10 Februari 2012

BI Rate Turun 25 bps Menjadi 5,75%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 9 Februari 2012 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Keputusan ini diambil sebagai langkah lanjutan untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah menurunnya kinerja ekonomi global, dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Dengan keputusan BI Rate ini, koridor bawah dan atas suku bunga operasi moneter Bank Indonesia masing-masing menjadi 3,75% untuk fasilitas simpanan o/n (deposit facility rate) dan 6,75% untuk fasilitas pinjaman o/n (lending facility rate). Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko memburuknya perekonomian global dan dampak kebijakan Pemerintah di bidang energi, dan akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%±1% pada tahun 2012 dan 2013. 

Dewan Gubernur mencermati prospek ekonomi global yang terus menurun seiring krisis Eropa yang masih berlanjut dan perlambatan ekonomi negara-negara emerging markets. Pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2012 diprakirakan menjadi 3,3%, lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sebesar 3,7%. Penyelesaian krisis yang dialami negara-negara Eropa terkait utang dan defisit fiskal masih akan memakan waktu dan mengandung ketidakpastian, sementara pemulihan ekonomi AS masih lemah. Hal tesebut berdampak pada perdagangan global yang menurun dan berpengaruh pada penurunan kinerja ekonomi negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Sejalan dengan aktivitas ekonomi global yang melemah, harga komoditas global non-energi cenderung menurun, dan disertai dengan penurunan tekanan inflasi global. 

Di sisi domestik, Dewan Gubernur menilai perekonomian Indonesia masih memiliki daya tahan yang kuat, meskipun dengan kecenderungan pertumbuhan yang lebih rendah seiring dengan menurunnya prospek perekonomian global. Untuk triwulan I-2012, pertumbuhan ekonomi diprakirakan sebesar 6,5%, sementara untuk keseluruhan tahun 2012 akan cenderung pada batas bawah prakiraan 6,3-6,7%. Sumber pertumbuhan terutama dari permintaan domestik, didukung oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang tetap kuat. Konsumsi rumah tangga yang kuat ditopang oleh perbaikan daya beli dan keyakinan konsumen yang membaik seiring dengan terkendalinya inflasi. Peningkatan investasi didukung oleh iklim investasi yang kondusif dan persepsi terhadap prospek ekonomi Indonesia yang positif. Sementara itu, pertumbuhan ekspor diperkirakan akan melambat seiring dengan perlambatan ekonomi global. Dari sisi produksi, sektor-sektor yang diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. 

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2012 diprakirakan akan mencatat surplus meskipun dengan kecenderungan yang lebih rendah. Transaksi berjalan diperkirakan akan mengalami defisit seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekspor sementara impor masih relatif besar. Surplus NPI pada triwulan I-2012 akan ditopang oleh transaksi modal dan finansial seiring dengan aliran investasi langsung (FDI) dan portofolio yang diprakirakan akan meningkat. Hal tersebut didukung oleh fundamental ekonomi domestik yang kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, pencapaian investment grade diprakirakan akan memperkuat sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa sampai dengan akhir Januari 2012 mencapai 112 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. 

Pergerakan nilai tukar Rupiah cenderung stabil meskipun sedikit melemah. Selama Januari 2012, Rupiah secara rata-rata melemah 0,28% (yoy) menjadi Rp9.060 per dolar AS, namun secara point-to-point menguat sebesar 0,65% (yoy) ke level Rp8.990 per dolar AS. Meningkatnya permintaan valas terkait kebutuhan impor, terutama impor BBM, memberikan tekanan terhadap rupiah. Meskipun demikian, tekanan tersebut dapat diimbangi dengan sentimen positif terkait kenaikan peringkat utang (credit rating) Indonesia. Untuk menjaga keseimbangan pasar domestik, Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai tukar Rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas. 

Inflasi terus mengalami tren penurunan. Inflasi pada Januari 2012 tercatat 3,65% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 3,79% (yoy). Penurunan tekanan inflasi didorong oleh penurunan inflasi bahan pangan seiring pasokan yang terjaga. Sementara itu, inflasi inti relatif stabil seiring dengan harga komoditas global non-energi yang menurun dan ekspektasi inflasi yang membaik. Di sisi lain, inflasi administered prices hanya mengalami sedikit peningkatan seiring dengan kenaikan cukai rokok. Ke depan, apabila tidak ada kebijakan penurunan subsidi BBM, inflasi diperkirakan akan terus mengalami penurunan. Bank Indonesia akan mewaspadai dampak kebijakan Pemerintah di bidang energi yang dapat memberikan tekanan inflasi yang meningkat. 

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai dengan terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Perkembangan industri perbankan semakin solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, intermediasi perbankan juga terus membaik, tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir Desember 2011 mencapai 24,5% (yoy), di mana kredit investasi tumbuh sebesar 33,2% (yoy), kredit modal kerja tumbuh sebesar 21,4% (yoy), dan kredit konsumsi tumbuh sebesar 24,1% (yoy). 

Ke depan, Dewan Gubernur akan terus mewaspadai dampak penurunan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia dan dampak kebijakan Pemerintah di bidang energi. Bank Indonesia akan terus berupaya mengoptimalkan peran kebijakan moneter dalam mendorong kapasitas perekonomian, menjaga stabilitas pasar keuangan, dan memitigasi dampak perlambatan ekonomi global, dengan senantiasa menjangkar ekspektasi inflasi ke depan ke arah sasarannya. Untuk itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan melalui respon kebijakan suku bunga, kebijakan nilai tukar, kebijakan makroprudensial dalam rangka pengelolaan capital flows, kebijakan makroprudensial dalam rangka pengelolaan likuiditas, dan koordinasi kebijakan bersama Pemerintah.

06 Februari 2012

Daftar Gaji Pegawai dan Petinggi BI

Bank Indonesia (BI) memberikan gaji bagi pegawainya paling rendah Rp 2,7 juta selama 2011 ini. Bank sentral telah mengajukan kenaikan anggaran gaji di 2012 rata-rata 7%. Kenaikan gaji di 2012 itu mengacu kepada pencapaian target inflasi. Meski belum disahkan, BI meminta anggaran gaji naik 7%.

Dari rincian gaji pegawai hingga petinggi BI, terdapat disparitas yang cukup tinggi hingga mencapai 58 kali. "Bayangkan, gaji Gubernur Rp 153,9 juta dan gaji pegawai terendah mencapai Rp 2,7 juta yang minimumnya.

Berikut besaran gaji pokok yang diterima Gubernur dan pegawai BI di 2011 (belum termasuk kenaikan gaji dan tunjangan lain-lain) :

  • Gubernur : Rp 153,9 juta
  • Deputi Gubernur : Minimum Rp 96,8 juta - Maksimum Rp 115,2 juta
  • Direktur : Minimum Rp 50,2 juta - Maksimum Rp 72,3 juta
  • Deputi Direktur : Minimum Rp 36,1 juta - Maksimum Rp 47,4 juta
  • Kepala Bagian : Minimum Rp 25,9 juta - Maksimum Rp 38,6 juta
  • Deputi Kepala Bagian : Minimum Rp 18,9 juta - Maksimum Rp 28,9 juta
  • Kepala Seksi : Minimum Rp 12,8 juta - Maksimum Rp 22,9 juta
  • Staf : Minimum Rp 6,1 juta - Maksimum Rp 15,3 juta
  • Pegawai Tata Usaha : Minimum Rp 3,7 juta - Maksimum Rp 10,9 juta
  • Pegawai Dasar : Minimum Rp 2,7 juta - Maksimum Rp 5,2 juta.



Sumber : Ini Dia Daftar Gaji Pegawai dan Petinggi BI

04 Februari 2012

BI Rate Masih Jadi Acuan Penetapan LPS Rate

Dalam menetapkan LPS rate atau suku bunga penjaminan, BI rate masih menjadi faktor pertimbangan terbesar dalam penentuan tingkat suku bunga jangka pendek di pasar.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengaku masih menggunakan suku bunga acuan (BI rate) dalam penetapan suku bunga penjaminan atau LPS rate. Karena BI rate dinilai paling pas untuk menjadi acuan suku bunga jangka pendek. Kalau jangka panjang bisa pakai SUN (surat utang negara) sebagai patokan bunga. Tapi kalau DPK (dana pihak ketiga) atau simpanan yang reasonable itu pakai BI rate.

Dalam penetapan LPS rate sendiri ada tiga faktor yang dipertimbangkan, yakni risk free rate, default risk premium dan liquidity premium, di mana BI rate menjadi acuan dalam penentuan risk free rate. komponen paling besar dalam LPS rate adalah BI rate. Jadi kalau BI rate turun, itu pasti turun. Kecuali ada situasi default dan likuiditas risk meningkat, tapi kalau ini naik BI tidak mungkin turunkan BI rate.

Beban Berat Bankir BPD

Kondisi BPD sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum krisis 1998. Selain kinerja keuangannya yang terus berkembang, perangkat organisasi BPD sudah relatif baik, manajemen risiko sudah berjalan, pengembangan SDM sudah lebih baik, dan pengawasan intern juga sudah terbentuk. 

Jadi bankir memang menggiurkan. Selain fasilitas yang lebih dari memadai, bankir juga mendapatkan remunerasi di atas rata-rata. Namun, menjadi bankir daerah atau bankir bank pembangunan daerah (BPD) tidaklah ringan. Dibandingkan dengan bankir bank swasta dan bahkan bankir bank pelat merah, tantangan yang dihadapi bankir BPD terasa lebih berat. Jangan berbicara tentang level playing field, berbicara mengenai intervensi saja tidak kepalang besarnya.

Pendek kata, bankir BPD punya banyak bos. Selain Bank Indonesia (BI) di daerah, yang kualitasnya tidak seperti BI di Jalan Thamrin (Jakarta), pemilik BPD meliputi pemerintah daerah (pemda), seperti gubenur dan para bupati. Tak ketinggalan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang kerap memanggil para bankir BPD untuk rapat kerja dengan pertanyaan yang diulang-ulang. Gerak langkah BPD juga terus diawasi oleh pihak kejaksaan, kepolisian, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Itulah yang secara formal mengawasi BPD. Belum lagi yang informal kelas lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan bahkan serikat pekerja karyawan BPD yang terkadang melebihi suara anggota DPRD. Jadi, menjadi pengurus BPD tidak hanya dituntut pandai memainkan peran birokrasi, tapi juga harus mahir dalam mengelola bank agar tetap meraih keuntungan dengan tingkat kesehatan yang baik.

03 Februari 2012

Bank Kurang Sehat Tawarkan Suku Bunga Deposito Lebih Tinggi

Tercatat dari sekitar Rp1 triliun dana simpanan masyarakat di 46 bank yang telah dilikuidasi LPS, sebesar Rp445 miliar masuk kategori tidak layak bayar akibat saldo dan datau suku bunga melebihi penjaminan LPS. Bagaimana LPS melihat hal tersebut ?

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai, pemberian suku bunga deposito di atas suku bunga penjaminan (LPS rate) menyebabkan pergeseran dana dari bank yang sehat ke bank yang kurang sehat.

“LPS melihat pemberian suku bunga yang lebih tinggi ini menyebabkan bergulirnya dana dari bank sehat ke bank yang kurang sehat,” tukas Ketua Dewan Komisioner LPS C. Heru Budiargo, di Kantor LPS, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012.

Menurutnya, biasanya bank yang kurang sehat menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi. LPS sendiri telah menetapkan LPS rate untuk mengurangi moral hazard di industri perbankan, melalui penetapan suku bunga deposito yang tinggi.

“Bunga yang tinggi ini membuat nasabah yang diuntungkan secara tidak wajar, jadi tidak layak bayar saat bank bermasalah dan dilikuidasi,” tandasnya.

Dari data LPS, tercatat dari sekitar Rp1 triliun dana simpanan masyarakat dari 46 bank yang dilikuidasi sejak 2006, tercatat sebanyak Rp670 miliar layak bayar, dan sebanyak Rp445 miliar masuk kategori tidak layak bayar.

“Dari yang tidak layak bayar, sebesar Rp220 miliar karena saldonya melebihi saldo maksimal yang masuk penjaminan LPS. Sisa Rp225 miliar lagi, sampai 91% penyebab utamanya karena nasabah memeroleh hasil bunga di atas penjaminan LPS,” tutup Heru.

Saat ini, LPS rate ditetapkan sebesar 6,5% untuk bank umum, dan 9,5% untuk Bank Perkreditan Rakyat. Adapun, rekening nasabah yang akan dijamin LPS adalah yang nilainya tidak melampaui Rp2 miliar dan masuk dalam suku bunga penjaminan tersebut



Sumber : Majalah Infobank

02 Februari 2012

Masa Penukaran Uang yang Telah Dicabut dan Ditarik Uang Kertas Emisi 1975 Pecahan Rp.10.000

Sehubungan dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 12/94/Kep/Dir/UPU tanggal 19 November 1979 tentang Pencabutan Kembali Serta Penarikan dari Peredaran Uang Kertas Emisi 1975 Pecahan Rp.10.000 dimana jangka waktu penukaran uang kertas dimaksud berakhir di tanggal 31 Desember 2011. Terkait dengan hal tersebut masa penukaran untuk uang dimaksud sudah tidak berlaku lagi sejak tanggal 2 Januari 2012.

Berikut gambar uang tersebut :