16 Oktober 2011

BI Rate Turun 25 BPS Menjadi 6,50%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2011 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,50%. Bank Indonesia juga akan tetap menempuh langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah khususnya dari dampak gejolak pasar keuangan global. Keputusan ini diambil sejalan dengan keyakinan Bank Indonesia bahwa inflasi pada akhir tahun ini maupun tahun depan akan berada di bawah 5%. Selain itu, langkah-langkah tersebut ditempuh sebagai antisipasi untuk memitigasi dampak penurunan kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Kedepan, Dewan gubernur akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global serta menempuh respon suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.
Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan utang dan fiskal di Eropa dan AS.  Perhatian terutama ditujukan pada dampak jangka pendek melalui jalur finansial berupa melemahnya bursa saham, meningkatnya indikator risiko utang, dan tekanan pembalikan arus modal portofolio (capital reversals) oleh investor global dari emerging economies, termasuk Indonesia. Sementara itu, kinerja perekonomian global terindikasi melemah seperti tercermin pada perlambatan kegiatan produksi dan penjualan ritel yang disertai dengan tingkat keyakinan konsumen yang melemah di negara maju dan koreksi sejumlah harga komoditas internasional. Di sisi lain, tekanan inflasi mulai mereda, meski inflasi negara emerging markets masih relatif tinggi, sehingga terjadi pergeseran respon kebijakan moneter ke arah netral atau akomodatif. Kedepan, secara keseluruhan Dewan Gubernur melihat kecenderungan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara maju, melambatnya volume perdagangan dunia, dan menurunnya harga komoditas global. Sementara itu di sektor keuangan, tingginya ekses likuiditas global dan persespi resiko investor masih akan mendorong tetap derasnya aliran modal asing masuk ke negara-negara emerging economies, termasuk Indonesia, baik dalam bentuk PMA maupun investasi portofolio.
Dewan Gubernur menilai bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap kuat di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2011 diperkirakan akan lebih tinggi, terutama didukung oleh konsumsi dan kegiatan investasi, sehingga secara keseluruhan tahun 2011 dapat mencapai 6,6%. Sejauh ini, dampak gejolak ekonomi global lebih dirasakan di pasar keuangan, sementara sektor riil relatif belum terpengaruh. Namun, perekonomian global yang melemah diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekonomi domestik pada tahun 2012, baik melalui dampaknya pada pasar keuangan maupun terhadap kegiatan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekonomi domestik tahun 2012 diprakirakan berada disekitar 6,5%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang meningkat, namun ekspor akan menghadapi tekanan. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ke depan, antara lain sektor industri; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor transportasi dan komunikasi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV-2011 diprakirakan akan kembali surplus setelah mengalami tekanan akibat terjadinya aliran modal keluar pada triwulan sebelumnya. Secara keseluruhan tahun 2011, NPI diprakirakan akan tetap mencatat surplus yang cukup besar. Surplus NPI ini diprakirakan akan tetap berlangsung pada tahun 2012 terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang terus meningkat, baik dalam bentuk investasi portofolio maupun investasi langsung. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir September 2011 tercatat sebesar 114,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Jumlah cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk mendukung kestabilan nilai tukar Rupiah.
Nilai tukar Rupiah pada triwulan III-2011 mengalami tekanan, khususnya pada bulan September 2011. Pada triwulan III-2011, nilai tukar Rupiah melemah 2,42% (ptp) menjadi Rp8.790 per dolar dengan volatilitas yang meningkat. Namun, pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut masih sejalan dengan pergerakan nilai tukar mata uang negara kawasan. Tekanan terhadap rupiah antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya faktor risiko global akibat kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Selain itu, meningkatnya permintaan valas untuk memenuhi pembayaran impor turut menekan nilai tukar Rupiah. Kedepan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah guna mendukung terpeliharanya kestabilan makroekonomi.
Tekanan inflasi terus menurun. Inflasi IHK pada triwulan III-2011 tercatat sebesar 1,89% (qtq) atau 4,61% (yoy), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya.  Penurunan tekanan inflasi ini berasal dari kelompok volatile food dan administered prices seiring dengan membaiknya pasokan, turunnya harga komoditas pangan internasional dan minimalnya kebijakan Pemerintah terkait harga komoditas strategis. Sementara itu, tekanan kelompok inti di luar kenaikan harga emas juga relatif terjaga baik karena kebijakan apresiasi nilai tukar pada periode sebelumnya dan masih cukup memadainya pasokan dalam merespon permintaan. Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada tahun 2011 diyakini akan lebih rendah dari 5%. Tahun 2012, inflasi akan tetap terkendali dan diprakirakan di bawah 5% seiring dengan terjadinya koreksi harga komoditas global dan melemahnya perekonomian dunia.
Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik meskipun terjadi gejolak pasar keuangan akibat pengaruh global.   Stabilitas industri perbankan masih tetap terjaga dengan baik sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan rendahnya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan kredit yang mencapai 23,8% (yoy) hingga akhir September 2011. Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas sistem perbankan dan mendorong fungsi intermediasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dengan mendorong ke arah pertumbuhan kredit produktif sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian.

07 Oktober 2011

Masihkah UKM Kebal Krisis Global?

Meskipun proteksi dilarang World Trade Organization (WTO), kenyataannya sejak krisis global 2008, sebanyak 16 negara melakukan proteksi terhadap produksi dalam negerinya, termasuk AS dan China, dengan mengharuskan membeli produksi dalam negeri.

Ketika 2008 terjadi krisis global disebutkan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak terpengaruh dan terus bertahan. Bahkan, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat. Pada 2011 kontribusinya mencapai 61,9% dari total PDB, dengan rincian 36,28% dari usaha mikro, 10,9% dari usaha kecil, dan 14,7% dari usaha menengah. Apakah UMKM mampu bertahan dikarenakan keberpihakan pemerintah untuk melindungi UMKM atau daya juang yang tinggi dari UMKM untuk terus bertahan ?

Saat ini hampir 99% dari total UMKM yang ada di seluruh Indonesia adalah usaha mikro yang notabene adalah sektor informal dan umumnya menggunakan bahan baku lokal, pasarnya lokal, sehingga tidak terpengaruh secara langsung krisis global. Kondisi ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih positif bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia ataupun yang dialami negara-negara advanced economies yang pada 2008 mengalami pertumbuhan negatif. Meskipun, pada saat recovery, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bergerak secepat negara-negara lain, khususnya di Asia.
Pada 2011 Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa kembali mengalami krisis ekonomi. Tentu situasinya tidak akan jauh berbeda dengan 2008, yaitu UMKM akan mampu bertahan, kecuali sebagian kecil usaha kecil dan menengah yang melakukan ekspor ke AS dan negara-negara Eropa yang akan mengalami penurunan ekspor.

Karena itu, dibutuhkan alternatif lain, yaitu mencari pasar lain di luar pasar tradisional AS dan negara Eropa atau memanfaatkan pasar dalam negeri yang sangat potensial yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh asing. Laporan World Economic Forum 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15, menunjukkan negara lain menganggap Indonesia sebagai pasar yang potensial. Potensi ini yang belum dimanfaatkan UMKM secara maksimal.

Perkembangan UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga belum secara meyakinkan mampu bersaing dengan produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain keterbatasan infrastruktur dan birokrasi pemerintah terkait dengan perizinan dan peraturan-peraturan yang menghambat serta korupsi.

Dengan segala persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Sehingga, yang terjadi sebenarnya, meskipun UMKM dikatakan mampu bertahan, dengan adanya krisis global, maka yang dihadapi UMKM kenyataannya akan lebih berat. Itu karena selain menghadapi krisis global, UMKM harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan. Bisa dibayangkan bila UMKM diperhatikan secara serius dan lebih baik dengan menghilangkan berbagai persoalan yang menghambat, maka fondasi ekonomi nasional akan bertambah kuat karena ekonomi tumbuh secara berkualitas dan pada akhirnya membuka lapangan kerja.

Seperti pascakrisis 2008, dengan terjadinya krisis di AS dan Eropa pada 2011, maka akan terjadi pelarian capital inflow ke emerging countries di Asia, termasuk Indonesia. Momen ini tentunya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah yang memiliki keterbatasan dana untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan UMKM. Bagaimana agar aliran modal yang masuk tidak hanya berjangka pendek yang sewaktu-waktu bisa ditarik, tapi diinvestasikan dalam jangka waktu yang lebih lama antara lain untuk pembangunan infrastruktur.

Ada hal lain selain krisis global dan berbagai persoalan yang dihadapi UMKM, yaitu liberalisasi perdagangan, misalnya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), di samping perjanjian-perjanjian lain. Pemerintah menyepakati perjanjian kerja sama CAFTA ataupun perjanjian lain tanpa mempersiapkan terlebih dahulu UMKM agar siap bersaing, misalnya dengan memperbaiki kualitas produk, harga bersaing, dan membuat peta produk impor sehingga positioning persaingan jelas. Belum lagi Indonesia dihadapkan pada ASEAN Community pada 2015. Bisa dibayangkan bila UMKM dibiarkan begitu saja, lama-lama UMKM yang disebut sebagai mampu bertahan dan tahan banting akan mati juga tanpa bisa berbuat apa-apa.

Dalam upaya memperkuat fundamental ekonomi nasional, pemerintah hendaknya juga meningkatkan investasi domestik dan memproteksi pasar dalam negeri sehingga pasar dalam negeri menjadi penyangga (buffer) untuk perekonomian nasional. Karena, meskipun proteksi dilarang World Trade Organization (WTO), kenyataannya sejak krisis global 2008, sebanyak 16 negara melakukan proteksi terhadap produksi dalam negerinya, termasuk AS dan China, dengan mengharuskan membeli produksi dalam negeri.
Jadi, apabila Indonesia juga melakukan hal yang sama, untuk menghindari kondisi yang lebih buruk pada produksi dalam negeri akibat terpaan berbagai situasi sah-sah saja. Selain itu, mari mulai mencintai produksi dalam negeri agar perekonomian nasional menjadi lebih kuat.

Sumber : Infobank

05 Oktober 2011

Efek Kebangkrutan AS dan Yunani

Akibat jebakan krisis, rating utang AS anjlok menjadi AA+. Namun, Yunani lebih bangkrut lagi. Bagaimana imbasnya bagi perbankan Indonesia? Anjloknya ekonomi global akan mengurangi porsi investasi asing secara drastis. 

Melewati pertengahan 2011, kondisi perekonomian global kembali terlihat memasuki cuaca buruk. Awal Agustus suatu lembaga rating terkemuka, Standard & Poor (S&P), menurunkan rating Amerika Serikat (AS) dari AAA ke AA+. Ini adalah suatu pukulan telak, mengingat rating puncak AAA telah dipegang AS sejak 1941. Krisis fiskal dan prospek ekonomi yang negatif adalah argumen S&P untuk melakukan downgrade atas status kredit AS.

Di Eropa permasalahan krisis fiskal bahkan lebih parah. Secara teknis, sebenarnya Yunani telah bangkrut dan sepenuhnya tergantung pada bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF) dan Uni Eropa. Bantuan dana juga diberikan kepada Portugal dan Irlandia yang tengah mendekati kondisi bangkrut. Kalangan analis memperkirakan, Spanyol dan Italia segera menyusul.

Kejatuhan posisi fiskal negara-negara di Eropa dan AS akan menimbulkan kerugian (capital loss) bagi banyak lembaga keuangan besar dunia. Dengan posisi modal yang belum pulih dari krisis global lalu, hal itu akan kian memperburuk fungsi intermediasi. Kerugian juga akan dialami sektor riil yang akan menurunkan keyakinan (optimisme) bisnis.

Indonesia tentu tidak dapat menghindar dari perkembangan ekonomi global yang negatif itu. Dampak perkembangan ekonomi global akan terjadi melalui jalur perdagangan, keuangan, dan psikologis. Daya tahan yang tinggi seperti ketika menghadapi krisis global pada 2008-2009 dapat saja terjadi, mengingat kontribusi sektor perdagangan hanya sebesar 10%-15% terhadap pembentukan output nasional. Kendati demikian, dampak tak langsung terhadap konsumsi dan investasi (yang mencakup 70% kontribusi output nasional) melalui jalur keuangan dan psikologis lebih penting untuk diperhatikan.

Anjloknya kondisi ekonomi global akan menyebabkan pengurangan porsi investasi asing secara drastis. Porsi dana asing yang masuk ke pasar keuangan (portfolio investment, dikenal juga sebagai hot money) mencapai US$15,2 miliar pada 2010 atau 50% dari saldo neraca pembayaran. Meski tahun ini kontribusi portfolio investment diperkirakan sedikit menurun, porsi terhadap surplus neraca pembayaran masih dominan.

Pengurangan porsi investasi asing dapat terjadi secara tiba-tiba (sudden reversal)—dalam kondisi ini rupiah berpotensi mengalami tekanan besar. Kendati demikian, cadangan devisa yang dimiliki, yakni sebesar +/- US$120 miliar, diperkirakan dapat mengimbangi risiko ini. Di samping itu, berbagai indikator kerentanan, seperti rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), defisit fiskal, dan inflasi, berada dalam batas aman. Dengan demikian, potensi risiko dari sudden reversal dapat dikatakan cukup terkendali.
Pengawasan lebih ketat harus diberikan pada sektor keuangan, terutama perbankan. Berbeda dengan industri lain, menutup suatu bank bukan pekerjaan yang gampang, apalagi jika bank besar (memiliki risiko sistematis). Penutupan bank berpotensi menimbulkan dampak domino berupa persepsi negatif nasabah yang memicu penarikan dana besar-besaran dari sistem perbankan (bank rush).

Aspek terpenting yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan risiko. Pengalaman yang ada menunjukkan dua sumber utama kerentanan perbankan, yakni penurunan kualitas aktiva produktif dan kerugian portofolio dagang (trading book), terutama dari valuta asing dan surat berharga.
Potensi risiko dari anjloknya kualitas aktiva produktif harus dievaluasi melalui penggunaan instrumen stress test. Stress test adalah suatu simulasi dampak kondisi ekonomi-bisnis yang ekstrem terhadap neraca dan posisi laba rugi bank (Jones et al, 2004).

IMF telah melaksanakan pengujian ini pada September 2010 dengan skenario kontraksi ekonomi sebesar 5%, kenaikan BI Rate 10%, dan depresiasi 50%. Temuan yang diperoleh, di antaranya risiko kredit adalah ancaman terbesar, dalam hal ini non performing loan (NPL) dapat melesat ke kisaran 31,5% dan 1/3 bank dalam sampel diprediksi harus melakukan rekapitalisasi—karena capital adequacy ratio (CAR) turun di bawah 8%.

Kerugian portofolio perdagangan terjadi ketika bank memiliki eksposur yang signifikan pada wilayah ekonomi bermasalah serta posisi devisa neto (PDN) yang tidak netral. Permasalahan juga dapat timbul karena transaksi-transaksi canggih (financial engineering). Yang terakhir ini lebih sulit terdeteksi karena otoritas harus melakukan investigasi terhadap buku bank.

Faktor lain yang berpotensi menimbulkan masalah adalah likuiditas. Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang cenderung ekspansif—tercermin dari aturan giro wajib minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan to deposit ratio (LDR)—telah memberikan hasil. LDR telah meningkat dari 72,8% pada akhir 2009 menjadi 78,45% pada Mei 2011. Beberapa bank besar terlihat agresif mengejar target bebas penalti (LDR=78%). Bank Mandiri, misalnya, mengalami peningkatan LDR yang tajam, dari 65,4% menjadi 76,3% pada periode Desember 2010 ke Juni 2011.

Dalam kondisi likuiditas yang lebih ketat, dampak guncangan luar negeri akan lebih kuat karena transmisi pasar uang. Bank-bank akan secara agresif berburu dana yang berujung pada eksposur antarbank yang substansial dan biaya dana (cost of fund) yang tinggi. Yang terakhir ini akan menyebabkan suku bunga kredit makin tinggi.

Situasi yang lebih rumit terjadi ketika keputusan penutupan bank harus diambil saat terjadi krisis. Sebagai suatu bisnis dengan modal cekak, perbedaan antara situasi tidak likuid (illiquid) dan tidak sehat (insolvent) adalah tipis. Tak mudah membedakan kedua kondisi itu. Investigasi mendalam harus dilakukan.

Tentu saja aktivitas ini membutuhkan waktu yang “memadai”—sesuatu yang biasanya tidak tersedia dalam situasi krisis. Dengan demikian, pengambilan keputusan bailout memang dapat dikatakan sebagai suatu prosedur yang “cacat”, tapi harus ditempuh untuk mencegah dampak yang jauh lebih besar lagi, yakni hilangnya kepercayaan masyarakat serta kejatuhan perekonomian.
Dalam praktiknya, kebijakan bailout rawan akan moral hazard. Pemilik dan manajer bank memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelamatkan diri sendiri. Akibatnya, biaya bailout sering berakhir sebagai beban negara dan jumlahnya sangat substansial. Bailout (rekapitalisasi perbankan) Indonesia pada krisis 1998, misalnya, mencapai lebih dari Rp600 triliun dan biayanya masih dicicil hingga saat ini.

Melihat implikasi itu, jalan yang sebaiknya ditempuh adalah pengawasan yang melekat dan berkesinambungan terhadap perbankan, terutama mereka yang tergolong memiliki risiko sistemik. Sejalan dengan semangat Basel III, penekanan perlu diberikan pada ketersediaan modal, pengawasan yang efektif, dan transparansi informasi-disiplin pasar.


Sumber : Infobank

04 Oktober 2011

Bank Indonesia Terbitkan Kebijakan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri

Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan lalu lintas devisa terkait dengan penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa penarikan utang luar negeri (DULN). Dengan kebijakan ini, eksportir diwajibkan menerima DHE melalui bank devisa di Indonesia. Demikian juga, debitur utang luar negeri diwajibkan menarik DULN melalui bank devisa di Indonesia. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, kebijakan ini tidak mewajibkan eksportir dan debitur untuk berapa lama menyimpan DHE dan DULN tersebut di perbankan dalam negeri dan/atau mengkonversikannya ke mata uang Rupiah.

Kebijakan ini sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat stabilitas makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah. “Kebijakan ini diyakini dapat meningkatkan kesinambungan pasokan devisa ke pasar valas domestik, sehingga ketergantungan terhadap dana jangka pendek yang bersifat spekulatif (hot money) berkurang dan nilai tukar Rupiah akan lebih stabil”, demikian ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution. Semakin besarnya devisa yang masuk ke dalam negeri juga akan menjadi sumber dana bagi pembiayaan berbagai aktivitas ekonomi dan peningkatan kegiatan usaha perbankan nasional. Selain itu, kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas statistik ekspor, impor, utang luar negeri, neraca pembayaran (balance of payment) dan monitoring devisa sehingga mendukung kebijakan moneter maupun kebijakan perpajakan dan kepabeanan.

Kebijakan ini mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2012. Pada prinsipnya, semua DHE wajib diterima bank domestik paling lambat 3 bulan setelah tanggal ekspor sesuai di dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Untuk tahun 2012 (masa transisi), DHE paling lambat diterima 6 bulan setelah tanggal PEB. Bagi eksportir yang sudah memperjanjikan penerimaan DHE tidak melalui bank domestik, diberikan masa transisi 1 tahun hingga 31 Desember 2012. Sementara itu, DULN yang wajib ditarik melalui bank devisa di Indonesia adalah devisa utang luar negeri yang ditarik secara cash/tunai, berupa non revolving loan agreement dan surat – surat berharga utang (debt securities). Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya kebijakan ini tidak wajib dilakukan melalui bank devisa di domestik.

Kebijakan tersebut secara rinci diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Bersamaan dengan itu, telah disesuaikan pula peraturan mengenai Pemantauan Lalu Lintas Devisa Bank dalam PBI No.13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 dan peraturan mengenai Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri dalam PBI No.13/22/PBI/2011 tanggal 30 September 2011. Ketiga peraturan tersebut bersama dengan ringkasan dan tanya-jawab mengenai pokok-pokok kebijakan DHE dan DULN ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia.