Akibat jebakan krisis, rating utang AS anjlok
menjadi AA+. Namun, Yunani lebih bangkrut lagi. Bagaimana imbasnya bagi
perbankan Indonesia? Anjloknya ekonomi global akan mengurangi porsi
investasi asing secara drastis.
Melewati pertengahan 2011, kondisi perekonomian global kembali terlihat memasuki cuaca buruk. Awal Agustus suatu lembaga rating terkemuka, Standard & Poor (S&P), menurunkan rating Amerika Serikat (AS) dari AAA ke AA+. Ini adalah suatu pukulan telak, mengingat rating puncak AAA telah dipegang AS sejak 1941. Krisis fiskal dan prospek ekonomi yang negatif adalah argumen S&P untuk melakukan downgrade atas status kredit AS.
Di
Eropa permasalahan krisis fiskal bahkan lebih parah. Secara teknis,
sebenarnya Yunani telah bangkrut dan sepenuhnya tergantung pada bantuan
dana dari International Monetary Fund (IMF) dan Uni Eropa. Bantuan dana
juga diberikan kepada Portugal dan Irlandia yang tengah mendekati
kondisi bangkrut. Kalangan analis memperkirakan, Spanyol dan Italia
segera menyusul.
Kejatuhan posisi fiskal negara-negara di Eropa dan AS akan menimbulkan kerugian (capital loss)
bagi banyak lembaga keuangan besar dunia. Dengan posisi modal yang
belum pulih dari krisis global lalu, hal itu akan kian memperburuk
fungsi intermediasi. Kerugian juga akan dialami sektor riil yang akan
menurunkan keyakinan (optimisme) bisnis.
Indonesia tentu tidak
dapat menghindar dari perkembangan ekonomi global yang negatif
itu. Dampak perkembangan ekonomi global akan terjadi melalui jalur
perdagangan, keuangan, dan psikologis. Daya tahan yang tinggi seperti
ketika menghadapi krisis global pada 2008-2009 dapat saja terjadi,
mengingat kontribusi sektor perdagangan hanya sebesar 10%-15% terhadap
pembentukan output nasional. Kendati demikian, dampak tak langsung terhadap konsumsi dan investasi (yang mencakup 70% kontribusi output nasional) melalui jalur keuangan dan psikologis lebih penting untuk diperhatikan.
Anjloknya
kondisi ekonomi global akan menyebabkan pengurangan porsi investasi
asing secara drastis. Porsi dana asing yang masuk ke pasar keuangan (portfolio investment, dikenal juga sebagai hot money) mencapai US$15,2 miliar pada 2010 atau 50% dari saldo neraca pembayaran. Meski tahun ini kontribusi portfolio investment diperkirakan sedikit menurun, porsi terhadap surplus neraca pembayaran masih dominan.
Pengurangan porsi investasi asing dapat terjadi secara tiba-tiba (sudden reversal)—dalam
kondisi ini rupiah berpotensi mengalami tekanan besar. Kendati
demikian, cadangan devisa yang dimiliki, yakni sebesar +/- US$120
miliar, diperkirakan dapat mengimbangi risiko ini. Di samping itu,
berbagai indikator kerentanan, seperti rasio utang terhadap produk
domestik bruto (PDB), defisit fiskal, dan inflasi, berada dalam batas
aman. Dengan demikian, potensi risiko dari sudden reversal dapat dikatakan cukup terkendali.
Pengawasan
lebih ketat harus diberikan pada sektor keuangan, terutama perbankan.
Berbeda dengan industri lain, menutup suatu bank bukan pekerjaan yang
gampang, apalagi jika bank besar (memiliki risiko sistematis). Penutupan
bank berpotensi menimbulkan dampak domino berupa persepsi negatif
nasabah yang memicu penarikan dana besar-besaran dari sistem perbankan (bank rush).
Aspek
terpenting yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan risiko.
Pengalaman yang ada menunjukkan dua sumber utama kerentanan perbankan,
yakni penurunan kualitas aktiva produktif dan kerugian portofolio dagang
(trading book), terutama dari valuta asing dan surat berharga.
Potensi risiko dari anjloknya kualitas aktiva produktif harus dievaluasi melalui penggunaan instrumen stress test. Stress test adalah suatu simulasi dampak kondisi ekonomi-bisnis yang ekstrem terhadap neraca dan posisi laba rugi bank (Jones et al, 2004).
IMF
telah melaksanakan pengujian ini pada September 2010 dengan skenario
kontraksi ekonomi sebesar 5%, kenaikan BI Rate 10%, dan depresiasi 50%.
Temuan yang diperoleh, di antaranya risiko kredit adalah ancaman
terbesar, dalam hal ini non performing loan (NPL) dapat melesat ke kisaran 31,5% dan 1/3 bank dalam sampel diprediksi harus melakukan rekapitalisasi—karena capital adequacy ratio (CAR) turun di bawah 8%.
Kerugian
portofolio perdagangan terjadi ketika bank memiliki eksposur yang
signifikan pada wilayah ekonomi bermasalah serta posisi devisa neto
(PDN) yang tidak netral. Permasalahan juga dapat timbul karena
transaksi-transaksi canggih (financial engineering). Yang terakhir ini lebih sulit terdeteksi karena otoritas harus melakukan investigasi terhadap buku bank.
Faktor
lain yang berpotensi menimbulkan masalah adalah likuiditas. Kebijakan
Bank Indonesia (BI) yang cenderung ekspansif—tercermin dari aturan giro
wajib minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan to deposit ratio (LDR)—telah memberikan hasil. LDR
telah meningkat dari 72,8% pada akhir 2009 menjadi 78,45% pada Mei
2011. Beberapa bank besar terlihat agresif mengejar target bebas penalti
(LDR=78%). Bank Mandiri, misalnya, mengalami peningkatan LDR yang tajam, dari 65,4% menjadi 76,3% pada periode Desember 2010 ke Juni 2011.
Dalam
kondisi likuiditas yang lebih ketat, dampak guncangan luar negeri akan
lebih kuat karena transmisi pasar uang. Bank-bank akan secara agresif
berburu dana yang berujung pada eksposur antarbank yang substansial dan
biaya dana (cost of fund) yang tinggi. Yang terakhir ini akan menyebabkan suku bunga kredit makin tinggi.
Situasi
yang lebih rumit terjadi ketika keputusan penutupan bank harus diambil
saat terjadi krisis. Sebagai suatu bisnis dengan modal cekak, perbedaan
antara situasi tidak likuid (illiquid) dan tidak sehat (insolvent) adalah tipis. Tak mudah membedakan kedua kondisi itu. Investigasi mendalam harus dilakukan.
Tentu
saja aktivitas ini membutuhkan waktu yang “memadai”—sesuatu yang
biasanya tidak tersedia dalam situasi krisis. Dengan demikian,
pengambilan keputusan bailout memang dapat dikatakan sebagai
suatu prosedur yang “cacat”, tapi harus ditempuh untuk mencegah dampak
yang jauh lebih besar lagi, yakni hilangnya kepercayaan masyarakat serta
kejatuhan perekonomian.
Dalam praktiknya, kebijakan bailout rawan akan moral hazard. Pemilik dan manajer bank memanfaatkan kesempatan ini untuk menyelamatkan diri sendiri. Akibatnya, biaya bailout sering berakhir sebagai beban negara dan jumlahnya sangat substansial. Bailout
(rekapitalisasi perbankan) Indonesia pada krisis 1998, misalnya,
mencapai lebih dari Rp600 triliun dan biayanya masih dicicil hingga saat
ini.
Melihat implikasi itu, jalan yang sebaiknya ditempuh adalah
pengawasan yang melekat dan berkesinambungan terhadap perbankan,
terutama mereka yang tergolong memiliki risiko sistemik. Sejalan dengan
semangat Basel III, penekanan perlu diberikan pada ketersediaan modal,
pengawasan yang efektif, dan transparansi informasi-disiplin pasar.
Sumber : Infobank