DPR perlu segera mengesahkan undang-undang Jaring Pengaman 
Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung jika terjadi krisis. Jangan sampai
 masalah politik antara kubu koalisi dan oposisi di dalam negeri 
menciptakan kecemasan yang bisa memicu ketidakstabilan. 
Penurunan rating Amerika Serikat dari AAA+ menjadi AA+, dari predikat sangat aman menjadi aman, oleh perusahaan rating Standard & Poor’s (S&P) telah mengguncang dunia. Penurunan rating
 ini merupakan yang pertama sepanjang sejarah AS. Para investor kalang 
kabut. China meriang karena cadangan devisanya banyak tersimpan dalam 
surat utang pemerintah AS.
Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi 
di Kawasan Eropa. Italia dan Spanyol diperkirakan menyusul Yunani yang 
lebih awal masuk kubangan krisis. Kawasan Eropa telah mengekspor 
kecemasan ke berbagai pelosok dunia mengiringi AS yang utangnya juga 
sudah melewati produk domestik bruto (PDB) dengan beban utang US$14,58 
triliun.
Kepanikan atas penurunan rating AS menjalar ke 
seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan besar di AS lebih suka memegang 
uang tunai lebih banyak dibandingkan dengan membeli surat utang 
pemerintah AS sebagaimana selama ini dilakukan. Trauma kejatuhan Lehman 
Brothers pada 2008 telah menghantui sejumlah korporasi besar. Sebut saja
 Apple, Microsoft, Cisco, Pfizer, dan Google.
Cash is the king. Itulah yang dianut perusahaan-perusahaan besar dalam mengantisipasi penurunan rating
 pemerintah AS. Langkah ini pun telah memicu sejumlah bank di Eropa 
kesulitan memperoleh akses dana. Adanya rumor tentang kebangkrutan bank 
yang terus berembus seperti memutar ulang tragedi Lehman Brothers. 
Pinjaman antarbank di Eropa juga sedang dilanda distrust.
Apakah
 krisis akan datang ke perbankan Indonesia? Tak ada seorang pun yang 
dapat memastikan krisis tidak datang atau krisis akan datang. Jika 
melihat rasio utang pemerintah terhadap PDB, angkanya memang masih 
kecil, masih 26%. Itu artinya dari sisi ketahanan pinjaman Indonesia 
masih cukup aman dibandingkan dengan Italia, Spanyol, Portugal, dan 
bahkan AS sendiri.
Dari sisi tersebut seharusnya Indonesia aman, 
apalagi ekonomi Indonesia tidak tergantung pada pasar luar negeri karena
 ekspor Indonesia juga masih 29% dari PDB. Lagi pula, Indonesia banyak 
melakukan ekspor barang komoditas yang selalu dibutuhkan pasar Eropa dan
 AS. Setidaknya daya tahan ini menjadi satu modal penting agar pasar 
tidak bergerak negatif, kendati kondisi AS dan Eropa dapat dipastikan 
merusak ukuran-ukuran makro-ekonomi.
Namun, harus diakui, penurunan rating AS telah membuat shock
 pasar modal. Ada investor asing yang keluar dari pasar modal. Tidak 
hanya itu. Menurut catatan Bank Indonesia (BI), ada aliran dana asing 
keluar, yang diindikasikan terjadi penurunan kepemilikan Sertifikat Bank
 Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, 
terjadi sedikit penurunan cadangan devisa. Namun, sebaliknya, sejumlah 
investor mulai masuk reksa dana sehingga pasar bergerak dan menahan 
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak terlalu anjlok.
Di sektor keuangan sebelumnya BI mengingatkan bakal terjadi bubble akibat pembiayaan sektor otomotif yang tidak mengindahkan prinsip loan to value, prinsip kehati-hatian dengan uang muka (down payment atau DP) yang lebih besar dengan mengutamakan kualitas kredit.
Namun, beberapa kalangan menyebut bahwa bubble dari sisi pembiayaan otomotif sepertinya belum akan terjadi, kendati sinyal dari BI ini harus tetap diperhatikan. Kalangan
 perbankan pun mempunyai keyakinan kuat bahwa sektor perbankan sekarang 
ini berbeda dibandingkan dengan ketika krisis 1989. Pada 2008 krisis 
global memang telah memakan korban, tapi hanya satu bank, yaitu Bank 
Century. Langkah pemerintah menyelamatkan Bank Century waktu itu adalah 
untuk menyelamatkan industri perbankan, bukan menyelamatkan pemilik 
bank.
Langkah pemerintah yang cepat itulah sehingga 
kondisi perbankan tidak terkena dampak yang lebih luas. Psikologi 
masyarakat tidak menjurus ke arah negatif sehingga perbankan dapat 
berkembang dengan pencapaian laba yang terus meningkat dengan daya tahan
 yang terus meningkat pula.
Saat ini, berdasarkan data-data 
mutakhir BI, perbankan nasional mempunyai likuiditas dan ketahanan modal
 yang relatif sangat baik. Risiko pasar tidak banyak terganggu karena 
perbankan tidak menyimpan dananya di pasar uang internasional. Posisi 
rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) yang masih di atas 17% secara teknis cukup kuat dengan likuiditas yang tergambar di penempatan SBI dan SBN.
Dilihat
 dari cabang bank asing, bank-bank Eropa dan AS tidak menguasai pasar 
perbankan di Indonesia dan lebih relatif aman karena cabang bank asing 
di Indonesia bisnisnya kebanyakan di pasar dalam negeri, seperti kartu 
kredit dan beberapa perusahaan besar ternama di Indonesia.
Pasar 
dalam negeri, seperti kredit mikro, kecil, dan menengah (MKM) menjadi 
penopang perbankan. Kendati bank-bank swasta besar sudah dimiliki asing,
 para pemilik umumnya dari Asia yang tidak terlalu terganggu krisis 
Eropa dan AS—karena sejatinya bank-bank, baik bank asing, bank swasta, 
maupun bank BUMN, benar-benar tidak tergantung pada pasar luar negeri, 
tapi lebih banyak masuk pasar dalam negeri. Pendek kata, dalam enam 
bulan ini kondisi perbankan masih akan tetap segar bugar.
Satu-satunya
 hal yang perlu diperhatikan adalah memelihara sentimen positif dan 
mengurangi kecemasan dengan memberikan sinyal yang positif, baik dari BI
 maupun dari pemerintah. Lebih penting dari itu, Dewan Perwakilan 
Rakyat (DPR) juga segera mengesahkan undang-undang (UU) Jaring Pengaman 
Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung jika terjadi krisis. Jangan sampai
 masalah politik antara kubu koalisi dan oposisi di dalam negeri 
menciptakan kecemasan yang bisa memicu ketidakstabilan
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.