mengingat kontribusi sektor perdagangan hanya sebesar 10%-15% terhadap
pembentukan output nasional. Kendati demikian, dampak tak langsung terhadap konsumsi dan investasi (yang mencakup 70% kontribusi output nasional) melalui jalur keuangan dan psikologis lebih penting untuk diperhatikan.
Anjloknya
kondisi ekonomi global akan menyebabkan pengurangan porsi investasi
asing secara drastis. Porsi dana asing yang masuk ke pasar keuangan (portfolio investment, dikenal juga sebagai hot money) mencapai US$15,2 miliar pada 2010 atau 50% dari saldo neraca pembayaran. Meski tahun ini kontribusi portfolio investment diperkirakan sedikit menurun, porsi terhadap surplus neraca pembayaran masih dominan.
Pengurangan porsi investasi asing dapat terjadi secara tiba-tiba (sudden reversal)—dalam
kondisi ini rupiah berpotensi mengalami tekanan besar. Kendati
demikian, cadangan devisa yang dimiliki, yakni sebesar +/- US$120
miliar, diperkirakan dapat mengimbangi risiko ini. Di samping itu,
berbagai indikator kerentanan, seperti rasio utang terhadap produk
domestik bruto (PDB), defisit fiskal, dan inflasi, berada dalam batas
aman. Dengan demikian, potensi risiko dari sudden reversal dapat dikatakan cukup terkendali.
Pengawasan
lebih ketat harus diberikan pada sektor keuangan, terutama perbankan.
Berbeda dengan industri lain, menutup suatu bank bukan pekerjaan yang
gampang, apalagi jika bank besar (memiliki risiko sistematis). Penutupan
bank berpotensi menimbulkan dampak domino berupa persepsi negatif
nasabah yang memicu penarikan dana besar-besaran dari sistem perbankan (bank rush).
Aspek
terpenting yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan risiko.
Pengalaman yang ada menunjukkan dua sumber utama kerentanan perbankan,
yakni penurunan kualitas aktiva produktif dan kerugian portofolio dagang
(trading book), terutama dari valuta asing dan surat berharga.
Potensi risiko dari anjloknya kualitas aktiva produktif harus dievaluasi melalui penggunaan instrumen stress test. Stress test adalah suatu simulasi dampak kondisi ekonomi-bisnis yang ekstrem terhadap neraca dan posisi laba rugi bank (Jones et al, 2004).
IMF
telah melaksanakan pengujian ini pada September 2010 dengan skenario
kontraksi ekonomi sebesar 5%, kenaikan BI Rate 10%, dan depresiasi 50%.
Temuan yang diperoleh, di antaranya risiko kredit adalah ancaman
terbesar, dalam hal ini non performing loan (NPL) dapat melesat ke kisaran 31,5% dan 1/3 bank dalam sampel diprediksi harus melakukan rekapitalisasi—karena capital adequacy ratio (CAR) turun di bawah 8%.
Kerugian
portofolio perdagangan terjadi ketika bank memiliki eksposur yang
signifikan pada wilayah ekonomi bermasalah serta posisi devisa neto
(PDN) yang tidak netral. Permasalahan juga dapat timbul karena
transaksi-transaksi canggih (financial engineering). Yang terakhir ini lebih sulit terdeteksi karena otoritas harus melakukan investigasi terhadap buku bank.
Faktor
lain yang berpotensi menimbulkan masalah adalah likuiditas. Kebijakan
Bank Indonesia (BI) yang cenderung ekspansif—tercermin dari aturan giro
wajib minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan to deposit ratio (LDR)—telah memberikan hasil. LDR
telah meningkat dari 72,8% pada akhir 2009 menjadi 78,45% pada Mei
2011. Beberapa bank besar terlihat agresif mengejar target bebas penalti
(LDR=78%). Bank Mandiri, misalnya, mengalami peningkatan LDR yang tajam, dari 65,4% menjadi 76,3% pada periode Desember 2010 ke Juni 2011.
Dalam
kondisi likuiditas yang lebih ketat, dampak guncangan luar negeri akan
lebih kuat karena transmisi pasar uang. Bank-bank akan secara agresif
berburu dana yang berujung pada eksposur antarbank yang substansial dan
biaya dana (cost of fund) yang tinggi. Yang terakhir ini akan menyebabkan suku bunga kredit makin tinggi.
Situasi
yang lebih rumit terjadi ketika keputusan penutupan bank harus diambil
saat terjadi krisis. Sebagai suatu bisnis dengan modal cekak, perbedaan
antara situasi tidak likuid (illiquid) dan tidak sehat (insolvent) adalah tipis. Tak mudah membedakan kedua kondisi itu. Investigasi mendalam harus dilakukan.
Tentu
saja aktivitas ini membutuhkan waktu yang “memadai”—sesuatu yang
biasanya tidak tersedia dalam situasi krisis. Dengan demikian,
pengambilan keputusan bailout memang dapat dikatakan sebagai
suatu prosedur yang “cacat”, tapi harus ditempuh untuk mencegah dampak
yang jauh lebih besar lagi, yakni hilangnya kepercayaan masyarakat serta
kejatuhan perekonomian.
Dalam praktiknya, kebijakan bailout rawan akan moral hazard. Pemilik dan manajer bank memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelamatkan diri sendiri. Akibatnya, biaya bailout sering berakhir sebagai beban negara dan jumlahnya sangat substansial. Bailout
(rekapitalisasi perbankan) Indonesia pada krisis 1998, misalnya,
mencapai lebih dari Rp600 triliun dan biayanya masih dicicil hingga saat
ini.
Sumber : Infobank
10 September 2011
BI Rate Tetap 6,75%, Batas Bawah Koridor Suku Bunga Operasi Moneter Diperlebar Menjadi 150 bps
Rapat Dewan Gubernur (RDG)
Bank Indonesia pada tanggal 8 September 2011 memutuskan untuk
mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Dalam rangka mendorong kegiatan di
pasar uang antar bank di tengah besarnya ekses likuiditas selama ini,
Bank Indonesia memperlebar batas bawah koridor suku bunga operasi
moneter yang semula 100 bps menjadi 150 bps di bawah BI rate.
Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan perlunya menjaga
stabilitas perekonomian di tengah meningkatnya ketidakpastian sistem
keuangan global yang dipicu masalah utang AS dan Eropa. Meskipun gejolak
yang ditimbulkan ketidakpastian perekonomian global masih terbatas,
Bank Indonesia terus mencermati dampak penurunan kinerja ekonomi dan
keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia ke depan. Dalam
kaitan ini, Bank Indonesia akan mengambil respon suku bunga serta bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk memitigasi potensi
penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap
mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan
4,5%±1% pada tahun 2012. Bank Indonesia juga akan mempererat koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak
penurunan ekonomi dan keuangan global tersebut.
Dewan Gubernur menilai bahwa sejauh ini
kinerja perekonomian domestik menunjukkan ketahanan yang baik di tengah
meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2011 diprakirakan akan mencapai 6,6%,
ditopang oleh ekspor, konsumsi dan investasi. Ekspor diprakirakan masih
tumbuh cukup tinggi sejalan dengan prakiraan masih tingginya realisasi
perdagangan dunia serta harga komoditas internasional. Namun selanjutnya
pengaruh penurunan pertumbuhan ekonomi global diprakirakan akan mulai
terasa pada kinerja ekspor Indonesia. Di sisi lain, konsumsi masih tetap
kuat sejalan dengan optimisme konsumen dan prakiraan peningkatan
belanja Pemerintah sebagaimana pola historisnya. Sementara itu, kegiatan
investasi juga meningkat, didukung oleh perkembangan proyek
infrastruktur dan kebijakan Pemerintah mendukung investasi. Secara
sektoral, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi masih berasal
dari sektor perdagangan, hotel & restoran, sektor transportasi
& komunikasi, dan sektor industri.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada
triwulan III-2011 diprakirakan mengalami surplus yang lebih rendah dari
triwulan sebelumnya. Impor diperkirakan akan terus
terakselerasi seiring dengan kegiatan ekonomi domestik yang meningkat,
sehingga tekanan terhadap transaksi berjalan cenderung meningkat. Namun,
hal tersebut masih dapat diimbangi oleh surplus transaksi modal dan
finansial, meskipun sempat mengalami tekanan akibat perkembangan situasi
global. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir Agustus 2011
tercatat sebesar 124,6 miliar dolar AS, atau setara dengan 7,1 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar Rupiah cenderung menguat meskipun relatif terbatas.
Pada bulan Agustus 2011, nilai tukar Rupiah secara rata-rata menguat
tipis 0,05% ke level Rp 8.525 per dolar AS dengan volatilitas yang
menurun, meskipun sempat tertekan oleh faktor sentimen global terkait
kekhawatiran terhadap prospek ekonomi AS dan Eropa. Penguatan Rupiah
masih ditopang oleh fundamental ekonomi domestik yang kuat dan imbal
hasil yang menarik. Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai
tukar Rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas yang
diperlukan untuk menjaga keseimbangan pasar domestik.
09 Agustus 2011
Mengejar Laba, Menjaga Kualitas dan Identitas
Mengapa laba perbankan nasional makin besar, tentunya harus diapresiasi sebagai hasil kerja keras kalangan perbankan dari jajaran tertinggi sampai dengan terendah. Juga, dapat dianggap sebagai bukti bahwa tahun 2010 adalah tahun yang subur bagi bisnis perbankan. Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa tahun 2010 adalah era “banking booming” karena secara psikologis takut akan ada pertanyaan apakah siklus “banking crash” akan terjadi.
Dalam kondisi tertentu, tampaknya tidak perlu dipermasalahkan karena laba perbankan nasional, khususnya bank-bank badan usaha milik negara (BUMN), makin tinggi. Sebab, apa pun alasannya, laba jelas merupakan tujuan utama sebuah entitas bisnis. Laba tetap laba dari mana pun sumber perolehannya dan bagaimanapun cara memperolehnya. Sepanjang dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance atau GCG) tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Karena laba merupakan hasil akhir sebuah usaha, kenaikan laba selalu berkorelasi dengan harga saham bagi perusahaan publik dan dividen bagi pemegang saham. Kalau dikaji, dampak perolehan laba yang sangat signifikan adalah bagaimana kesinambungannya. Manajemen yang bijak tentunya mengelola bank untuk kepentingan jangka panjang.
Kesinambungan akan terjadi sangat penting karena dengan pendekatan seperti itu perusahaan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Manajemennya boleh pensiun, tapi banknya tidak pernah pensiun. Dalam kaitan terebut, ada tiga catatan yang barangkali relevan untuk direnungkan.
Dalam kondisi tertentu, tampaknya tidak perlu dipermasalahkan karena laba perbankan nasional, khususnya bank-bank badan usaha milik negara (BUMN), makin tinggi. Sebab, apa pun alasannya, laba jelas merupakan tujuan utama sebuah entitas bisnis. Laba tetap laba dari mana pun sumber perolehannya dan bagaimanapun cara memperolehnya. Sepanjang dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance atau GCG) tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Karena laba merupakan hasil akhir sebuah usaha, kenaikan laba selalu berkorelasi dengan harga saham bagi perusahaan publik dan dividen bagi pemegang saham. Kalau dikaji, dampak perolehan laba yang sangat signifikan adalah bagaimana kesinambungannya. Manajemen yang bijak tentunya mengelola bank untuk kepentingan jangka panjang.
Kesinambungan akan terjadi sangat penting karena dengan pendekatan seperti itu perusahaan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Manajemennya boleh pensiun, tapi banknya tidak pernah pensiun. Dalam kaitan terebut, ada tiga catatan yang barangkali relevan untuk direnungkan.
09 Juli 2011
Moral Hazard di Balik Ketenangan Nasabah
Blanket guarantee memang bisa memberikan rasa aman dan membangkitkan confidence masyarakat. Sekarang momentum yang paling baik untuk mengganti era blanket guarantee dengan era LPS. Apa latarnya?
Pembentukan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sebenarnya merupakan obsesi lama sektor perbankan kita. Ketika Bank Summa dilikuidasi pada 1992, isu ini sudah mulai mengemuka. Ketika sebuah bank ditutup pemerintah, nasabah pun tidak mendapat perlindungan yang memadai. Mereka harus lama menunggu dan mengurus sebelum mendapatkan kembali haknya. Dalam kasus penutupan Bank Summa, diperlukan tempo empat tahun untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya. Bahkan, konon, sampai sekarang masih ada saja yang belum beres secara tuntas.
Dari kasus itu, kemudian timbul ide bahwa sektor perbankan kita memang memerlukan sebuah lembaga penjaminan dana nasabah yang disimpan di bank. Sehingga, jika sewaktu-waktu bank bangkrut, kepentingan nasabah terlindungi asuransi. Ide tersebut tentu saja bukan suatu hal baru. Sebab, tatkala terjadi the great depression pada 1930-an, pembentukan LPS menjadi suatu safety net yang amat penting.
Sesudah kasus Bank Summa, ide tentang LPS ini kembali tenggelam di tengah hiruk-pikuknya euforia perbankan. Sejak deregulasi Paket 27 Oktober 1987 (Pakto 87), sektor perbankan memang mengalami euforia luar biasa yang hanya sedikit mengalami jeda ketika crash menimpa Bank Summa.
Ide tentang LPS sebenarnya tak pernah mati. Secara sporadis, masih sering dilontarkan ide untuk membentuknya. Argumentasinya sangat jelas. Satu, kita pernah mengalami sendiri kasus Bank Summa. Dua, secara internasional pun sudah ada contoh sejarah bahwa LPS memang diperlukan untuk memberi rasa aman bagi nasabah.
04 Juli 2011
Sejarah Money Laundering
Salah satu bentuk kejahatan kerah putih sekaligus dapat dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime) adalah money laundering (pencucian uang). Menurut Billy Steel istilah “money laundering” aslinya berasal dari bisnis Laundromats (tempat cuci otomat) milik Mafia di Amerika Serikat. Para gangster di sana telah memperoleh penghasilan yang besar dari pemerasan, pelacuran, judi dan penyelundupan minuman keras. Mereka menginginkan agar uang yang mereka peroleh tersebut terlihat sebagai uang yang halal. Salah satu caranya adalah dengan membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis halal dan mencampurkan uang hasil dari kejahatan mereka dengan uang hasil dari bisnis halal mereka tersebut. Laundromats dipilih oleh para gangster ini sebab usaha Laundromats dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan sebagaimana yang dilakukan oleh Al Capone.
Walaupun Al Capone telah dituntut dan dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz pada bulan Oktober 1931, namun itu semua lebih karena ia dinyatakan bersalah telah melakukan penggelapan pajak daripada membuktikannya bersalah terhadap kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, atau penjualan minuman keras tanpa izin yang telah menghasilkan banyak harta kekayaan tidak sah.
02 April 2011
SISI PERBANKAN DARI KEJAHATAN YANG DILAKUKAN MALINDA DEE
BAGAIMANA BISA TERJADI KEJAHATAN PERBANKAN DI CITIBANK YANG DILAKUKAN OLEH MALINDA DEE ?
Melinda Mee kebetulan adalah seorang Senior Relation Manager di Citibank dan ia bertugas melayani nasabah prioritas dan layanan yang ia berikan bersifat private banking, di mana Malinda Mee diberikan kepercayaan oleh pihak bank maupun pihak nasabah. Seharusnya uang nasabah dimasukkan atau ditransfer ke rekening nasabah tetapi Malinda Dee tidak melakukannya,Malinda Dee mentransfer ke rekening pribadinya.
BAGAIMANA DARI SISI PERBANKAN MENGENAI MODUS YANG DILAKUKAN OLEH MALINDA DEE
Melinda Mee kebetulan adalah seorang Senior Relation Manager di Citibank dan ia bertugas melayani nasabah prioritas dan layanan yang ia berikan bersifat private banking, di mana Malinda Mee diberikan kepercayaan oleh pihak bank maupun pihak nasabah. Seharusnya uang nasabah dimasukkan atau ditransfer ke rekening nasabah tetapi Malinda Dee tidak melakukannya,Malinda Dee mentransfer ke rekening pribadinya.
BAGAIMANA DARI SISI PERBANKAN MENGENAI MODUS YANG DILAKUKAN OLEH MALINDA DEE
Ini kejahatan yang diatur pasal 49 UU Perbankan. Adanya pendapatan palsu atau tidak dicatatkan dalam keuangan bank. Apakah uang sudah masuk, masuk legal, lalu dikeluarkan, maka itu penggelapan. Atau saat uang masuk, dia tidak membukukan ke Rekening nasabah di Citibank.
Atau dia memasukkan uang (milik nasabah) itu ke perusahaan dia sendiri, apakah dia melakukan ini sendiri atau by corporate ? Selain itu juga dapat dikenakan tindakan pidana kejahatan perbankan, yaitu pencucian uang. Ini bisa dilihat dari mobil dan kekayaan Malinda Dee lainnya seperti apartemen mahal .
Atau dia memasukkan uang (milik nasabah) itu ke perusahaan dia sendiri, apakah dia melakukan ini sendiri atau by corporate ? Selain itu juga dapat dikenakan tindakan pidana kejahatan perbankan, yaitu pencucian uang. Ini bisa dilihat dari mobil dan kekayaan Malinda Dee lainnya seperti apartemen mahal .
Aliran dana dalam pencucian uang, harus ditekankan untuk menjerat semua yang pernah menikmati kejahatan itu. Sekaligus untuk melihat di mana uang itu, apakah sudah berupa rumah, mobil, dan sebagainya. Ini sebagai dasar penyitaan selain mempidana siapa pun yang menguasi barang itu. Filsafat pencucian uang itu adalah melarang setiap orang itu ikut menikmati hasil kejahatan, terlepas menikmati kejahatan utama atau tidak.
DAMPAK DARI KEJAHATAN PERBANKAN ?
Kalau peluang untuk melakukan kejahatan perbankan terbuka, tentu kejahatan ini bisa selalu berulang. Ini kan bisnis kepercayaan. Menghimpun dana rakyat dengan basis kepercayaan. Kalau kejahatan begitu terus terjadi, nantinya nasabah lari karena merasa bank tidak lagi aman.
Apalagi kalau ada kejahatan perbankan terkadang perusahaan cenderung menutupi, mungkin agar nasabah tidak kabur. BI harus mengawasi lebih ketat, tidak hanya sekadar mengawasi pergerakan uang dalam kecukupan modal, tapi juga melihat etika dan profesionalitas.
Jangan sampai karena terlalu percaya dengan karyawan, lalu kontrol menjadi tidak ada. Bank itu kan menghimpun dana masyarakat, menjual kepercayaan, jadi jangan seenaknya. Meskipun nanti kalau dana nasabah hilang akan diganti, tapi jangan begitu terus, karena nanti bisa collapse.
Filosofi dibentuknya bank untuk kesejahteraan rakyat. 4 Tahun belakangan ini, kejahatan perbankan semakin marak sekali. Hanya saja banyak yang tidak di-blow up dan tidak diseriusi. BI juga jangan melihat kesehatan bank dari kecukupan modal saja, tapi juga etika dan profesionalitas melaksanakan bisnis perbankan.
ADA SISTEM YANG TIDAK BERJALAN SEBAGAIMANA MESTINYA DI CITIBANK ?
Dalam praktik private banking. Priority customer yang akan memasukkan dana di atas Rp 500 juta harus dilaporkan ke PPATK. Bank harus tahu dari mana dana ini dan sebagainya untuk menghindari pencucian uang. Kalau memang sejak awal tahu ada pencucian uang, saat bank diperiksa (CITI BANK), jangan katakan tidak bisa membuka data nasabah lantaran itu rahasia bank. Kalau ada dugaan pencucian uang harus dibuka.
21 Maret 2011
ALAT UKUR TINGKAT PROFITABILITAS BANK
Bank yang selalu dapat menjaga kinerjanya dengan baik terutama tingkat profitabilitas yang tinggi dan mampu membagikan dividen dengan baik serta prospek usahanya dapat selalu berkembang dan dapat memenuhi ketentuan prudential banking regulation dengan baik, maka kemungkinan nilai saham dari bank yang bersangkutan di pasar sekunder dan jumlah dana dari pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan akan naik.
Kenaikan nilai saham dan jumlah dana pihak ketiga ini merupakan salah satu indikator naiknya kepercayaan masyarakat kepada bank yang bersangkutan. Kepercayaan dan loyalitas pemilik dana terhadap bank merupakan faktor yang sangat membantu dan mempermudah pihak manajemen bank untuk menyusun strategi bisnis yang baik.
Sebaliknya para pemilik dana yang kurang menaruh kepercayaan kepada bank yang bersangkutan maka loyalitasnya pun juga sangat tipis, hal ini sangat tidak menguntungkan bagi bank yang bersangkutan karena para pemilik dana ini sewaktu-waktu dapat menarik dananya dan memindahkannya ke bank lain.
Penilaian terhadap kinerja suatu bank dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangnya. Laporan keuangan bank berupa neraca memberikan informasi kepada pihak di luar bank, misalnya bank sentral, masyarakat umum, dan investor, mengenai gambaran posisi keuangannya, yang lebih jauh dapat digunakan pihak eksternal untuk menilai besarnya resiko yang ada pada suatu bank. Laporan laba rugi memberikan gambaran mengenai perkembangan bank yang bersangkutan. Pengukuran tingkat kesehatan bank harus dilakukan oleh semua bank baik bank konvensional maupun bank syariah karena terkait dengan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank, dan pihak lainnya. Informasi mengenai kondisi suatu bank dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan ketentuan yang berlaku dan manajemen resiko.
Perkembangan metedologi penilaian kondisi bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan bank perlu di-review secara periodik untuk menyesuaikan kondisi terkini. Tujuannya adalah agar lebih mencerminkan kondisi bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Dalam konteks inilah Bank Indonesia senantiasa melakukan perbaikan kembali terhadap sistem penilaian tingkat kesehatan yang meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian kualitatif dan kuantitatif dan penambahan faktor penilaian. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang. Sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank.
Analisis laporan finansial ( financial statement analysis ), khususnya mencurahkan perhatian kepada perhitungan rasio agar dapat mengevaluasi keadaan finansial pada masa lalu, sekarang dan memproyeksikan masa yang akan datang. Analisis rasional merupakan bentuk atau cara yang umum digunakan dalam analisis laporan finansial. Dengan kata lain, diantara alat-alat analisis yang digunakan untuk mengukur kekuatan atau kelemahan yang dihadapi pasar dibidang keuangan, adalah analisis ratio (financial ratio analysis). Rasio merupakan alat yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan tertentu antara faktor satu dengan yang lainnya dari suatu laporan finansial. Rasio-rasio finansial umumnya diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu rasio likuiditas atau liquidity ratio, rasio laverage, rasio aktivitas atau activity ratio, dan rasio keuntungan atau profitability ratio (Syafarudin alwi,1989, 95).
Rasio profitabilitas mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan dari pinjaman dan investasi. Indikator yang biasa digunakan utnuk mengukur kinerja profitabilitas bank adalah ROE (Return on Equity) yaitu rasio yang menggamabarkan besarnya kembalian atas total modal untuk menghasilkan keuntungan, ROA (Return on Assets) yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan dari keseluruhan aktiva yang ada dan yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan.
Adapun variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu bank adalah CAR, FDR, BOPO, dan NPL.
1. CAR (Capital Adequacy Ratio)
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pengembangan usaha bisnis dan menampung resiko kerugian, semakin tinggi CAR maka semakin kuat kemampuan bank tersebut utnuk menanggung resiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi (sesuai ketentuan BI 8%) berarti bank tersebut mampu membiayai operasi bank, keadaan yang menguntungkan bank tersebut akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas (Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono , 2002: 573). CAR diukur dengan membagi modal dengan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR).
2. FDR (Financing Deposit Ratio)
FDR adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukkan oleh perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan.
FDR tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan.
3. BOPO (Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional)
BOPO menurut kamus keuangan adalah kelompok rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur membandingkan satu terhadap lainnya. Berbagai angka pendapatan dan pengeluaran dari laporan rugi laba dan terhadap angka-angka dalam neraca.
Rasio biaya operasional adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bak dalam melakukan kegiatan operasi (Lukman D Wijaya, 2000, 120). Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar.
4. NPL (Non Performing Loan)
NPL adalah tingkat pengembalian kredit yang diberikan deposan kepada bank dengan kata lain NPL merupakan tingkat kredit macet pada bank tersebut. NPL diketahui dengan cara menghitung Pembiayaan Non Lancar Terhadap Total Pembiayaan. Apabila semakin rendah NPL maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntung
Sebaliknya para pemilik dana yang kurang menaruh kepercayaan kepada bank yang bersangkutan maka loyalitasnya pun juga sangat tipis, hal ini sangat tidak menguntungkan bagi bank yang bersangkutan karena para pemilik dana ini sewaktu-waktu dapat menarik dananya dan memindahkannya ke bank lain.
Penilaian terhadap kinerja suatu bank dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangnya. Laporan keuangan bank berupa neraca memberikan informasi kepada pihak di luar bank, misalnya bank sentral, masyarakat umum, dan investor, mengenai gambaran posisi keuangannya, yang lebih jauh dapat digunakan pihak eksternal untuk menilai besarnya resiko yang ada pada suatu bank. Laporan laba rugi memberikan gambaran mengenai perkembangan bank yang bersangkutan. Pengukuran tingkat kesehatan bank harus dilakukan oleh semua bank baik bank konvensional maupun bank syariah karena terkait dengan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank, dan pihak lainnya. Informasi mengenai kondisi suatu bank dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan ketentuan yang berlaku dan manajemen resiko.
Perkembangan metedologi penilaian kondisi bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan bank perlu di-review secara periodik untuk menyesuaikan kondisi terkini. Tujuannya adalah agar lebih mencerminkan kondisi bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Dalam konteks inilah Bank Indonesia senantiasa melakukan perbaikan kembali terhadap sistem penilaian tingkat kesehatan yang meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian kualitatif dan kuantitatif dan penambahan faktor penilaian. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di waktu yang akan datang. Sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank.
Analisis laporan finansial ( financial statement analysis ), khususnya mencurahkan perhatian kepada perhitungan rasio agar dapat mengevaluasi keadaan finansial pada masa lalu, sekarang dan memproyeksikan masa yang akan datang. Analisis rasional merupakan bentuk atau cara yang umum digunakan dalam analisis laporan finansial. Dengan kata lain, diantara alat-alat analisis yang digunakan untuk mengukur kekuatan atau kelemahan yang dihadapi pasar dibidang keuangan, adalah analisis ratio (financial ratio analysis). Rasio merupakan alat yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan tertentu antara faktor satu dengan yang lainnya dari suatu laporan finansial. Rasio-rasio finansial umumnya diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu rasio likuiditas atau liquidity ratio, rasio laverage, rasio aktivitas atau activity ratio, dan rasio keuntungan atau profitability ratio (Syafarudin alwi,1989, 95).
Rasio profitabilitas mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan dari pinjaman dan investasi. Indikator yang biasa digunakan utnuk mengukur kinerja profitabilitas bank adalah ROE (Return on Equity) yaitu rasio yang menggamabarkan besarnya kembalian atas total modal untuk menghasilkan keuntungan, ROA (Return on Assets) yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan dari keseluruhan aktiva yang ada dan yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan.
Adapun variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu bank adalah CAR, FDR, BOPO, dan NPL.
1. CAR (Capital Adequacy Ratio)
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pengembangan usaha bisnis dan menampung resiko kerugian, semakin tinggi CAR maka semakin kuat kemampuan bank tersebut utnuk menanggung resiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi (sesuai ketentuan BI 8%) berarti bank tersebut mampu membiayai operasi bank, keadaan yang menguntungkan bank tersebut akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas (Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono , 2002: 573). CAR diukur dengan membagi modal dengan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR).
2. FDR (Financing Deposit Ratio)
FDR adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukkan oleh perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan.
FDR tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan.
3. BOPO (Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional)
BOPO menurut kamus keuangan adalah kelompok rasio yang mengukur efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur membandingkan satu terhadap lainnya. Berbagai angka pendapatan dan pengeluaran dari laporan rugi laba dan terhadap angka-angka dalam neraca.
Rasio biaya operasional adalah perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bak dalam melakukan kegiatan operasi (Lukman D Wijaya, 2000, 120). Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar.
4. NPL (Non Performing Loan)
NPL adalah tingkat pengembalian kredit yang diberikan deposan kepada bank dengan kata lain NPL merupakan tingkat kredit macet pada bank tersebut. NPL diketahui dengan cara menghitung Pembiayaan Non Lancar Terhadap Total Pembiayaan. Apabila semakin rendah NPL maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntung
18 Februari 2011
Gaji Bankir dan Gaji Presiden
Pernyataan presiden tentang gaji yang ngak pernah naik seharusnya wajar dan tidak perlu dipolitisasi. Jika naik pun tidak harus diperbandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk. Juga, tidak perlu menyamakan gaji presiden Rp62,497 juta plus Rp2 miliar dana operasional setahun–dengan gaji seorang bankir atau gaji seorang Gubernur Bank Indonesia yang tahun 2009 sebesar Rp248 juta dan Rp265 juta di 2010.
Pembicaraan mengenai gaji masih terasa hangat. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa gajinya tidak naik selama tujuh tahun yang kemudian dipelintir oleh lawan-lawan politiknya, soal gaji pun menjadi terasa hangat.
Tidak sampai sepekan, suara mengenai gaji juga dikemukan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam sebuah acara Banker’s Dinner di BI. Menurut pihak “Kebon Sirih”, gaji bankir jangan terlewat tinggi karena menyangkut risiko bank ke depan yang perlu dipertimbangkan.
Alasan lain, gaji bankir tidak boleh menjadi beban rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) yang terlalu tinggi karena BO/PO bank harus turun. Celah penurunan BO/PO masih bisa dilirik dari penekanan gaji bankirnya. Apalagi, dari tahun ke tahun soal remunerasi buat para bankir sulit dikendalikan. Bahkan, menurut laporan Infobank beberapa waktu lalu, ada seorang bankir yang remunerasinya setara dengan Rp2 miliar sebulan.
Adu besar-besaran gaji mulai terasa sejak terjadi asingisasi perbankan pada 2000 atau sejak terjadi divestasi bank-bank rekap. Para bankir asing masuk ke bank-bank swasta dengan gaji yang besar, lalu diikuti dengan bankir-bankir badan usaha milik negara (BUMN). Pemberian remunerasi kepada para bankir yang dilakukan bank-bank di Indonesia tidak mempunyai pola yang jelas. Seperti dilaporkan Infobank, tidak ada korelasi antara net interest margin (NIM) tinggi dan gaji bankir. Tidak ada hubungan antara laba besar dan gaji tinggi. Juga, tidak ada korelasi yang segaris antara laba atau NIM dengan gaji karyawan.
Pemberian gaji murni wilayah pemilik dan tidak menggunakan ukuran-ukuran NIM. Bahkan, antar satu direksi dengan direksi lainnya juga berbeda. Semua tergantung pemilik, apakah itu besar atau kecil. Semua relatif dan tergantung cara memandangnya. Bahkan, renumerasi yang besar juga terjadi di kalangan bankir-bankir BPD yang mulai menerapkan asas korporasi.
Tidak ada yang dilanggar mengenai gaji para bankir. Sebab, bank-bank adalah korporasi dan bukan birokrasi atau memakai anggaran negara. Semua dilakukan menggunakan asas korporasi. Tidak memakai uang negara atau uang dari Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN). Semua tergantung dari pemilik. Namun, memang, yang perlu dipertimbangkan adalah perbedaan gaji antar-karyawan bank tertinggi dengan karyawan bank terendah dinilai sudah mengkawatirkan dan menimbulkan kerawanan serta ketenangan kerja.
Kondisi makin rawan karena terjadi perbedaan itu antar-karyawan asing dan lokal yang tidak membutuhkan keahlian yang lebih. Perbedaan gaji yang melebihi 100 kali, bahkan mencapai 171 kali ini perlu mendapatkan perhatian dari Bank Indonesia, karena bisa memicu keresahan di kalangan organisasi bank. Dalam kaitan itu, BI seharusnya mengatur perbedaan antara gaji tertinggi dan terendah karyawan bank karena berpotensi terjadi bencana sosial. Sementara besaran gaji para bankir sudah seharunys tergantung mekanisme korporasi, dan tidak perlu diperbandingkan dengan renumerasi presiden, anggota DPR atau seorang Bupati. Sebab, para bankir BPD yang bergaji besar juga sedang dicerca oleh para pemagang saham yang nota bene para Bupati dan para pengawasanya, yaitu anggota DPRD setempat.
Logika politiknya sudah seharusnya pemilik harus lebih besar dibandingkan pegawainya. Namun logika yang dipakai setiap RUPS BPD itu salah alamat. Pemilik haknya adalah deviden sementara bankirnya adalah renumerasi. Mekanismenya adalah RUPS dan korporasi. Hal inilah yang perlu dipahami para Bupati dan anggota DPRD. Juga, anggota DPR yang selalu membandingkan gaji para direksi BUMN, dan terutama dengan bankir pelat merah dengan seorang menteri.
Sudah waktunya kita memisahkan jalur politik dengan jalur korporasi. Tidak bisa dicampur adukan. Sebab, kalau hal ini dicampur adukan maka akan sulit membedakan mana bisnis dan mana pemerintahan dan pengawasan. Bahkan, pemilihannya pun lewat mekanisme RUPS dan bukan pemilihan berdasarkan suara terbanyak.
Pernyataan presiden SBY tentang gaji yang ngak pernah naik pun seharusnya wajar dan tidak perlu dipolitisasi. Jika naik pun tidak harus diperbandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk Indonesia.
Juga, tidak perlu menyamakan gaji presiden Rp62,497 juta plus Rp2 miliar dana operasional setahun–dengan gaji seorang bankir atau gaji seorang Gubernur Bank Indonesia yang tahun 2009 sebesar Rp248 juta dan Rp265 juta di tahun 2010. Kenaikan gaji setiap tahun adalah wajar. Tidak perlu dipolitisasi dengan jurus mabuk. Hanya masalahnya, kenaikan gaji berdasarkan kenaikan index hidup dilakukan bersamaan dengan himbauan Kebon Sirih agar tidak memberi gaji terlalu besar buat para bankir.
Gaji bankir adalah urusan korporasi, gaji karyawan BI dan jajaran deputy gubernur lewat mekanisme anggaran BI–yang notabene uang negara. Jadi, sebenarnya sungguh wajar kalau gaji naik, dan sungguh wajar gaji bankir besar. Sungguh normal gaji presiden naik sesuai dengan indek hidup. Jadi, tidak perlu meributkan gaji.
Loyalitas Karyawan Dulu, Baru Loyalitas Nasabah
Soul of services muncul jika karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa.
Saat ini kualitas pelayanan terhadap nasabah bukan lagi faktor diferensiasi antara satu bank dan bank lainnya. Hampir semua bank, setidaknya the top 15, termasuk bank asing, menyediakan standar pelayanan yang hampir sama.
Sudah susah membedakan apakah suatu bank dikategorikan lokal, badan usaha milik negara (BUMN), atau asing dilihat dari sisi kualitas pelayanan yang diberikan. Dari sikap petugas satuan pengamanan (satpam) hingga petugas kebersihan toilet rupanya hampir sama. Kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda.
Pada 1980-an bank asing memimpin inisiatif dalam memberikan kualitas pelayanan prima. Citibank, Standard Chartered (Stanchart), dan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) terkenal dengan kualitas pelayanannya yang khas.
Pada 1990 dan 2000-an bank lokal di bawah komando Bank Niaga dan PermataBank leading dalam penyediaan kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tahun-tahun terakhir ini malah bank pemerintah, seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), nangkring di posisi puncak dalam kualitas pelayanan. Sesuatu yang dulu tidak pernah terbayangkan.
Dalam satu dekade terakhir ini bank-bank telah berbenah dalam kualitas pelayanan dengan sangat baik. Penampilan dan kualitas pelayanan bank di Indonesia jelas lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga.
Malaysia tidak memiliki kebiasaan kualitas pelayanan yang baik di industri perbankannya. Negara ini jauh tertinggal dari Indonesia. Kualitas pelayanan bank di Indonesia juga tidak lebih jelek dibandingkan dengan bank yang beroperasi di Singapura dan Hong Kong.
Fisik cabang dan area pelayanan bank di Indonesia tertata dan didesain dengan cita rasa artistik. Lihat saja sistem antreannya yang baik; penataan dan kebersihan toilet-nya yang terjaga plus para customer facing staff-nya yang manis, rapi, muda, dan ramah; teknologi perbankannya yang friendly; cabang dan automatic teller machine (ATM)-nya yang banyak; call center-nya dengan standar yang baik; dan seterusnya.
Satpam tidak hanya bertugas sebagai security, tapi juga sebagai agen dan navigator dalam pemberian pelayanan. Mereka membukakan pintu bank untuk nasabah, tersenyum, mengucapkan salam selamat datang, dan memberikan petunjuk bagi nasabah yang akan bertransaksi. Sekali-sekali menerangkan produk bank, jika diperlukan.
Itulah standar tampak depan kualitas pelayanan bank di Indonesia. Bukan hanya bank besar, bukan hanya bank asing. Hampir semua bank memiliki standar yang lebih kurang sama.
Bahkan, termasuk Bank Central Asia (BCA), yang sudah mapan sebagai bank transaksi dan hampir semua nasabah bank adalah nasabah BCA dan dulunya tidak tertarik dengan usaha perbaikan kualitas pelayanan, tahun-tahun belakangan juga telah berbenah secara signifikan dan memperoleh peringkat yang baik dalam standar pelayanan nasabah.
Karena itu, kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda, melainkan sudah menjadi komoditas. Standar kualitas pelayanan antarbank boleh dibilang hampir sama. Artinya apa? Nasabah memilih bank bukan lagi berdasarkan kualitas pelayanannya. Toh, hampir semua bank menawarkan standar yang sama.
Kalau semua standar dalam pelayanan sudah sama, apa kiranya yang menjadi pembeda kualitas pelayanan yang diberikan satu bank dibandingkan dengan bank lainnya? Kenapa bank yang mendapatkan peringkat hampir sama dalam penyediaan kualitas pelayanan berdasarkan survei pihak ketiga memiliki loyalitas nasabah yang berbeda?
Yang membedakan adalah “jiwa”-nya, spirit dalam melayani. Atmosfer kejujuran dalam mengutamakan nasabah. Kalau tersenyum, apakah tersenyum dari lubuk hati yang paling dalam atau hanya mengikuti standar mulut dibuka sedikit sambil mengucapkan greeting.
Kalau menjelaskan produk kepada nasabah, apakah dengan niat supaya nasabah benar-benar mengerti dan seakan-akan menjelaskan produk dari perusahaan miliknya sendiri atau hanya sekadar melaksanakan tugas dan membacakan brosur.
Kalau nasabah komplain dan marah-marah, apakah dengan jiwa yang terbuka memahami persoalannya dan kemudian menawarkan solusi yang win-win. Apakah pelayanan dan bantuan bagi nasabah diberikan dengan sepenuh jiwa dan perasaan senang atau tidak.
Faktor spirit dalam melayani inilah yang menjadi faktor pembeda. Ada "jiwa" dalam standar dan arsitektur melayani. Melayani bukan hanya pelaksanaan dari standard operating procedure (SOP) dalam kualitas pelayanan yang dibuat oleh divisi di kantor pusat. Nasabah merasakan itu.
Nasabah sebagai manusia yang memiliki sense dan sensitivity memahami apakah pelayanan itu diberikan dengan tulus dan sungguh-sungguh atau hanya sekadar menerapkan SOP. Loyalitas nasabah terhadap suatu bank akan tercipta kalau mereka merasakan ketulusan itu.
Jadi, tidak ada hubungan langsung antara kualitas pelayanan yang diberikan dan loyalitas nasabah di suatu bank. Kecuali, pelayanan yang diberikan berisi spirit dan jiwa yang ikhlas dalam mengerjakannya.
Nasabah akan loyal terhadap suatu bank kalau mereka mendapati standar pelayanan yang tinggi dan dengan cita rasa yang khusus disertai dengan keikhlasan dan kejujuran karyawan dalam menyediakan pelayanan tersebut. Pelayanan yang baik disertai dengan "jiwa melayani" akan menciptakan nasabah yang loyal.
Menemukan atau menciptakan "jiwa" dalam melayani tidak cukup dengan pengadaan standar dalam kualitas pelayanan. "Jiwa" itu tidak bisa diciptakan oleh arsitektur dan standar pelayanan saja, tidak bisa ditimbulkan oleh imbauan dari manajemen, tidak cukup dijadikan visi dan target perusahaan yang ditempel di dinding-dinding.
"Jiwa" dalam melayani—soul of services—itu diciptakan dan timbul dengan sendirinya dari karyawan yang memberikan pelayanan tersebut. "Jiwa" itu ada begitu saja. Tidak bisa direkayasa.
"Jiwa" itu muncul kalau karyawan ikhlas dan jujur dalam melayani. Karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Mereka melakukannya dengan gembira dan tidak merasakan itu sebagai tuntutan.
"Jiwa" itu datang begitu saja kalau karyawan merasa bagian dari perusahaan. Akan muncul seketika kalau karyawan merasa perusahaan adalah rumahnya sendiri. Seakan-akan bank itu adalah perusahaan miliknya sendiri.
"Jiwa" itu muncul di lingkungan tempat karyawan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan merasakan keterikatan emosional yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan bekerja bukan karena terpaksa dan bukan semata-mata karena imbalan gaji dan benefit.
Loyalitas muncul karena karyawan diberikan tantangan dalam pekerjaan sekaligus diberikan perhatian-perhatian yang manusiawi. Karyawan diberikan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.
Karyawan diberikan pekerjaan yang berarti sehingga mereka dapat mengaktualisasikan diri. Karyawan diberikan target-target yang cukup menantang, tidak gampang untuk dikerjakan, tapi juga masih possible untuk dicapai.
Loyalitas tumbuh karena karyawan diberikan perhatian. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai robot dan mesin, tapi juga diperlakukan layaknya manusia (di-wong-ke), ditanya pendapatnya, diajak berdiskusi, diberikan empowerment, juga disentuh dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti membantunya dalam keadaan susah atau malang.
Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa, untuk benar-benar memberikan isi dan spirit bagi standar pelayanan, yang pada ujungnya menciptakan nasabah-nasabah yang loyal dan tidak gampang berpindah ke bank lain.
Mantra ini yang sekarang banyak dilupakan. Seakan-akan semuanya beres dengan penciptaan standar pelayanan dan gaji tinggi. Memang benar akan tercipta standar pelayanan yang baik. Namun, standar pelayanan yang hanya sebagai komoditas, yang tidak berjiwa, yang tidak bisa menjadi pembeda standar pelayanan dengan kompetitornya.
Bank yang memikirkan dan mengupayakan untuk memiliki standar kualitas pelayanan mungkin akan mendapatkan ranking yang baik berdasarkan customer service survey yang dilakukan pihak ketiga. Akan tetapi, bank itu belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal karena standar pelayanan nasabah yang dimilikinya hanya sebagai komoditas, bukan sebagai competitive advantage.
Bank yang mengutamakan nasabahnya belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal. Akan tetapi, bank yang mengutamakan karyawannya akan mendapatkan karyawan yang loyal sekaligus nasabah yang loyal, yang tidak gampang berpindah-pindah bank.
Bank harus menciptakan upaya-upaya untuk meningkatkan semangat, komitmen, dan loyalitas karyawan agar kelak bisa memperoleh kualitas pelayanan yang sustainable dan nasabah yang loyal.
Karena itu, don’t bother on your quality of services and customer loyalty. Just take care your staff, and your staff will take care the customer.
Oleh : Awaldi (Praktisi sumber daya manusia (SDM) bank) / INFOBANK
15 September 2010
PEMINDAHAN IBU KOTA RI ?
Beberapa waktu yang lalu wacana-wacana seputar pemindahan ibukota negara, hah..?? pindah..??
emang bisa gitu..?? oo..ya jelas bisa,, dan itu pastinya dengan alasan yang kuat dan tujuan yang benar-benar jelas....
sebelumnya di Indonesia sendiri dulu juga acap kok memindahkan ibukota negara, ibukota negara Indonesia ini pernah di Yogyakarta,pernah pula di Bukittinggi.
Dan bukan hanya di Indonesia saja lho, negara-negara lain yang pernah memindahkan ibukotanya, seperti :
Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari Philadelphia ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Melbourne ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.
Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.
Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta..??
Apa ini tidak beresiko besar..?? dan memakan biaya yang sangat besar pula..??
Pertama, seperti yang kita ketahui, ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Akibatnya :
1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet.
2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan.
6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.
10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.
Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.
Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.
Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa). Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah. Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?
Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!
Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.
Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.
Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.
Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan tidak ada gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.
Jika membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu sangat besar.
Kedua, karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun rupiah lebih.
Oleh karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat pelabuhan.
Dengan cara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebih dari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, maka biaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.
Ibukota Brazil, Brasilia dibangun dari tanah kosong / awal. Dari situ dirancang dan dibangun semuanya dari awal oleh para ahli tata kota. Ibukota lainnya yang dirancang dan dibangun dari awal untuk jadi ibukota adalah Washington DC, Canberra, dan Islamabad: Islamabad rancangan kotanya disiapkan tahun 1960, pembangunan konstruksi pertama tahun 1961, dan selesai tahun 1966. Selesai dalam 6 tahun. Umumnya ibukota baru dibangun tidak jauh dari kota sekitarnya (di bawah 400 km jaraknya). Brasilia sejak jadi ibukota tahun 1957 sekarang jumlah penduduknya sekitar 2,5 juta jiwa, Canberra 350 ribu jiwa dan Washington DC sekitar 563 ribu jiwa.
Pembangunan ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?
Dari 500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah. Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan rumah dinas. 100 km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2. Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.
Total pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20 trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4% jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp 175-350 trilyun.
Ibukota baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.
Usulan sarannya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka. Diharapkan Indonesia dengan kota ini benar-benar merdeka secara ekonomi dan politik. Letaknya 30 km dari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km (lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota ini bisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Kondisinya seperti kota London yang jaraknya dari laut sekitar 40 km. Dengan posisi agak jauh dari laut, kota ini relatif lebih aman dari bahaya invasi secara mendadak. Selain itu dengan sungai yang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, dan Australia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai. Sebagian Kota ini juga ada di dataran tinggi antara 50-500 meter dari permukaan tanah. Kota ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang dari satu jam. Diharapkan dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata. Memang pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan direncanakan mulai dari sekarang. Jika tidak pindah, apa jadinya jika jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 30-40 juta jiwa pada tahun 2018?
emang bisa gitu..?? oo..ya jelas bisa,, dan itu pastinya dengan alasan yang kuat dan tujuan yang benar-benar jelas....
sebelumnya di Indonesia sendiri dulu juga acap kok memindahkan ibukota negara, ibukota negara Indonesia ini pernah di Yogyakarta,pernah pula di Bukittinggi.
Dan bukan hanya di Indonesia saja lho, negara-negara lain yang pernah memindahkan ibukotanya, seperti :
Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari Philadelphia ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Melbourne ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa.
Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.
Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta..??
Apa ini tidak beresiko besar..?? dan memakan biaya yang sangat besar pula..??
Pertama, seperti yang kita ketahui, ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan.
Akibatnya :
1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet.
2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.
3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan.
6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.
7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.
10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.
Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.
Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata.
Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa). Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah. Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?
Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded!
Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan.
Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.
Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.
Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan tidak ada gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.
Jika membuat ibukota dari kota yang sudah ada seperti Palangkaraya, ini akan menimbulkan 2 kendala besar. Pertama perencanaan pembangunan jadi tidak fleksibel. Sulit untuk merencanakan tata ruang baru karena ruang yang ada sudah terpakai. Sebagai contoh, sulit untuk membuat jalan protokol selebar jalan Thamrin dan Sudirman karena jalan yang sudah ada ukurannya kecil. Jika dipaksakan, harus menggusur gedung-gedung di sekelilingnya. Ini jumlahnya banyak sekali dan biayanya juga tentu sangat besar.
Kedua, karena tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, akan ada banyak spekulan tanah yang menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Per meter persegi bisa 2-3 juta lebih. Biaya pembangunan ibukota bisa meroket dengan tinggi. Untuk pelebaran jalan, gedung pemerintahan dan rumah dinas seluas total 50 km2 saja bisa mencapai Rp 500 trilyun rupiah lebih.
Oleh karena itu lebih mudah dan lebih murah membangun ibukota baru dari tanah kosong milik negara. Idealnya ibukota baru ini memakai lahan bekas HPH yang sudah gundul dan terletak di pinggir sungai. Jarak ke pantai sebaiknya tidak lebih dari 50 km sehingga bisa jadi pusat pelabuhan.
Dengan cara ini, seandainya harus ada pembebasan lahan, biayanya tak lebih dari 10 ribu / m2. Jadi seandainya lahan yang diperlukan 500 km2, maka biaya pembebasan lahan hanya Rp 5 trilyun.
Ibukota Brazil, Brasilia dibangun dari tanah kosong / awal. Dari situ dirancang dan dibangun semuanya dari awal oleh para ahli tata kota. Ibukota lainnya yang dirancang dan dibangun dari awal untuk jadi ibukota adalah Washington DC, Canberra, dan Islamabad: Islamabad rancangan kotanya disiapkan tahun 1960, pembangunan konstruksi pertama tahun 1961, dan selesai tahun 1966. Selesai dalam 6 tahun. Umumnya ibukota baru dibangun tidak jauh dari kota sekitarnya (di bawah 400 km jaraknya). Brasilia sejak jadi ibukota tahun 1957 sekarang jumlah penduduknya sekitar 2,5 juta jiwa, Canberra 350 ribu jiwa dan Washington DC sekitar 563 ribu jiwa.
Pembangunan ibukota biayanya memang cukup tinggi. Tapi akan lebih tinggi lagi biayanya baik dari segi kesehatan mau pun biaya jika kita tetap memakai Jakarta sebagai ibukota. Selain itu pemerintah bisa memakai pembangunan ibukota baru sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Bagaimana caranya?
Dari 500 km2 luas ibukota baru, tidak semuanya dipakai pemerintah. Pemerintah hanya memakai 50 km2 untuk jalan, gedung pemerintah, dan rumah dinas. 100 km2 bisa dipakai untuk hutan dan taman kota. Sisanya 350 km2 bisa dijual untuk bisnis dan umum dengan harga Rp 500.000-1.000.000 /m2. Paling tidak pemerintah bisa mendapat 175 hingga 350 trilyun rupiah dari penjualan lahan. Ini bisa dilakukan secara bertahap. Beberapa kota swasta seperti Lippo City, Lippo Karawaci, dan juga BSD sudah menerapkan hal ini. Pemerintah dengan dukungan dana APBN seharusnya juga bisa. Jadi dari sisi dana seharusnya tidak masalah.
Total pembangunan gedung pemerintah sendiri paling hanya sekitar Rp 20 trilyun. Ini cukup untuk 200 gedung @ Rp 100 milyar. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 150 trilyun. Jika dilakukan secara bertahap dalam 5 tahun maka biayanya Rp 30 trilyun per tahun atau kurang dari 4% jumlah APBN yang mencapai sekitar Rp 800 trilyun. Biaya ini bisa ditutup nantinya dengan dana dari hasil penjualan lahan senilai Rp 175-350 trilyun.
Ibukota baru ini sebaiknya berjarak tidak lebih dari 200 km dari kota yang sudah ada, sehingga bisa mendapat dukungan logistik dari kota tersebut selama ibukota masih dalam pembangunan. Ibukota baru ini juga akan menghidupkan kota-kota di sekelilingnya.
Usulan sarannya ibukota baru ini dinamakan Kota Merdeka. Diharapkan Indonesia dengan kota ini benar-benar merdeka secara ekonomi dan politik. Letaknya 30 km dari kota Pangkalanbun dan terletak di tepi sungai yang lebarnya 1-2 km (lihat peta) dan berjarak 40 km dari laut. Jadi kota ini bisa jadi kota pelabuhan, aman dari tsunami. Kondisinya seperti kota London yang jaraknya dari laut sekitar 40 km. Dengan posisi agak jauh dari laut, kota ini relatif lebih aman dari bahaya invasi secara mendadak. Selain itu dengan sungai yang lebar akan ada pemandangan River View ala kota-kota Eropa, AS, dan Australia, di mana kapal-kapal besar bisa masuk melewati sungai. Sebagian Kota ini juga ada di dataran tinggi antara 50-500 meter dari permukaan tanah. Kota ini jaraknya 670 km dari Jakarta. Jadi kurang lebih sama dengan jarak kota Surabaya-Jakarta. Dengan pesawat terbang dapat ditempuh kurang dari satu jam. Diharapkan dengan adanya ibukota baru ini, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sementara kota yang baru (Kota Merdeka?) menjadi pusat pemerintahan pembangunan dan penyebaran penduduk di Indonesia lebih merata. Memang pemindahan ibukota tidak harus dilakukan sekarang. Tapi dalam 10 tahun ke depan mau tidak mau harus pindah. Jadi harus dipikirkan dan direncanakan mulai dari sekarang. Jika tidak pindah, apa jadinya jika jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 30-40 juta jiwa pada tahun 2018?
Sumber artikel lain tentang PEMINDAHAN IBUKOTA
(sumber :skyscrapercity)
http://www.antara.co.id/arc/2008/2/8...bukota-negara/
http://beritasore.com/2008/02/09/mem...bukota-negara/
http://kebijakanpublik.multiply.com/journal/item/2
http://64.203.71.11/kompas-cetak/041...ro/1343410.htm
http://eddysatriya.blogspot.com/2007...indonesia.html
http://www.guardian.co.uk/world/2004/aug/12/northkorea
http://geography.about.com/library/weekly/aa101199.htm
http://www.infobrasilia.com.br/bsb_h...s%20planejadas
Langganan:
Postingan (Atom)