29 Maret 2013

Agus Martowardojo Menjadi Gubernur BI Baru

Agus Martowardojo resmi terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) selanjutnya untuk periode 2013-2018. Agus menang melalui skema voting dengan pemungutan suara 54 anggota fraksi. Dari hasil pemungutan suara, sebanyak 46 anggota memilih Agus. Sisanya tujuh suara menolak, dan satu anggota abstain. Pada 22 Mei 2013, masa jabatan Darmin Nasution akan berakhir sebagai Gubernur BI. "Selanjutnya Pak Agus akan langsung sumpah jabatan," ujar Wakil Ketua Komisi XI, Harry Azhar Azis di Gedung DPR Jakarta, Selasa (26/3) malam. Harry memaparkan ada enam partai yang meminta voting malam ini. Sedangkan tiga partai lainnya, yaitu Golkar, PDI Perjuangan, dan PKS menginginkan aklamasi ditunda dengan sejumlah pertimbangan.

Agus Marto memang lama berkecimpung di dunia perbankan nasional. Sebelum ditunjuk sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani pada 2010, Agus merupakan Direktur Utama Bank Mandiri sejak 2005. Pria kelahiran Amsterdam 24 Januari 1956 ini juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bank Permata selama tiga tahun.

Pada 2008 lalu, Agus Marto pernah gagal dipilih oleh Komisi XI DPR saat dicalonkan menjadi Gubernur BI bersama Raden Pardede. Di kalangan pegawainya di Kementerian Keuangan, Agus Marto dikenal sebagai sosok yang giat dan tak kenal lelah. Sifat ini memang telah dikenal sejak Agus Marto memimpin Bank Mandiri.

14 Maret 2013

Bisnis Online Berkembang Pesat, Aturan e-Commerce Belum Juga Hadir

Dalam menjaga keamanan bertransaksi dari para pelaku bisnis online dibutuhkan aturan main e-commerce, yang sayangnya belum juga ditelurkan pemerintah.

Maraknya bisnis atau jualan via media internet, yang biasa disebut jualan online menjadi perhatian tersendiri bagi Bank Indonesia (BI). Untuk menjaga keamanan bertransaksi, BI, Kementerian Perdagangan (Kemendag), pun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) berupaya menelurkan aturan e-Commerce.

Namun, upaya tersebut masih jauh asap dari api. Kendati bisnis jualan online semakin marak dilakukan masyarakat Indonesia. Aturan main yang jelas dari regulator terkait e-Commerce ini masih juga belum meluncur.

“Aturan e-Commerce, ada kementerian yang lain juga. Sistem pembayaran memang di kita. Itu rencananya pengaturan pemerintah, ada Kemendag, dan Depkominfo. Tapi belum intensif (pembahasannya),” ujar Direktur Eksekutif Akunting dan Sistem Pembayaran BI Budi Armanto, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 28 Februari 2013.

Namun, lanjutnya, e-Commerce sendiri sudah pasti harus diatur, karena pertumbuhannya sangat signifikan. Saat ini, masyarakat ramai menggunakan media internet, utamanya jejaring sosial untuk menajajakan produk-produknya. Perputaran uang dari transaksinya sendiri dinilai bank sentral cukup besar.
“Jual-beli online itu kan bayar pakai apa tinggal pilih, bisa kartu kredit, ATM, internet banking, ada yang cash (tunai) juga. Semua bisa dilakukan, siapapun boleh,” tuturnya di sela workshop Financial Inclusion delegasi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Perkembangan jualan online menjadi pesat karena bisa dilakukan dari mana saja, dan menjangkau pembeli di mana pun. “Ini biaya kecil, jangkauan tidak hanya Indonesia, luar juga. Jadi tidak hanya fisik toko, tapi lewat itu (internet) juga. Ini bisnis yang besar.

12 Maret 2013

BI Tidak Siap Basel III

Medio 2012 BI mengeluarkan consultative paper yang berisi rancangan peraturan Basel III. BI tidak siap dengan Basel III dan mencoba mengulur-ulur waktu ?
 
Basel III bukan sekadar peraturan kapitalisasi, melainkan new mindset. Ada tiga tujuan mengapa Basel III ditetapkan oleh Bank for International Settlements (BIS). Satu, peraturan sebelum krisis global dianggap kurang mapan dalam menghadapi insentif di perbankan yang menyebabkan sistem keuangan goyah ketika kepercayaan publik dan investor menurun. Basel III menanggapi aspek itu dengan meningkatkan persyaratan modal dasar minimum.

Dua, kekuatan modal bank merupakan keunggulan kompetitif pada saat pasar merapuh dan kondisi ekonomi melemah. Hanya bank yang memiliki kepercayaan dari bank-bank lain yang bisa mendapatkan pinjaman dengan lancar dan meminjamkan dengan hati tenang. Tiga, implementasi yang konsisten dari Basel III sebagai standar di seluruh dunia akan membantu menyediakan fondasi di mana bank-bank dapat meluas dan bersaing di pasar internasional. Untuk itulah, BIS meminta anggotanya melakukan proses Basel III dengan saksama.

Dalam laporan BIS, hanya ada delapan dari 28 negara anggota yang akan siap dengan Basel III menurut jangka waktu yang disepakati. BIS terus menegaskan bahwa tugas-tugas yang mesti dilakukan untuk penerapan Basel III masih teramat besar. Untuk itu, BIS meminta negara-negara anggota untuk melipatgandakan upayanya sehingga peraturan perbankan dalam negeri yang sejalan dengan Basel III bisa diterapkan.

Indonesia sendiri adalah satu dari 27 negara yang menjadi anggota BIS yang misinya menetapkan peraturan perbankan global. Negara yang menjadi anggota adalah anggota G-20 dan negara-negara yang merupakan pusat keuangan, seperti Hong Kong, Luksemburg, dan Singapura.

Pada Juni 2012 Bank Indonesia (BI) mengeluarkan consultative paper (CP) yang berisi rancangan peraturan Basel III. CP dirilis agar industri perbankan dapat memberikan komentar sebelum rancangan itu menjadi peraturan. Dengan mengeluarkan CP tersebut, BI—dalam usahanya—terlihat telah memenuhi target dalam menginformasikan kepada perbankan dan publik mengenai rancangan peraturan tersebut sebagaimana yang diminta oleh BIS.

Dengan mengeluarkan CP Basel III, BI telah memberitahukan kepada dunia bahwa Indonesia akan memasuki fase implementasi kedua. Fase kedua adalah fase di mana negara anggota telah memublikasikan CP-nya. Memenuhi target pelaksanaan Basel Committee adalah penting karena mereka akan memublikasikan siapa dari anggotanya yang tidak konsisten dalam pelaksanaannya atau ketinggalan.

Sayangnya, CP ini kemungkinan besar hanya untuk memenuhi deadline Basel Committee karena substansinya terlalu sedikit untuk disebut makalah konsultasi. CP yang BI tata tidak memperlihatkan rencana konkret untuk menuntun perbankan dalam merealisasikan penerapan Basel III. Bila kita cermati lebih saksama, CP tersebut tidak melakukan penjabaran Basel III ke dalam konteks kondisi dan peraturan perbankan Indonesia.

Yang dilakukan ternyata hanya mengopi teks asli Basel III dan penerjemahan secara selektif. BI tidak menyebutkan kerangka waktu dan target pencapaian sementara yang realistis. Dengan menekankan hanya pada penerjemahan semata, BI telah kehilangan kesempatan untuk mengonsultasikan ke sektor perbankan komponen Basel III yang boleh berlaku khusus untuk Indonesia (national discretion).

BI juga telah menghilangkan kesempatan untuk menunjukkan analisisnya sendiri mengapa Basel III relevan dan penting dalam lingkup perbankan Indonesia. Kalau BI tidak menunjukkan antusiasmenya, bagaimana sektor perbankan bersemangat untuk mempersiapkan sistem dan mengalokasikan sumber daya manusia (SDM).

Walaupun pasti bank-bank Indonesia akan memenuhi permodalan minimal berdasarkan Basel III, beberapa aspek dari Basel III mengenai perhitungan kapital dan leverage rasio adalah sangat kompleks. Jadi, baik BI maupun sektor perbankan perlu waktu untuk pembelajaran dan diskusi yang cukup.

Demi memperkuat pernyataan itu, kita bisa ambil CP Malaysia sebagai alat perbandingan tanpa membandingkan. Malaysia bukan anggota BIS Committee, tetapi menunjukkan keseriusan dengan mengeluarkan makalah regulasi Basel III yang diterbitkan pada Juli 2012 untuk komentar dari industri perbankan.
Pada CP tersebut Bank Negara Malaysia (BNM) mencoba merangkul perbankan untuk bergerak. BNM mengajukan proposal konkret ke arah perbankan dan kemudian dipadu dengan pertanyaan tentang bagaimana pandangan perbankan terhadap regulasi Basel III di dalam operasi mereka.

Secara total BNM mengajukan 18 pertanyaan teknis yang menunjukkan bahwa BNM telah melakukan pekerjaan rumahnya untuk memahami dokumen Basel III dalam hubungannya dengan peraturan dan keadaan perbankan di Malaysia.

Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bila negara anggota lain diminta melipatgandakan upayanya untuk segera memulai implementasi Basel III, BI mungkin akan diminta untuk mengempatgandakan keseriusannya bila Basel III Committee melakukan studi perbandingan dengan menggunakan CP BI sekarang sebagai rujukan. Kita perlu membuka catatan bahwa awal 2005 BI mengatakan bahwa industri perbankan nasional harus sudah menerapkan Basel II pada 2008. Empat tahun kemudian Basel II mulai dilaksanakan, walau belum semua pilar Basel II. Lantas, bagaimana transisinya ke Basel III?

Jadi, menurut pengamatan saya, BI tidak siap dengan Basel III dan mencoba mengulur-ulur waktu seperti yang sudah-sudah. BI seperti sedang mengulur waktu sampai dengan kewajiban dalam penataan perbankan resmi di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seperti pernah dikatakan Henri Queuille, seorang politikus radikal Prancis terkemuka, “Politics is the art of postponing decisions until they are no longer relevant.”

Mengapa ketertinggalan itu bisa terjadi? Salah satu masalah yang ada di BI, di samping ketidakseriusan yang disinyalir di atas, adalah ketertutupan kebijaksanaan SDM-nya dengan sistem rekrutmen selama puluhan tahun. Kekuatan staf BI hanya fokus pada pembinaan pegawai muda hingga menjadi senior dan kemudian pensiun di tempat yang sama.

BI seharusnya menjadi sebuah institusi negara yang pionir untuk memodernisasi kebijakan SDM-nya. Kalau kita lihat di Singapura, misalnya, rekrutmen jalan terus di semua tingkat. Dengan merekrut pakar dari swasta dan mempermudah atau mendorong pegawai BI bekerja di tempat lain, BI bisa mengimbangi cepatnya alur perkembangan zaman.

Lebih konkretnya, untuk memperlancar penerapan Basel III, salah satu yang harus diambil adalah melibatkan sektor perbankan dan mungkin konsultan dari swasta yang mempunyai gairah di Basel III. Bahkan, bukan sesuatu yang tabu untuk merekrut langsung ahli Basel dari swasta untuk memperkuat tim yang ada sehingga bisa saling membantu dan melengkapi tim Basel III yang ada

Harry Pattikawa (credit portfolio risk analys, bekerja di sebuah bank di Belanda)

11 Maret 2013

ATM di Tengah Arus Modernisasi

ATM yang menjadi saluran penting perbankan jumlahnya belum ideal. Perlu peningkatan kemampuan teknologi dan fitur transaksi untuk meningkatkan transaksi. 


Masihkah cara manual sekaligus konvensional dalam akses kanal perbankan, yakni memijit kode digit, menunggu menu tampil, memprosesnya di layar kecil, keluar uang tunai, ambil struk, dan seterusnya menjadi pilihan masyarakat Indonesia? Pada waktu bersamaan, aneka komputer tablet dan ponsel cerdas bertemu berbagai layanan perbankan yang compatible sehingga akses kanal melalui medium virtual menawarkan berbagai kemudahan dan kepraktisan.


Apakah automatic teller machine (ATM) menjadi opsi layanan perbankan terpilih dalam deru kemajuan zaman dan layanan yang membuat semuanya tercakup dalam satu genggaman gadget?


Faktanya, meski jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini berkisar 55 juta (dengan aneka pencapaian seperti pengguna Facebook terbanyak kedua dan Twitter terbanyak kelima di dunia), tak terjadi perubahan signifikan dalam kanal layanan perbankan.


Berdasarkan survei internet banking yang kami lakukan tahun lalu, ATM ternyata masih menjadi pilihan pertama masyarakat Indonesia dalam saluran layanan, selanjutnya diikuti internet banking, layanan di kantor cabang, SMS banking, dan mobile banking.


Posisi tersebut layak dijadikan prolog dalam tulisan ini mengingat sejumlah data penunjang berikutnya masih menunjukkan betapa kuatnya eksistensi ATM—yang secara bersamaan memperlihatkan aneka potensi yang belum dikembangkan. Kuatnya eksistensi ATM terlihat dalam dua variabel. Pertama, ditilik dari sisi volume dan transaksi harian sepanjang periode 2007-2011, keduanya mencatat pertumbuhan masing-masing 22,10% dan 21,35% per tahun.


Ambil contoh pada 2007, volumenya mencapai kisaran 1 juta transaksi per hari dengan nilai uang ditarik rata-rata Rp1,7 triliun per hari. Lima tahun kemudian, pada 2011, volumenya naik menjadi 2,3 juta kali dengan nilai Rp2,5 triliun. Kini estimasi pada 2012 ada 2,7 juta volume transaksi dengan nilai Rp3 triliun (meliputi tunai Rp1,4 triliun, belanja Rp100 miliar, transfer intrabank Rp1,1 triliun, dan transfer antarbank Rp250 miliar).


Dari angka di atas, jika dibagi rata, rata-rata mencapai 158 transaksi per ATM per hari dengan rata-rata transaksi Rp157.487.401 per ATM per hari. Sebuah angka yang cukup menggembirakan, sebenarnya. Kendati demikian, rentang transaksi minimal adalah 120 transaksi dan maksimal 450 transaksi per ATM. Dengan pendekatan standar negara maju, rata-rata transaksi malah antara 500 dan 1.000. Karena itu, masih ada pekerjaan rumah utilisasi bagi perbankan nasional.
 

Kedua, dari jumlah ATM, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), saat ini berkisar 47.000 unit atau naik 43,3% dari 2010. Lima bank terbesar pemiliknya adalah BRI (11.111 unit), Bank Mandiri (10.361 unit), BCA (8.836 unit), BNI (6.831 unit), serta Bank CIMB Niaga (1.749 unit). Dari sisi persentase komposisi kepemilikan, bank umum memiliki ATM 58%, BPD 28%, bank syariah 8%, serta BPR 6%. Demikian juga jika dibandingkan dengan penetrasi di negara lain, angka ini masih sangat minim.

Kita lihat dari sisi rasio jumlah ATM per 1.000 kilometer persegi (km2), dalam hal ini sebarannya mencapai 12,39. Bandingkan dengan tiga negara tetangga kita, yakni Malaysia (33,12), Thailand (80,68), dan Filipina (30,35). Artinya, ATM masih jarang di sekitar kita.


Dari sisi jumlah ATM per 100.000 populasi orang dewasa, rasionya 13,37, sementara Malaysia 50,18, Thailand 77,69, Filipina 14,88, Brasil 120,62, bahkan Jepang dan Amerika Serikat (AS) rasionya masing-masing 132,96 dan 173,75.

Dengan mengacu pada jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang terus terjadi di Indonesia, jelaslah sudah bahwa angka saat ini masih jauh dari ideal. Perbankan harus membuat kanal layanannya lebih tersebar dan mudah ditemukan. Artinya pula, rata-rata 15 ATM/100.000 populasi di Pulau Jawa dan Bali, Pulau Kalimantan (7/100.000 populasi), Pulau Sumatera (15/100.000 populasi), Sulawesi (4/100.000 populasi), dan Papua (8/100.000 populasi), masih perlu ditingkatkan.


Selain kuatnya data tersebut, di lain sisi terdapat tiga isu utama yang harus menjadi prioritas ke depan. Ketiga itu tersebut adalah mengenai keluhan operasional, layanan ke depan yang harus disediakan, serta rencana migrasi kartu ATM.


Dari segi keamanan, kejadian pencurian saldo ATM dengan proses scamming di Bali beberapa tahun silam adalah isu yang tak boleh sekalipun diremehkan. Jangan pernah tidak waspada.


Prioritas kedua adalah bersiap menyediakan berbagai bentuk layanan advance ATM, antara lain menyediakan ATM berbicara (talking ATM) yang ditujukan bagi saudara kita kaum tunanetra. Juga menarik disediakan adalah ATM multi currency, seperti sudah dilakukan Myanmar Foreign Trade Exchange Bank dengan kurs dolar, pound, euro, dan dolar Hong Kong.


Ada pula menu biometric identification, dalam hal ini akses baru akan dilayani kalau scan telapak jari berhasil diidentifikasi. Termasuk juga menyediakan gold ATM yang akan mengeluarkan batangan emas seperti dimulai di London tahun lalu.


Prioritas terakhir adalah mengenai perlunya perbankan nasional mengelola sebaik mungkin antara peningkatan layanan melalui migrasi kartu ATM magnetik ke cip dan nilai investasi yang dibutuhkan. Jangan sampai bujet yang dikeluarkan tidak efektif karena tidak meningkatkan loyalitas pelanggan atau menarik pelanggan baru, misalnya. Karenanya, penting untuk menyosialisasikan keunggulan migrasi tersebut. Apalagi BI akhir tahun lalu sudah mengeluarkan surat edaran yang meminta perbankan mulai menerapkan kebijakan migrasi ini dengan tenggat pemenuhan aturan selambatnya 1 Januari 2016.
 

Secara paralel, BI juga meminta perbankan tidak membebankan migrasi ini kepada nasabah. Terlebih seluruh bank telah berkomitmen bersedia menanggung biaya karena pergantian kartu merupakan bagian dari layanan meningkatkan keamanan.


Dalam sebuah kesempatan Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan, migrasi kartu ATM magnetik ke cip butuh waktu sedikitnya tiga tahun dengan investasi yang dibutuhkan US$14 juta. Secara keseluruhan, migrasi butuh biaya minimal US$2-US$5 per kartu. Hingga Juni 2011, kartu ATM dan kartu debit yang beredar mencapai 55,14 juta kartu atau meningkat 22,92% dibandingkan dengan Juni 2010 sebanyak 44,21 juta kartu.

Karena itulah, migrasi menjadi prioritas komitmen seluruh bank nasional yang harus diproyeksikan sebagai metode dalam meningkatkan loyalitas dalam jangka pendek serta meningkatkan kualitas layanan dalam jangka menengah-panjang.


ATM di Indonesia masih mengalami proses pertumbuhan sehat dan dalam fase kompetitif sangat sehat. Karenanya, layanan masih jauh dari titik jenuh. Namun, optimalisasi tetap diperlukan, terutama melalui percepatan penetrasi dan peningkatan fitur.

Dimitri Mahayana (Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision) / infobanknews

10 Maret 2013

Branchless Banking Sesuai dengan Struktur Ekonomi Indonesia

Konsep branchless banking (perbankan tanpa kantor cabang) dinilai sebuah metode terbaik dalam meningkatkan akses masyarakat dalam menjangkau lembaga keuangan. Konsep ini mulai digenjot banyak bank syariah nasional dengan melakukan memorandum of understanding (MOU) dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI), dalam menyalurkan kredit ke pengurus tempat ibadah layaknya koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Seperti diketahui, saat ini masih minimnya masyarakat yang punya akses ke lembaga keuangan, karena letak geografis Indonesia yang kurang mendukung, sehingga branchless banking sangat membantu. “Di Indonesia masyarakat yang punya akses ke lembaga keuangan baru sekitar 40%. Branchless bank sangat diperlukan dalam struktur ekonomi seperti Indonesia. Ini bisa menjadi salah satu tools financial inclusion,.

09 Maret 2013

BI Rate Tetap 5,75%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 7 Maret 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar 4,5% ± 1%. Kinerja perekonomian Indonesia masih baik meski terdapat indikasi moderasi pada kegiatan investasi yang berlangsung sejak triwulan IV-2012. Ke depan, Bank Indonesia akan mencermati perkembangan inflasi terutama yang bersumber dari harga pangan (volatile foods). Bank Indonesia meyakini bahwa dengan penguatan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta langkah-langkah koordinasi yang solid dengan Pemerintah, akan mampu mencapai sasaran inflasi dan mendorong tercapainya keseimbangan eksternal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

Perekonomian Indonesia pada triwulan I-2013 akan tumbuh sesuai prakiraan 6,2%, didukung terutama oleh kuatnya permintaan domestik. Konsumsi tumbuh cukup kuat sejalan dengan keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat yang membaik. Sementara itu, berbagai indikator menunjukkan moderasi pertumbuhan investasi khususnya pada investasi nonbangunan di tengah investasi sektor bangunan yang masih cukup kuat. Indikasi moderasi tersebut juga terlihat pada melandainya pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal. Di sisi lain, kinerja ekspor ke berbagai negara mitra dagang utama, khususnya China, Amerika Serikat (AS) dan India, diprakirakan membaik. Untuk keseluruhan tahun 2013, setelah memperhitungkan aktivitas ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya, termasuk pengeluaran untuk persiapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan cenderung mengarah ke batas bawah kisaran 6,3%-6,8%. 

Di sisi eksternal, defisit transaksi berjalan diprakirakan menurun pada triwulan I-2013. Defisit transaksi berjalan yang menurun tersebut didukung oleh ekspor yang cenderung meningkat sejalan dengan membaiknya harga komoditas internasional. Sementara itu, impor nonmigas diprakirakan cenderung melemah di tengah risiko semakin meningkatnya impor migas yang perlu terus diwaspadai. Di sisi lain, arus modal masuk, baik dalam bentuk investasi langsung (FDI) maupun investasi portofolio, diprakirakan masih cukup tinggi di tengah masih besarnya kebutuhan likuiditas valas domestik, antara lain untuk keperluan impor migas. Dengan perkembangan tersebut di atas, cadangan devisa sampai dengan akhir Februari 2013 mencapai 105,2 miliar dolar AS atau setara dengan 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, di atas standar kecukupan internasional. 

Pada bulan Februari 2013, tekanan depresiasi terhadap rupiah cenderung mereda sehingga mencapai rata-rata Rp.9.680 per dolar AS. Dibandingkan dengan posisi awal tahun 2013, Rupiah menguat sebesar 0,31%. Kebijakan stabilisasi nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia, termasuk penguatan mekanisme intervensi valas dan pembentukan referensi nilai tukar rupiah di pasar domestik, mampu meningkatkan kepercayaan pasar. Selain itu, stabilitas nilai tukar juga didukung dengan masuknya aliran dana nonresiden ke instrumen rupiah yang mencapai Rp27,6 triliun. Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. 

Inflasi IHK Februari 2013 mencapai 0,75% (mtm) atau 5,31% (yoy). Inflasi inti tetap terkendali 4,29% (yoy) sejalan dengan harga komoditas global nonmakanan yang terkendali dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga. Di sisi lain, tekanan inflasi terutama berasal dari tingginya inflasi harga pangan (volatile foods) antara lain sebagai dampak gangguan cuaca dan terbatasnya pasokan komoditas hortikultura yang berasal dari impor. Sementara itu, inflasi administered prices yang cukup tinggi disumbang oleh kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL). Tekanan inflasi diprakirakan akan mereda seiring dengan siklus panen dan secara keseluruhan tahun 2013 diprakirakan akan tetap terkendali pada kisaran sasarannya. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah melalui forum TPI (Tim Pengendalian Inflasi) dan TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) guna mengamankan pasokan dan distribusi barang. 

Stabilitas sistem keuangan dan fungsi intermediasi perbankan tetap terjaga dengan baik. Kinerja industri perbankan yang solid tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, pertumbuhan kredit hingga akhir Januari 2013 mencapai 23,0% (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kredit modal kerja dan kredit investasi masih tumbuh cukup tinggi sebesar 24,0% (yoy) dan 25,5% (yoy). Sementara itu, kredit konsumsi tumbuh 19,8% (yoy). Ke depan, Bank Indonesia meyakini stabilitas sistem keuangan akan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi perbankan yang akan meningkat seiring dengan peningkatan kinerja perekonomian nasional.(Bank Indonesia)

05 Maret 2013

BI Siapkan Guideline Branchless Banking

Dalam mendukung pengembangan branchless banking untuk perluasan akses keuangan kepada masyarakat, Bank Indonesia segera merilis panduan terkait agen perbankan untuk meningkatkan jangkauan bank.

Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa panduan (guideline) branchless banking atau perbankan tanpa kantor fisik akan segera dirilis pada Maret tahun ini. Penerapannya sendiri diharapkan sudah bisa berjalan pada akhir tahun.
“Maret kita akan keluarkan guideline-nya, ini akan memuat soal agent banking. Kemudian dilanjutkan PBI (Peraturan Bank Indonesia) branchless banking-nya. Kita harap begitu, pertengahan tahun akan ada ujicoba sehingga akhir tahun bisa full implementasikan.