Penyelesaian restrukturisasi perbankan dan restrukturisasi kredit diharamkan diselesaikan secara politis. Sebab, masih banyak bank dan bankir yang perlu dilindungi untuk mendorong ekonomi. Jangan sampai semuanya dirusak oleh begundal politik.
Kasus Bank Bali telah mengingatkan betapa bank telah dikoyak-koyak oleh setan gundul. Ada politisi berbulu kuning yang tanpa nurani. Juga, ada makelar biadab yang menganggap nilai ratusan miliar merupakan hal biasa ketika rakyat sudah lapar. Terlebih lagi, para setan gundul penghisap uang bank itu dengan tenangnya mengembalikan uang hasil kong-kalikong itu. Tanpa rasa bersalah.
Padahal, kasus Bank Bali bukan sekedar menyelamatkan uang, tapi lebih banyak kepada hilangnya etika dan moral para pelaku bisnis. Juga, politisi yang egois hanya karena sebuah kursi dengan para penjabatnya yang korup. Relakah banggsa ini dipimpin oleh para setan gundul itu? Terlepas dari masalah kejahatan tingkat tinggi yang melibatkan para pemain, yang pasti akibat trik-trik itu telah membuat ekonomi Indonesia bertambah miskin. Rupiah kembali rock n’ roll telah memiskinkan cadangan devisa. Juga, kredibilitas perbankan murah.
Persoalan politik adalah persoalan politik. Persoalan restrukturisasi perbankan adalah persoalan perbankan. Keduanya tidak bisa dicampur menjadi satu. Sebab, restrukturisasi perbankan yang dikotori tangan-tangan kotor hanya karena rivalitas elit politik tentu akan menghasilkan perbankan yang cacat bawaan. Bahkan, akan melahirkan peta perbankan yang gelap.
Lebih jauh, kegagalan restrukturisasi perbankan akan memakan ongkos yang terlalu mahal. Ekonomi yang rusak dengan dipenuhi oleh pengangguran yang besar. Dan muaranya, rasa aman di kalangan masyarakat. Kerusuhan sosial adalah buah lain dari gagalnya restrukturisasi perbankan hanya karena malpraktek dari para politisi. Upaya pembajakan terhadap restrukturisasi perbankan atau pemulihan ekonomi mulai tampak jelas dari skandal Bank Bali. Para elit politik dengan berbagai cara termasuk memeras perbankan bukan hanya satu dimensi biasa. Tapi, sudah termasuk subversi terhadap perbankan yang sudah mulai tampak bergairah dengan ditandainya penurunan suku bunga dan stabilnya nilai tukar.
Banyak kalangan berharap, mudah-mudahan kasus Bank Bali merupakan kasu yang terakhir dari serangkaian kasus perbankan yang selama ini senantiasa diperas oleh siapa saja, termasuk oleh para bankir sontoloyo. Juga, para elit politik dan para debitur “buaya” macam Djoko S. Tjandra.
Kasus Bank Bali juga menjadi bukti bahwa sebuah bank dijadikan “pesta prasmanan”. Hanya mengungkap rekening dari manusia-manusia yang terbilatkan yang dianggap bijak. Tanpa itu Bank Indonesia tetap saja mandul. Penyelesaian restrukturisasi perbankan dan restrukturisasi kredit diharamkan diselesaikan secara politis. Sebab, masih banyak bank dan bankir yang perlu dilindungi untuk mendorong ekonomi. Jangan sampai semuanya dirusak oleh begundal politik.
( Infobanknews.com)