10 September 2011

BI Rate Tetap 6,75%, Batas Bawah Koridor Suku Bunga Operasi Moneter Diperlebar Menjadi 150 bps

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 8 September 2011 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Dalam rangka mendorong kegiatan di pasar uang antar bank di tengah besarnya ekses likuiditas selama ini, Bank Indonesia memperlebar batas bawah koridor suku bunga operasi moneter yang semula 100 bps menjadi 150 bps di bawah BI rate. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas perekonomian di tengah meningkatnya ketidakpastian sistem keuangan global yang dipicu masalah utang AS dan Eropa. Meskipun gejolak yang ditimbulkan ketidakpastian perekonomian global masih terbatas, Bank Indonesia terus mencermati dampak penurunan kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia ke depan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia akan mengambil respon suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Bank Indonesia juga akan mempererat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak penurunan ekonomi dan keuangan global tersebut. 

Dewan Gubernur menilai bahwa sejauh ini kinerja perekonomian domestik menunjukkan ketahanan yang baik di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2011 diprakirakan akan mencapai 6,6%, ditopang oleh ekspor, konsumsi dan investasi. Ekspor diprakirakan masih tumbuh cukup tinggi sejalan dengan prakiraan masih tingginya realisasi perdagangan dunia serta harga komoditas internasional. Namun selanjutnya pengaruh penurunan pertumbuhan ekonomi global diprakirakan akan mulai terasa pada kinerja ekspor Indonesia. Di sisi lain, konsumsi masih tetap kuat sejalan dengan optimisme konsumen dan prakiraan peningkatan belanja Pemerintah sebagaimana pola historisnya. Sementara itu, kegiatan investasi juga meningkat, didukung oleh perkembangan proyek infrastruktur dan kebijakan Pemerintah mendukung investasi. Secara sektoral, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi masih berasal dari sektor perdagangan, hotel & restoran, sektor transportasi & komunikasi, dan sektor industri.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III-2011 diprakirakan mengalami surplus yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Impor diperkirakan akan terus terakselerasi seiring dengan kegiatan ekonomi domestik yang meningkat, sehingga tekanan terhadap transaksi berjalan cenderung meningkat. Namun, hal tersebut masih dapat diimbangi oleh surplus transaksi modal dan finansial, meskipun sempat mengalami tekanan akibat perkembangan situasi global. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir Agustus 2011 tercatat sebesar 124,6 miliar dolar AS, atau setara dengan 7,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar Rupiah cenderung menguat meskipun relatif terbatas. Pada bulan Agustus 2011, nilai tukar Rupiah secara rata-rata menguat tipis 0,05% ke level Rp 8.525 per dolar AS dengan volatilitas yang menurun, meskipun sempat tertekan oleh faktor sentimen global terkait kekhawatiran terhadap prospek ekonomi AS dan Eropa. Penguatan Rupiah masih ditopang oleh fundamental ekonomi domestik yang kuat dan imbal hasil yang menarik. Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai tukar Rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan pasar domestik. 

07 September 2011

BI: Bank Bisa Blokir Rekening Penipu

Ketua Tim Mediasi Bank Indonesia, Sondang Martha Samosir, menegaskan bahwa bank memiliki cara untuk memininalisir tindak kejahatan yang mengunakan modus penipuan rekening perbankan. Bank bisa menutup atau membekukan sementara rekening pelaku penipuan.

"Sudah ada terobosan hukum untuk dapat melakukan pengecekan rekening si penipu, pengembalian dana kepada nasabah, pembekuan rekening sementara hingga penutupan rekening" . Terobosan baru ini dikenal dengan nama  Bye Laws penanganan transaksi terhadap rekening simpanan nasabah yang menggunakan identitas tidak benar. Saat ini menjadi Standar Operating Procedure (SOP) bank untuk mengantisipasi penipuan rekening melalui transfer dana kepada nasabah.

"Melalui bye laws ini, diharapkan antara bank yang satu dengan bank lain bisa melakukan pengecekan langsung dan melakukan pembekuan transaksi sementara bagi rekening si penipu sehingga dananya tidak bisa keluar ataupun masuk ketika nasabah sudah mentransfer,"

BISNIS EMAS

Dalam dekade 1930-an yang dikenal sebagai masa kelam ekonomi dunia. Great American Despression. Coba lihat film “Cinderella Man”, film layar lebar yang menceritakan seorang juara dunia tinju berat ringan yang untuk makan saja terpaksa harus mengantri. Sungguh kondisi ekonomi yang parah. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya perang dunia I sehingga banyak orang rela untuk berperang daripada bekerja.

Untuk mengatasi kekelaman ekonomi dikala itu, maka dibuat dan ditandatanganilah perjanjian Bretton Woods sesuai nama hotel tempat perjanjian tersebut ditanda-tangani.. Salah satu isi dari perjanjian tersebut ialah membatasi percetakan atau pembuatan mata uang, bila tanpa disertai cadangan emas yang cukup bagi negara yang bersangkutan. Walaupun pada akhirnya perjanjian ini dibatalkan oleh Amerika di tahun 1971, namun satu kesimpulan yang diperoleh adalah “The Mother of all money is GOLD”. ( Induk dari semua mata uang adalah emas ). Hal ini lah yang menjadikan pentingnya emas dalam dunia perekonomian modern, pasca Great American Despression.
bisnis emas Bisnis Emas

EMAS VS PERANG

Ada satu kelakuan emas yang hampir selalu terjadi. Setiap ada ketidak pastian di bidang ekonomi, maka harga emas akan selalu meroket. Fakta sebaliknya, setiap ada kepastian (baca: kondisi perekonomian yang terus meningkat) maka harga emas akan menurun. Dengan demikian, setiap kali terjadi perang atau ancaman perang, maka harga emas akan meroket. Bicara perang disini bukan hanya tentang senjata dan peluru tetapi juga ketidak pastian di bidang ekonomi. Bila kita runut maka menjelang perang teluk di bulan Agustus 1990 dapat disaksikan harga emas mencapai titik tertinggi di level 415US$/Troy Ounce. Ditahun 2008, ketika mulai terjadi perang terhadap krisis Subprime Mortgage, maka emas juga mulai meroket dan tembus hingga level 1000US$/Troy Ounce ke atas. Kondisi ketidak pastian ini terus berlanjut sampai sekarang.

EMAS VS KAMBING

Secara intelektual sudah dibahas tentang emas. Mari simak analisa berikut. Ada satu indikator yang cukup luar biasa tentang emas yaitu cukup bandingkan emas dengan harga kambing.. Semenjak di jaman Nabi Muhammad, harga 1 ekor kambing setara dengan 3 gram emas. Bila emas saat ini berada di 1150US$/TO dan 1US$ = Rp.9450,- maka 1 gram emas setara dengan Rp.350.000,-. Dan berdasarkan info terakhir sesudah hari raya kurban harga kambing saat ini sekitar Rp.800.000,-. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh 1 ekor kambing dibutuhkan cuma 2 gram lebih emas. Inipun artinya harga emas masih terlalu tinggi bila dibandingkan harga kambing.

06 September 2011

Tabungan Emas


Menabung dalam bentuk dana tunai atau uang adalah hal yang biasa. Kini bank berlomba untuk menerbitkan tabungan dalam bentuk investasi emas. Dan penabung pun nantinya bisa mendapatkan emas 24 karat dari hasil tabungan emas nya. Pada awalnya tabungan emas ini dipelolori oleh Bank HSBC Syariah, namun sekarang Bank Syariah Mandiri (BSM) pun tak mau ketinggalan dengan menerbitkan tabungan investasi emas yang menggunakan portofolio emas 24 karat.

05 September 2011

Pemerintah Bakal Tambah utang Rp 191,4 Triliun di 2012


Tahun depan, pemerintah Indonesia berencana mencari utang Rp 191,4 triliun untuk membiayai anggaran yang rencananya bakal defisit sebesar Rp 125,6 triliun. Demikian terungkap dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2012 yang dikutip. Dikatakan penarikan/penerbitan utang tersebut akan dipenuhi melalui penerbitan surat utang neto Rp 134,6 triliun, penarikan pinjaman proyek Rp 39,1 triliun, penarikan pinjaman program Rp 16,9 triliun, dan penarikan pinjaman dalam negeri neto Rp 860 miliar.

Pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang akan dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya biaya dan risiko utang, perkembangan
kondisi pasar keuangan, kapasitas daya serap pasar SBN, country ceiling/single country limit masing-masing lender, dan kebutuhan kas negara. Adapun kebijakan pembiayaan melalui utang di 2012 yang akan ditempuh adalah:

  • Mengutamakan sumber utang dari dalam negeri melalui penerbitan SBN rupiah;
  • Menarik pinjaman luar negeri yang tidak mengandung ikatan politik dan memiliki terms and conditions yang dapat diterima;
  • Menggunakan pinjaman luar negeri terutama untuk pembiayaan proyek investasi;
  • Menggunakan penerusan pinjaman kepada BUMN dan Pemda untuk mendukung pembangunan infrastruktur terutama terkait dengan energi, fasilitas pembiayaan infrastruktur, pelabuhan, air minum, dan penanggulangan banjir;
  • Melakukan pengelolaan risiko utang (refinancing, tingkat bunga, dan nilai tukar);
  • Melakukan pendalaman pasar SBN domestik untuk memperkuat basis investor lokal dan mengurangi ketergantungan pada sumber utang luar negeri.

Di 2012 pinjaman luar negeri neto ditetapkan sebesar negatif Rp 292,3 miliar yang terdiri dari penarikan pinjaman bruto sebesar Rp 56 triliun, dan pembayaran jatuh tempo pinjaman luar negeri sebesar Rp 47,3 triliun.

Penarikan pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman proyek sebesar Rp 39,1 triliun yang didalamnya termasuk penerusan pinjaman sebesar Rp 9 triliun dan pinjaman program sebesar Rp 16,9 triliun. Pemenuhan pinjaman program di 2012 diharapkan akan bersumber dari World Bank, ADB, dan JICA.

Krisis Global dan Daya Tahan Perbankan

DPR perlu segera mengesahkan undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung jika terjadi krisis. Jangan sampai masalah politik antara kubu koalisi dan oposisi di dalam negeri menciptakan kecemasan yang bisa memicu ketidakstabilan. 

Penurunan rating Amerika Serikat dari AAA+ menjadi AA+, dari predikat sangat aman menjadi aman, oleh perusahaan rating Standard & Poor’s (S&P) telah mengguncang dunia. Penurunan rating ini merupakan yang pertama sepanjang sejarah AS. Para investor kalang kabut. China meriang karena cadangan devisanya banyak tersimpan dalam surat utang pemerintah AS.

Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di Kawasan Eropa. Italia dan Spanyol diperkirakan menyusul Yunani yang lebih awal masuk kubangan krisis. Kawasan Eropa telah mengekspor kecemasan ke berbagai pelosok dunia mengiringi AS yang utangnya juga sudah melewati produk domestik bruto (PDB) dengan beban utang US$14,58 triliun.

Kepanikan atas penurunan rating AS menjalar ke seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan besar di AS lebih suka memegang uang tunai lebih banyak dibandingkan dengan membeli surat utang pemerintah AS sebagaimana selama ini dilakukan. Trauma kejatuhan Lehman Brothers pada 2008 telah menghantui sejumlah korporasi besar. Sebut saja Apple, Microsoft, Cisco, Pfizer, dan Google.

Cash is the king. Itulah yang dianut perusahaan-perusahaan besar dalam mengantisipasi penurunan rating pemerintah AS. Langkah ini pun telah memicu sejumlah bank di Eropa kesulitan memperoleh akses dana. Adanya rumor tentang kebangkrutan bank yang terus berembus seperti memutar ulang tragedi Lehman Brothers. Pinjaman antarbank di Eropa juga sedang dilanda distrust.

Apakah krisis akan datang ke perbankan Indonesia? Tak ada seorang pun yang dapat memastikan krisis tidak datang atau krisis akan datang. Jika melihat rasio utang pemerintah terhadap PDB, angkanya memang masih kecil, masih 26%. Itu artinya dari sisi ketahanan pinjaman Indonesia masih cukup aman dibandingkan dengan Italia, Spanyol, Portugal, dan bahkan AS sendiri.

Dari sisi tersebut seharusnya Indonesia aman, apalagi ekonomi Indonesia tidak tergantung pada pasar luar negeri karena ekspor Indonesia juga masih 29% dari PDB. Lagi pula, Indonesia banyak melakukan ekspor barang komoditas yang selalu dibutuhkan pasar Eropa dan AS. Setidaknya daya tahan ini menjadi satu modal penting agar pasar tidak bergerak negatif, kendati kondisi AS dan Eropa dapat dipastikan merusak ukuran-ukuran makro-ekonomi.

04 September 2011

BI Tetap Nilai Kredit Sektor Properti Berpotensi Bubble


Dengan kondisi tertentu, kucuran kredit konsumsi di salah satu sektor bisa menimbulkan kejenuhan (bubble) ekonomi. Dari semua sektor, manakah yang dianggap Bank Indonesia (BI) paling berbahaya, dan dalam konsisi seperti apakah bubble ekonomi bisa terjadi ?
Bank Indonesia (BI) menilai kucuran, kredit di sektor properti tetap berpotensi terjadi bubble (kejenuhan) ekonomi, bila mayoritas kredit digunakan masyarakat untuk berinvestasi yang sifatnya spekulasi.
“Itu (kredit konsumsi) kita lihat detilnya konsumsi ke mana, kan tidak semua membhayakan. Itu yang paling membahayakan kalau terjadi spekulasi di sektor properti,” tukas Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh A. Santoso. Saat ini bank sentral belum bisa memastikan ada atau tidaknya bubble di sektor perumahan. Namun, dengan kenyataan kebutuhan perumahan di Indonesia sangatlah besar, diharapkan tidak akan digunakan masyarakat untuk melakukan spekulasi.
“Apalagi kan jumlah penduduk Indonesia banyak, jadi secara riil kebutuhan perumahannya banyak. Nah, kecuali kalau nanti jumlah rumah yang spekulasi untuk simpen saja, itu juga menimbulkan tidak ada multi player efek-nya,” ujar Wimboh.

BI mencatat, selama 2011 sampai Juni (year to date), kucuran kredit konsumsi mencapai Rp66,3 triliun, yang terbagi atas kredit properti mencapai Rp17,9 triliun, kredit kendaraan bermotor Rp12,6 triliun, kredit multiguna Rp14,5 triliun dan kredit bukan lapangan usaha lainnya (termasuk di dalamnya kartu kredit) mencapai Rp21,3 triliun.
“Jadi perumahan itu sebenarnya lebih banyak didominasi yang tipenya di bawah tipe 70 (luas 70 meter persegi), jadi 45% kredit yang di bawah tipe 70, untuk pengadaan apartemen-apartemen di kota-kota besar, lebih banyak yang di bawah tipe 70, karena pemerintah juga ikut mendorong lewat program-program rumah murah.

03 September 2011

Pengaruh Kenaikan Harga Emas Terhadap Inflasi Masih Kecil

Dalam sejarahnya, indikator yang paling memengaruhi inflasi di Tanah Air adalah bahan makanan. Namun, di luar itu ada juga indikator lain, seperti emas, yang belakangan ini harganya terus melambung. Seberapa besarkah emas memengaruhi inflasi ?

Pengaruh kenaikan harga emas terhadapi tingkat inflasi di Indonesia tidak besar, sangat jauh bila dibanding dengan bobot makanan, yang dampaknya demikian terasa kala tahun lalu pemerintah kesulitan menjaga pasokan bahan pokok.

“Dalam hitungan index CPI (consumer price index), bobot emas kecil, yang paling besar itu kan makanan, sekitar 20%. jadi dampak kenaikan harga emas terhadap inflasi di Indonesia relatif kecil,” tutur Pengamat Ekonomi Standard Chartered Fauzi Ichsan. Menurutnya, kendati kenaikan harga emas sangat tajam, hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Selama Agustus, lanjutnya, emas mengalami overbought (kelebihan pembelian), sementara bursa saham oversold (kelebihan penjualan), sehingga dalam waktu dekat akan terjadi koreksi.“Akan ada koreksi. Akan ada titik equilibrium (keseimbangan) baru di mana harga emas akan melemah kembali, sementara harga bursa saham akan seimbang,” tandasnya.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, inflasi Indonesia tahun ini benar-benar akibat pengaruh dari beberapa komoditas, utamanya bahan pangan, adapun di luar komoditas yang memengaruhi adalah emas, namun tidak besar.“Inflasi bulan Agustus 0,8%, lebih kuat karena memang menjelang lebaran. Tetapi kita melihat inflasi sampai akhir tahun akan menurun.

01 September 2011

BANK PALING AMAN DI ASIA PADA TAHUN 2011

Majalah Global Finance (GFmag.com) menetapkan 10 Bank Paling Aman di Asia di Tahun 2011, berdasarkan dalam survei eksklusif  melalui evaluasi jangka panjang peringkat kredit-dari Moody `s, Standard & Poor dan Fitch-aset dan total.  Berikut Bank teraman di Asia tahun 2011 versi Majalah Global Finance :
  1.  Bank DBS (Singapura)
  2. Oversea-Chinese Banking Corporation (Singapura)
  3.  United Overseas Bank (Singapura)
  4.  China Development Bank (Cina)
  5.   Agricultural Development Bank of China (Cina)
  6.  Shizuoka Bank (Jepang)
  7. Bank of Tokyo - Mitsubishi UFJ (Jepang)
  8. Sumitomo Mitsui Banking Corporation (Jepang)
  9. Shinkin Bank Sentral (Jepang)
  10. Bank Taiwan (Taiwan)