27 Februari 2011

BANK INDONESIA (BI)

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.

BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. 

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.

Sebagai Badan Hukum

Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia

Bank Asing Sudah ada Sejak Zaman Penajajahan VOC

Bank Indonesia (BI) sendiri merupakan kelahiran kembali De Javasche Bank yang berdiri pada zaman kolonial Belanda. De Javasche Bank dinasionalisasi pada 1951.

Sejarah masuknya investor asing ke industri perbankan nasional sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Bank-bank yang sudah beroperasi sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, di antaranya De Javasche NV, De post Paar Bank, De Algemevolks Crediet Bank, NederlandHandles Maatscappij (NHM), Nationale Handle Bank, dan De Escompto Bank NV.  Selain bank-bank tersebut, ada beberapa bank yang didirikan pribumi, Cina, dan Jepang. Bank-bank tersebut adalah Bank Nasional Indonesia, Bank Abuan Saudagar, NV Bank Boemi, The Charteredbank of India, The Yokohama Species Bank, The Matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank. 

Bank Indonesia (BI) sendiri merupakan kelahiran kembali De Javasche Bank yang berdiri pada zaman kolonial Belanda. De Javasche Bank dinasionalisasi pada 1951.

Dalam sejarah perbankan di Eropa, kegiatan perbankan awalnya hanya mencakup jasa penukaran uang. Seiring dengan kemajuan dan perubahan zaman, kegiatan perbankan terus berkembang dengan melakukan aktivitas penitipan uang dan sebagai tempat peminjaman uang.






23 Februari 2011

BI Terapkan “Kanalisasi Hot Money”

Lewat pengadaan SBI bertenor 9 bulan dan penerapan one month holding period, bersama dengan SUN dan pasar saham, diharapkan NI dapat memecah capital inflow ke berbagai instrumen yang lebih panjang untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pembalikan (sudden reversal) inflow. 

Upaya memecah derasnya aliran modal masuk (capital inflow), Bank Indonesia (BI) akan menerapkan “kanalisasi hot money”. Hal tersebut diungkapkan Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi A. Johansyah, kepada wartawan melalui surat elektronik di Jakarta, Kamis, 10 Februari 2011. “Salah satu istilah yang tepat untuk menggambarkan upaya BI terakhir yang hanya fokus pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka panjang yakni 9 bulan, adalah dalam upaya ‘kanalisasi hot money’,” tukasnya.

Ia menjelaskan, maksudnya kanalisasi disini adalah memecah derasnya capital inflows menjadi aliran-aliran kecil. Untuk itu dibutuhkan outlet untuk menampung aliran-aliran tersebut. Outlet-outlet tersebut antara lain, untuk dana portfolio, outlet tersebut sebagian besar masuk ke Surat Utang Negara (SUN), pasar saham dan pasar sekunder SBI. Dalam ketiga outlet ini aliran dana portfolio ini saling mensubstitusi tergantung alokasi portfolio dan return (yield) yang diharapkan.

“Ketiga outlet ini menyediakan supply instrumen yang dibutuhkan oleh investor yang hampir semuanya berjangka panjang dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder yang juga likuid,” tandas Difi.
Ia menambahkan, selama antar ketiga outlet ini saling substitusi (switching) maka tekanan terhadap nilai tukar akan minimal karena transaksi adalah antar rupiah. Tekanan baru terjadi kalau investor meninggalkan ketiga outlet tersebut dan konversi ke dolar dari rupiah.
Namun, sebelum terjadi tekanan ke dolar, potensi tekanan tersebut dapat dilihat BI dari akumulasi dan posisi dana asing di rekening vostro bank, yakni kewajiban jangka pendek bank terhadap asing yang tidak ada underlyingnya.

“Vostro menggambarkan dana asing yang ‘idle’ di  bank untuk menunggu ditempatkan di pasar uang dan modal. Disinilah letak fungsi pemantauan dan regulasi rekening vostro oleh BI dalam kaitan ‘kanalisasi hot money’,” terang Difi. Ia mengaku, lewat penyediaan SBI 9 bulan yang berjangka panjang secara efektif akan menyediakan SBI yang bisa diperdagangkan selama 8 bulan ke depan.

“Kenapa 8 bulan? Karena 9 bulan dikurangi 1 bulan one month holding period. Selanjutnya ketika investor tersebut membeli SBI yg ’8 bulan’ tersebut dia harus menunggu satu bulan untuk menjualnya kembali. Pada waktu dia jual kembali SBI-nya, maka SBI tersebut berumur ’7 bulan’ di pasar sekunder yakni 8 bulan dikurangi one month holding period. Demikian seterusnya sampai SBI tersebut jatuh waktu,” tuturnya.
Dengan demikian, di pasar sekunder ke depan tetap akan ada SBI yang jatuh waktunya bisa tinggal 1 bulan sampai 8 bulan.

De facto, akan ada SBI yang berjangka pendek di pasar sekunder yang bisa diambil oleh investor. Adanya likuiditas SBI dengan tenor yang berbeda beda ini merupakan outlet ataupun kanal bagi dana portfolio, bersama-sama SUN dan saham. Selama antar ketiganya bergerak dinamis sesuai equilibrium-nya maka tekanan ke rupiah melalui outflow akan minimal,” pungkas Difi.

21 Februari 2011

Moody's Menaikkan Peringkat Utang Indonesia menjadi Ba1

Pada tanggal 17 Januari 2011 lalu  Moody's Investors Service menaikkan Sovereign Credit Ratingnotch sebelum memasuki posisi rating investmet grade. Republik Indonesia menjadi Ba1/stable outlook, satu Rating upgrade yang juga merupakan peningkatan peringkat dari surat utang pemerintah dalam mata uang asing maupun domestik ini, dilakukan menyusul keputusan Moody's Desember lalu yang menempatkan Indonesia pada posisi 'review for possible upgrade'

Dalam siaran persnya pagi ini, Moody's menyatakan bahwa faktor kunci yang mendukung keputusan upgrade bagi sovereign credit rating Indonesia adalah (1) resiliensi perekonomian yang didukung oleh oleh berlanjutnya kondisi makroekonomi yang seimbang, (2) membaiknya posisi utang Pemerintah serta kecukupan cadangan devisa, dan (3) peningkatan prospek peningkatan arus masuk investasi langsung asing (FDI) yang akan memperkuat posisi eksternal sekaligus prospek perekonomian Indonesia. 

Perbaikan lebih lanjut pada ketiga faktor tersebut, menurut Aninda Mitra, Vice President Moody’s sekaligus analis utama untuk sovereign credit rating Indonesia, akan menjadi penentu bagi peningkatan rating selanjutnya. 

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A. Sarwono mengatakan bahwa upgrade sudah selayaknya bagi Indonesia yang hingga saat ini terbukti berhasil dan mampu menjaga stabilitas ekonomi makro sekaligus tingkat pertumbuhan ekonominya di level yang relatif tinggi di tengah berbagai tantangan perekonomian global maupun domestik. Upgrade ini juga semakin memperkuat keyakinan bahwa investment grade status sudah di depan mata. Selanjutnya, dukungan yang ditunjukkan oleh grafik pertumbuhan yang terus menguat dengan kontribusi investasi yang meningkat secara signifikan disertai menguatnya fundamental ekonomi, di samping menguatnya reformasi struktural untuk mendukung pertumbuhan lebih lanjut, diharapkan mampu memberikan momentum positif bagi tercapainya kategori sovereign rating investment grade dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

19 Februari 2011

Arah Kebijakan Bank Indonesia Tahun 2011

Indonesia  telah melewati masa krisis global 2008/2009 dan boleh dikatakan ekonomi Indonesia selama 2010-2011 berada dalam tahapan transformasi dari pemulihan menuju pertumbuhan yang berkesinambungan melalui penguatan stabilitas.

Sebagai first line of defense, Bank Indonesia senantiasa mengedepankan pengelolaan kebijakan moneter dan perbankan secara berhati-hati (prudent) dan konsisten. Respon kebijakan Bank Indonesia yang telah ditempuh selama 2010 dalam rangka menjaga stabilitas makro dan sistem keuangan. Sebagaimana tema yang diusung pada kesempatan ini, dengan memperkuat stabilitas diharapkan akan menopang proses transformasi ekonomi Indonesia paska krisis global menjadi ekonomi yang tumbuh berkelanjutan (sustainable). 

Kebijakan Bank Indonesia selama tahun 2011 akan berbentuk penguatan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial sebagaimana yang telah ditempuh selama tahun 2010. Penguatan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh instrumen yang tersedia untuk kemudian dikalibrasi secara optimal. Instrumen-instrumen dimaksud meliputi:
  1. Kebijakan suku bunga (BI rate) diarahkan agar tetap konsisten terhadap pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan, yaitu 5%±1% dan 4,5%±1% pada tahun 2011 dan 2012, dengan mewaspadai risiko tekanan inflasi yang akan meningkat ke depan.
  2. Kebijakan nilai tukar diarahkan untuk membantu pencapaian sasaran inflasi, dengan tetap konsisten pada pencapaian sasaran makroekonomi lain, serta memberikan kepastian bagi dunia usaha. Solusi possible trinity akan berbentuk konfigurasi optimal dari stabilisasi nilai tukar, pengendalian arus modal, dan respon suku bunga. Dengan kata lain, mempertimbangkan berbagai kompleksitas yang dihadapi, Bank Indonesia mensiasati kerangka impossible trinity melalui pemilihan middle ground solution, bukan corner solution.
  3. Operasi moneter dan kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas domestik diarahkan agar konsisten dan mendukung kebijakan suku bunga dalam pencapaian sasaran inflasi dan pengendalian permintaan domestik.
  4. Kebijakan makroprudensial lalu lintas modal diarahkan untuk mendukung kebijakan nilai tukar, dengan tidak menimbulkan dampak terhadap likuiditas domestik secara berlebihan. Dua dari paket kebijakan yang diterbitkan pada Desember 2010 lalu yaitu kenaikkan giro wajib minimum (GWM) valas dan penerapan kembali batas posisi saldo harian pinjaman luar negeri (PLN) bank jangka pendek, merupakan instrumen makroprudensial yang juga terkait dengan pengelolaan arus modal. Di tengah derasnya modal masuk, kenaikan GWM valas akan memperkuat managemen likuiditas perbankan. Sementara itu, pembatasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri bank jangka pendek, akan memperkuat prinsip kehati-hatian dalam mengelola pinjaman luar negeri bank jangka pendek.
Perumusan dan implementasi bauran kebijakan tersebut sangat penting mempertimbangkan keterkaitan stabilitas moneter dan stabilitas keuangan. Bank Indonesia juga akan terus melakukan kalibrasi agar bauran kebijakan yang diambil tetap memberikan hasil optimal antara stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. 

ARAH KEBIJAKAN BANK INDONESIA
 
Meningkatnya kegiatan ekonomi tahun 2010 ditopang oleh ketahanan dan kinerja sektor perbankan yang positif, tercermin dari terjaganya stabilitas. Financial Stability Index yang mencapai sebesar 1,75 atau jauh lebih rendah dibandingkan pada saat krisis 2007/2008 sebesar 2,43. Fungsi intermediasi juga meningkat meski masih ada peluang untuk lebih tumbuh, risiko kredit masih terjaga (NPL dibawah 5%), permodalan yang memadai (CAR mencapai 16%). 

Sebagaimana diketahui Bank Indonesia telah mengeluarkan Paket Kebijakan Desember 2010 dengan sasaran utamanya adalah untuk memperkokoh stabilitas makroekonomi dan meningkatkan intermediasi dan ketahanan perbankan, yaitu:
  1. Kebijakan untuk meningkatkan intermediasi perbankan yang dilakukan guna menjamin ketersediaan pasokan melalui pendalaman pasar, mendorong biaya pinjaman yang lebih efisien, melonggarkan bobot risiko untuk kredit ritel dan KMK serta upaya mengurangi asymmetric information dengan penyediaan data informasi kredit yang lebih akurat dan lengkap. Untuk lebih mendorong keluasan jangkauan dan kedalaman intermediasi, dilakukan upaya-upaya besar melalui program perluasan akses kepada lembaga keuangan (financial inclusion) dan program BPD Regional Champion.
  2. Kebijakan untuk meningkatkan ketahanan bank yang dimaksudkan untuk lebih mendukung pertumbuhan bank, daya saing dan kemampuan dalam menyerap risiko. Untuk mencapainya akan dilakukan penguatan melalui penyempurnaan aturan terkait dengan fit and proper test, peningkatan fungsi kepatuhan bank umum, aktiva tertimbang menurut risiko, dan manajemen risiko terkait kerjasama bisnis Bancassurance.
  3. Kebijakan untuk penguatan kelembagaan, daya saing dan ketahanan bank perkreditan rakyat dan bank syariah yang ditujukan untuk membangun kesetaraan playing field dengan bank konvensional. Upaya ini akan didukung penyempurnaan aturan yang terkait penilaian kualitas aktiva produktif, restrukturisasi pembiayaan bank dan unit syariah, batas maksimum pembiayaan dana BPR syariah, dan perubahan perizinan bank umum menjadi bank syariah.
  4. Kebijakan untuk meningkatkan efektivitas fungsi pengawasan bank yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi detektif early warning system dan penerapan macroprudential supervision. Untuk mencapainya dilakukan penyempurnaan aturan-aturan terkait dengan sistem pengawasan bank berdasarkan risiko, penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank (exit policy) dan penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan risiko.
Arah kebijakan ke depan difokuskan pada upaya untuk mentransformasikan kondisi perekonomian dan perbankan paska krisis saat ini, menuju pertumbuhan yang berkesinambungan, melalui:
  1. Pemanfaatan pasokan devisa yang berkesinambungan untuk menutupi kebutuhan impor dan kebutuhan pembiayaan, disamping dapat digunakan untuk memperdalam pasar keuangan serta menopang stabilitas makro, utamanya nilai tukar.
  2. Peningkatan permodalan dan kelembagaan serta daya saing perbankan nasional dengan mempercepat proses konsolidasi untuk menyongsong penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
  3. Mendorong pertumbuhan yang produktif dan meningkatkan efisiensi dengan mendorong NIM perbankan ke arah yang lebih rendah, efisien, dan kondusif bagi dunia usaha, termasuk sektor UMKM.
  4. Partisipatif dalam meningkatkan akses dan keterhubungan masyarakat dengan jasa keuangan maupun lembaga perbankan.
  5. Pengembangan Sistem Pembayaran yang diupayakan agar lebih efisien, handal, mudah, dan aman dilakukan dengan menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur, pengembangan sistem, dan penguatan aturan hukum. Upaya pengembangan di bidang Sistem Pembayaran tersebut juga terkait dalam rangka mendorong financial inclusion.
  6. Arah implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dilakukan dengan mendudukkan berbagai jenis bank pada posisi yang tepat, sesuai dengan alasan keberadaannya masing-masing agar satu sama lain dapat saling bersinergi dan mempertimbangkan roadmap API berdasarkan best practice perbankan.
  7. Mempertimbangkan potensi demografis Indonesia dan relatif masih rendahnya akses keuangan masyarakat, Bank Indonesia bersama pemerintah sedang merumuskan strategi nasional keuangan inklusif.
  8. Penguatan tata kelola untuk mencegah pengambilan risiko secara berlebihan bagi eksekutif yang berpotensi memunculkan moral hazard.

18 Februari 2011

Gaji Bankir dan Gaji Presiden

Pernyataan presiden tentang gaji yang ngak pernah naik seharusnya wajar dan tidak perlu dipolitisasi. Jika naik pun tidak harus diperbandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk. Juga, tidak perlu menyamakan gaji presiden Rp62,497 juta plus Rp2 miliar dana operasional setahun–dengan gaji seorang bankir atau gaji seorang Gubernur Bank Indonesia yang tahun 2009 sebesar Rp248 juta dan Rp265 juta di 2010.

Pembicaraan mengenai gaji masih terasa hangat. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa gajinya tidak naik selama tujuh tahun yang kemudian dipelintir oleh lawan-lawan politiknya, soal gaji pun menjadi terasa hangat.

Tidak sampai sepekan, suara mengenai gaji juga dikemukan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam sebuah acara Banker’s Dinner di BI. Menurut pihak “Kebon Sirih”, gaji bankir jangan terlewat tinggi karena menyangkut risiko bank ke depan yang perlu dipertimbangkan.

Alasan lain, gaji bankir tidak boleh menjadi beban rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) yang terlalu tinggi karena BO/PO bank harus turun. Celah penurunan BO/PO masih bisa dilirik dari penekanan gaji bankirnya. Apalagi, dari tahun ke tahun soal remunerasi buat para bankir sulit dikendalikan. Bahkan, menurut laporan Infobank beberapa waktu lalu, ada seorang bankir yang remunerasinya setara dengan Rp2 miliar sebulan.

Adu besar-besaran gaji mulai terasa sejak terjadi asingisasi perbankan pada 2000 atau sejak terjadi divestasi bank-bank rekap. Para bankir asing masuk ke bank-bank swasta dengan gaji yang besar, lalu diikuti dengan bankir-bankir badan usaha milik negara (BUMN). Pemberian remunerasi kepada para bankir yang dilakukan bank-bank di Indonesia tidak mempunyai pola yang jelas. Seperti dilaporkan Infobank, tidak ada korelasi antara net interest margin (NIM) tinggi dan gaji bankir. Tidak ada hubungan antara laba besar dan gaji tinggi. Juga, tidak ada korelasi yang segaris antara laba atau NIM dengan gaji karyawan.

Pemberian gaji murni wilayah pemilik dan tidak menggunakan ukuran-ukuran NIM. Bahkan, antar satu direksi dengan direksi lainnya juga berbeda. Semua tergantung pemilik, apakah itu besar atau kecil. Semua relatif dan tergantung cara memandangnya. Bahkan, renumerasi yang besar juga  terjadi di kalangan bankir-bankir BPD yang mulai menerapkan asas korporasi.

Tidak ada yang dilanggar mengenai gaji para bankir. Sebab, bank-bank adalah korporasi dan bukan birokrasi atau memakai anggaran negara. Semua dilakukan menggunakan asas korporasi. Tidak memakai uang negara atau uang dari Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN). Semua tergantung dari pemilik. Namun, memang, yang perlu dipertimbangkan adalah perbedaan gaji antar-karyawan bank tertinggi dengan karyawan bank terendah dinilai sudah mengkawatirkan dan menimbulkan kerawanan serta ketenangan kerja.

Kondisi makin rawan karena terjadi perbedaan itu antar-karyawan asing dan lokal yang tidak membutuhkan keahlian yang lebih. Perbedaan gaji yang melebihi 100 kali, bahkan mencapai 171 kali ini perlu mendapatkan perhatian dari Bank Indonesia, karena bisa memicu keresahan di kalangan organisasi bank. Dalam kaitan itu, BI seharusnya mengatur perbedaan antara gaji tertinggi dan terendah karyawan bank karena berpotensi terjadi bencana sosial. Sementara besaran gaji para bankir sudah seharunys tergantung mekanisme korporasi, dan tidak perlu diperbandingkan dengan renumerasi presiden, anggota DPR atau seorang Bupati. Sebab, para bankir BPD yang bergaji besar juga sedang dicerca oleh para pemagang saham yang nota bene para Bupati dan para pengawasanya, yaitu anggota DPRD setempat.

Logika politiknya sudah seharusnya pemilik harus lebih besar dibandingkan pegawainya. Namun logika yang dipakai setiap RUPS BPD itu salah alamat. Pemilik haknya adalah deviden sementara bankirnya adalah renumerasi. Mekanismenya adalah RUPS dan korporasi. Hal inilah yang perlu dipahami para Bupati dan anggota DPRD. Juga, anggota DPR yang selalu membandingkan gaji para direksi BUMN, dan terutama dengan bankir pelat merah dengan seorang menteri.

Sudah waktunya kita memisahkan jalur politik dengan jalur korporasi. Tidak bisa dicampur adukan. Sebab, kalau hal ini dicampur adukan maka akan sulit membedakan mana bisnis dan mana pemerintahan dan pengawasan. Bahkan, pemilihannya pun lewat mekanisme RUPS dan bukan pemilihan berdasarkan suara terbanyak.

Pernyataan presiden SBY tentang gaji yang ngak pernah naik pun seharusnya wajar dan tidak perlu dipolitisasi. Jika naik pun tidak harus diperbandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk Indonesia.
Juga, tidak perlu menyamakan gaji presiden Rp62,497 juta plus Rp2 miliar dana operasional setahun–dengan gaji seorang bankir atau gaji seorang Gubernur Bank Indonesia yang tahun 2009 sebesar Rp248 juta dan Rp265 juta di tahun 2010. Kenaikan gaji setiap tahun adalah wajar. Tidak perlu dipolitisasi dengan jurus mabuk. Hanya masalahnya, kenaikan gaji berdasarkan kenaikan index hidup dilakukan bersamaan dengan himbauan Kebon Sirih agar tidak memberi gaji terlalu besar buat para bankir.

Gaji bankir adalah urusan korporasi, gaji karyawan BI dan jajaran deputy gubernur lewat mekanisme anggaran BI–yang notabene uang negara. Jadi, sebenarnya sungguh wajar kalau gaji naik, dan sungguh wajar gaji bankir besar. Sungguh normal gaji presiden naik sesuai dengan indek hidup. Jadi, tidak perlu meributkan gaji. 
 
Eko B. Supriyanto (INFO BANK)

Loyalitas Karyawan Dulu, Baru Loyalitas Nasabah

Soul of services muncul jika karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa. 

Saat ini kualitas pelayanan terhadap nasabah bukan lagi faktor diferensiasi antara satu bank dan bank lainnya. Hampir semua bank, setidaknya the top 15, termasuk bank asing, menyediakan standar pelayanan yang hampir sama.

Sudah susah membedakan apakah suatu bank dikategorikan lokal, badan usaha milik negara (BUMN), atau asing dilihat dari sisi kualitas pelayanan yang diberikan. Dari sikap petugas satuan pengamanan (satpam) hingga petugas kebersihan toilet rupanya hampir sama. Kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda. 

Pada 1980-an bank asing memimpin inisiatif dalam memberikan kualitas pelayanan prima. Citibank, Standard Chartered (Stanchart), dan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) terkenal dengan kualitas pelayanannya yang khas.

Pada 1990 dan 2000-an bank lokal di bawah komando Bank Niaga dan PermataBank leading dalam penyediaan kualitas pelayanan yang lebih baik. 

Tahun-tahun terakhir ini malah bank pemerintah, seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), nangkring di posisi puncak dalam kualitas pelayanan. Sesuatu yang dulu tidak pernah terbayangkan.

Dalam satu dekade terakhir ini bank-bank telah berbenah dalam kualitas pelayanan dengan sangat baik. Penampilan dan kualitas pelayanan bank di Indonesia jelas lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga.

Malaysia tidak memiliki kebiasaan kualitas pelayanan yang baik di industri perbankannya. Negara ini jauh tertinggal dari Indonesia. Kualitas pelayanan bank di Indonesia juga tidak lebih jelek dibandingkan dengan bank yang beroperasi di Singapura dan Hong Kong.

Fisik cabang dan area pelayanan bank di Indonesia tertata dan didesain dengan cita rasa artistik. Lihat saja sistem antreannya yang baik; penataan dan kebersihan toilet-nya yang terjaga plus para customer facing staff-nya yang manis, rapi, muda, dan ramah; teknologi perbankannya yang friendly; cabang dan automatic teller machine (ATM)-nya yang banyak; call center-nya dengan standar yang baik; dan seterusnya.

Satpam tidak hanya bertugas sebagai security, tapi juga sebagai agen dan navigator dalam pemberian pelayanan. Mereka membukakan pintu bank untuk nasabah, tersenyum, mengucapkan salam selamat datang, dan memberikan petunjuk bagi nasabah yang akan bertransaksi. Sekali-sekali menerangkan produk bank, jika diperlukan. 

Itulah standar tampak depan kualitas pelayanan bank di Indonesia. Bukan hanya bank besar, bukan hanya bank asing. Hampir semua bank memiliki standar yang lebih kurang sama.

Bahkan, termasuk Bank Central Asia (BCA), yang sudah mapan sebagai bank transaksi dan hampir semua nasabah bank adalah nasabah BCA dan dulunya tidak tertarik dengan usaha perbaikan kualitas pelayanan, tahun-tahun belakangan juga telah berbenah secara signifikan dan memperoleh peringkat yang baik dalam standar pelayanan nasabah.

Karena itu, kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda, melainkan sudah menjadi komoditas. Standar kualitas pelayanan antarbank boleh dibilang hampir sama. Artinya apa? Nasabah memilih bank bukan lagi berdasarkan kualitas pelayanannya. Toh, hampir semua bank menawarkan standar yang sama.

Kalau semua standar dalam pelayanan sudah sama, apa kiranya yang menjadi pembeda kualitas pelayanan yang diberikan satu bank dibandingkan dengan bank lainnya? Kenapa bank yang mendapatkan peringkat hampir sama dalam penyediaan kualitas pelayanan berdasarkan survei pihak ketiga memiliki loyalitas nasabah yang berbeda? 

Yang membedakan adalah “jiwa”-nya, spirit dalam melayani. Atmosfer kejujuran dalam mengutamakan nasabah. Kalau tersenyum, apakah tersenyum dari lubuk hati yang paling dalam atau hanya mengikuti standar mulut dibuka sedikit sambil mengucapkan greeting.

Kalau menjelaskan produk kepada nasabah, apakah dengan niat supaya nasabah benar-benar mengerti dan seakan-akan menjelaskan produk dari perusahaan miliknya sendiri atau hanya sekadar melaksanakan tugas dan membacakan brosur.

Kalau nasabah komplain dan marah-marah, apakah dengan jiwa yang terbuka memahami persoalannya dan kemudian menawarkan solusi yang win-win. Apakah pelayanan dan bantuan bagi nasabah diberikan dengan sepenuh jiwa dan perasaan senang atau tidak.

Faktor spirit dalam melayani inilah yang menjadi faktor pembeda. Ada "jiwa" dalam standar dan arsitektur melayani. Melayani bukan hanya pelaksanaan dari standard operating procedure (SOP) dalam kualitas pelayanan yang dibuat oleh divisi di kantor pusat. Nasabah merasakan itu.

Nasabah sebagai manusia yang memiliki sense dan sensitivity memahami apakah pelayanan itu diberikan dengan tulus dan sungguh-sungguh atau hanya sekadar menerapkan SOP. Loyalitas nasabah terhadap suatu bank akan tercipta kalau mereka merasakan ketulusan itu.

Jadi, tidak ada hubungan langsung antara kualitas pelayanan yang diberikan dan loyalitas nasabah di suatu bank. Kecuali, pelayanan yang diberikan berisi spirit dan jiwa yang ikhlas dalam mengerjakannya. 

Nasabah akan loyal terhadap suatu bank kalau mereka mendapati standar pelayanan yang tinggi dan dengan cita rasa yang khusus disertai dengan keikhlasan dan kejujuran karyawan dalam menyediakan pelayanan tersebut. Pelayanan yang baik disertai dengan "jiwa melayani" akan menciptakan nasabah yang loyal. 

Menemukan atau menciptakan "jiwa" dalam melayani tidak cukup dengan pengadaan standar dalam kualitas pelayanan. "Jiwa" itu tidak bisa diciptakan oleh arsitektur dan standar pelayanan saja, tidak bisa ditimbulkan oleh imbauan dari manajemen, tidak cukup dijadikan visi dan target perusahaan yang ditempel di dinding-dinding. 

"Jiwa" dalam melayani—soul of services—itu diciptakan dan timbul dengan sendirinya dari karyawan yang memberikan pelayanan tersebut. "Jiwa" itu ada begitu saja. Tidak bisa direkayasa.

"Jiwa" itu muncul kalau karyawan ikhlas dan jujur dalam melayani. Karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Mereka melakukannya dengan gembira dan tidak merasakan itu sebagai tuntutan. 

"Jiwa" itu datang begitu saja kalau karyawan merasa bagian dari perusahaan. Akan muncul seketika kalau karyawan merasa perusahaan adalah rumahnya sendiri. Seakan-akan bank itu adalah perusahaan miliknya sendiri. 

"Jiwa" itu muncul di lingkungan tempat karyawan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan merasakan keterikatan emosional yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan bekerja bukan karena terpaksa dan bukan semata-mata karena imbalan gaji dan benefit.

Loyalitas muncul karena karyawan diberikan tantangan dalam pekerjaan sekaligus diberikan perhatian-perhatian yang manusiawi. Karyawan diberikan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.

Karyawan diberikan pekerjaan yang berarti sehingga mereka dapat mengaktualisasikan diri. Karyawan diberikan target-target yang cukup menantang, tidak gampang untuk dikerjakan, tapi juga masih possible untuk dicapai.

Loyalitas tumbuh karena karyawan diberikan perhatian. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai robot dan mesin, tapi juga diperlakukan layaknya manusia (di-wong-ke), ditanya pendapatnya, diajak berdiskusi, diberikan empowerment, juga disentuh dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti membantunya dalam keadaan susah atau malang.

Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa, untuk benar-benar memberikan isi dan spirit bagi standar pelayanan, yang pada ujungnya menciptakan nasabah-nasabah yang loyal dan tidak gampang berpindah ke bank lain. 

Mantra ini yang sekarang banyak dilupakan. Seakan-akan semuanya beres dengan penciptaan standar pelayanan dan gaji tinggi. Memang benar akan tercipta standar pelayanan yang baik. Namun, standar pelayanan yang hanya sebagai komoditas, yang tidak berjiwa, yang tidak bisa menjadi pembeda standar pelayanan dengan kompetitornya. 

Bank yang memikirkan dan mengupayakan untuk memiliki standar kualitas pelayanan mungkin akan mendapatkan ranking yang baik berdasarkan customer service survey yang dilakukan pihak ketiga. Akan tetapi, bank itu belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal karena standar pelayanan nasabah yang dimilikinya hanya sebagai komoditas, bukan sebagai competitive advantage.

Bank yang mengutamakan nasabahnya belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal. Akan tetapi, bank yang mengutamakan karyawannya akan mendapatkan karyawan yang loyal sekaligus nasabah yang loyal, yang tidak gampang berpindah-pindah bank.

Bank harus menciptakan upaya-upaya untuk meningkatkan semangat, komitmen, dan loyalitas karyawan agar kelak bisa memperoleh kualitas pelayanan yang sustainable dan nasabah yang loyal.

Karena itu, don’t bother on your quality of services and customer loyalty. Just take care your staff, and your staff will take care the customer.

Oleh : Awaldi  (Praktisi sumber daya manusia (SDM) bank) / INFOBANK

17 Februari 2011

Tinjauan Kebijakan Moneter Februari 2011

Prospek ekonomi dunia yang membaik mendukung kinerja ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan semula yang didukung oleh membaiknya ekonomi negara maju, sementara ekonomi negara berkembang khususnya emerging market masih tumbuh tinggi. Kecenderungan ini memperkuat keyakinan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 2010 dapat tumbuh sekitar 6% dan terus membaik sehingga pada akhir tahun 2011 diperkirakan mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2011 diperkirakan dapat mencapai 6,4%, ditopang oleh masih kuatnya permintaan domestik dan  membaiknya sisi ekstenal. Kinerja ekspor masih cukup tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Sementara itu, impor juga meningkat terutama impor barang modal yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kapasitas perekonomian. Dengan perkembangan tersebut, transaksi berjalan pada triwulan I 2011 diperkirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar. Transaksi modal dan finansial (TMF) diperkirakan juga masih mencatat surplus cukup besar, terutama didukung oleh kuatnya aliran modal masuk investasi langsung (PMA). Sementara itu, portofolio investasi asing pada SUN, saham, dan SBI yang sempat mendapat tekanan arus modal keluar pada Minggu II dan III Januari karena sentimen terhadap risiko tekanan inflasi dan penguatan dolar AS telah mereda pada Minggu IV Januari. Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran  Indonesia (NPI) pada triwulan I 2011 diperkirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar. Posisi cadangan devisa pada 31 Januari 2011 tercatat sebesar 95,3 miliar dolar AS atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

Nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan sebagai akibat aliran modal keluar. Rupiah mengalami pelemahan disertai volatilitas yang sedikit meningkat, dipicu antara lain oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap meningkatnya tekanan inflasi di dalam negeri. Nilai tukar rupiah pada Januari 2011 melemah rata-rata 0,1% menjadi  Rp9.034 per dolar AS. Bank Indonesia meyakini bahwa aliran keluar modal asing dan pelemahan rupiah tersebut lebih bersifat temporer karena faktor fundamental ekonomi Indonesia yang tetap kuat, sebagaimana penilaian lembaga Rating Moody’s yang menaikkan Sovereign Credit Rating Indonesia menjadi Ba1 dengan outlook stabil.  Selain itu, kebijakan Bank Indonesia melalui stabilisasi nilai tukar juga mendorong cepat pulihnya kestabilan nilai tukar rupiah.

Ekspektasi inflasi mulai meningkat. Inflasi IHK pada Januari  2011 mencapai 0,89% (mtm) atau 7,02% (yoy). Tingginya inflasi terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok volatile foods yang mencapai 18,25% (yoy) karena berlanjutnya gangguan produksi dan distribusi bahan pangan, khususnya beras dan bumbu-bumbuan. Sementara itu, kelompok administered prices menunjukan inflasi yang moderat sebesar 5,21% (yoy) dan inflasi inti relatif terkendali pada tingkat yang cukup rendah yakni sebesar 4,18% (yoy). Meskipun demikian, ekspektasi inflasi cenderung mulai meningkat sebagaimana tercermin pada berbagai indikator ekspektasi inflasi seperti survei ekspektasi konsumen, survei produsen, dan harga aset finansial. Di samping dipicu oleh kenaikan harga volatile foods yang masih tinggi, meningkatnya ekspektasi inflasi juga didorong oleh kenaikan harga komoditas  global dan rencana kebijakan Pemerintah khususnya pembatasan subsidi BBM.  Bank Indonesia menilai bahwa meningkatnya ekspektasi inflasi tersebut perlu direspons secara tepat agar tidak menimbulkan tekanan inflasi ke depan.

Kinerja pasar keuangan domestik juga mengalami tekanan akibat kekhawatiran investor khususnya asing terhadap meningkatnya inflasi. Tekanan pasar keuangan terjadi baik di pasar uang, saham maupun SBN. Pasar saham mengalami koreksi yang cukup dalam sebagaimana dicerminkan dari IHSG yang menurun sekitar 7,9%. Namun, penurunan bursa saham juga dialami negara-negara lain di kawasan seperti China, India dan Filipina.  Kondisi ini juga berimbas pada pasar SBN yang ditunjukkan oleh kenaikan yield yang terjadi secara signifikan. Dari sisi transmisi kebijakan moneter, suku bunga perbankan masih terus mengalami penurunan meskipun terbatas dengan spread yang cenderung menurun. Sementara itu, suku bunga PUAB O/N mulai meningkat mendekati level BI Rate. Hal tersebut sejalan dengan optimalisasi instrumen kebijakan yang dilakukan untuk memperkuat efektifitas kebijakan moneter. 
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Industri perbankan tetap solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat yang pada tahun 2010 mencapai 22,8% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit termasuk kredit kepada UMKM. 

Berdasarkan asesmen terkini dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 Februari 2011 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25% menjadi 6,75%.  Keputusan tersebut diambil sebagai langkah antisipatif untuk mengendalikan ekspektasi inflasi ke depan yang mulai meningkat. Peningkatan ekspektasi inflasi terutama dipicu oleh kenaikan harga volatile foods yang masih tinggi, di samping kenaikan harga komoditas global termasuk minyak, serta rencana kebijakan Pemerintah di bidang komoditas strategis. Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan inflasi ke depan dan memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah yang sesuai dengan upaya mengurangi tekanan inflasi ke depan, serta  kebijakan makroprudensial untuk pengendalian likuiditas yang telah ditempuh sejak tahun 2010 yang lalu. Melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta langkah-langkah Pemerintah untuk mengatasi tingginya harga komoditas pangan, inflasi diperkirakan dapat dijaga pada sasarannya yakni 5% ±1% untuk 2011 dan 4,5% ± 1% di 2012.

15 Februari 2011

BI Rate ditetapkan naik 25 bps menjadi 6,75%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 Februari 2011 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25% menjadi 6,75%. Keputusan tersebut diambil sebagai langkah antisipatif untuk mengendalikan ekspektasi inflasi ke depan yang mulai meningkat. Peningkatan ekspektasi inflasi terutama dipicu oleh kenaikan harga volatile foods yang masih tinggi, di samping karena kenaikan harga komoditi global termasuk minyak dan rencana kebijakan Pemerintah di bidang komoditi strategis. Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan inflasi ke depan, dan memperkuat kebijakan nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan upaya mengurangi tekanan inflasi ke depan, serta kebijakan makroprudensial untuk pengendalian likuiditas yang telah ditempuh sejak tahun 2010 yang lalu. Melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta langkah-langkah Pemerintah untuk mengatasi tingginya harga komoditi pangan, Dewan Gubernur meyakini inflasi dapat dijaga pada sasarannya yakni 5% ±1% untuk 2011 dan 4,5% ± 1% di 2012

Prospek ekonomi dunia terus membaik dan diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan semula. Kecenderungan ini memperkuat keyakinan Dewan Gubernur terhadap prospek perekonomian Indonesia sehingga diperkirakan mencapai kisaran 6,0%-6,5% pada tahun 2011

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2011 diperkirakan dapat mencapai 6,4%, ditopang oleh masih kuatnya permintaan domestik dan membaiknya sisi eksternal. Kinerja ekspor masih cukup tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Sementara itu, impor juga meningkat terutama impor barang modal yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kapasitas perekonomian. Dengan perkembangan tersebut, transaksi berjalan pada triwulan I-2011 diperkirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar. Transaksi modal dan finansial (TMF) juga diperkirakan mencatat surplus besar, terutama didukung oleh kuatnya aliran modal masuk investasi langsung (PMA). Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2011 diperkirakan masih akan mencatat surplus yang besar. Posisi cadangan devisa pada 31 Januari 2011 tercatat sebesar USD95,3 miliar atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. 

Nilai tukar Rupiah sempat mengalami tekanan sebagai akibat aliran modal keluar. Rupiah mengalami pelemahan disertai volatilitas yang sedikit meningkat, dipicu antara lain oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap meningkatnya tekanan inflasi. Nilai tukar Rupiah pada bulan Januari 2011 melemah rata-rata 0,1% menjadi Rp9.034 per USD. Dewan Gubernur meyakini bahwa aliran keluar modal asing dan pelemahan Rupiah tersebut lebih bersifat temporer karena faktor fundamental ekonomi Indonesia yang tetap kuat, sebagaimana penilaian lembaga Rating Moody’s yang menaikkan Sovereign Credit Rating Indonesia menjadi Ba1 dengan outlook stabil. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia melalui stabilisasi nilai tukar juga mendorong cepat pulihnya kestabilan nilai tukar Rupiah. 

Dewan Gubernur mewaspadai ekspektasi inflasi yang mulai meningkat. Inflasi IHK pada Januari 2011 mencapai 0,89% (mtm) atau 7,02% (yoy). Tingginya inflasi terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok volatile foods yang mencapai 18,25% (yoy) karena berlanjutnya gangguan produksi dan distribusi bahan pangan, khususnya beras dan bumbu-bumbuan. Sementara itu, kelompok administered prices menunjukan inflasi yang moderat sebesar 5,21% (yoy) dan inflasi inti relatif terkendali pada tingkat yang cukup rendah yakni sebesar 4,18% (yoy). Meskipun demikian, ekspektasi inflasi cenderung mulai meningkat sebagaimana tercermin pada indikator ekspektasi inflasi dari Survei Ekspektasi Konsumen, Survei Produsen, dan harga aset finansial. Disamping dipicu oleh kenaikan harga volatile foods yang masih tinggi, meningkatnya ekspektasi inflasi juga di dorong oleh kenaikan harga komoditi global dan rencana kebijakan Pemerintah khususnya pengurangan subsidi BBM. Dewan Gubernur berpandangan meningkatnya ekspektasi inflasi tersebut perlu direspon secara tepat agar tidak menimbulkan tekanan inflasi ke depan. 

Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Industri perbankan semakin solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat yang pada tahun 2010 mencapai 22,8% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit termasuk kredit kepada UMKM. 

Dewan Gubernur memandang pentingnya upaya memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Menghadapi risiko tekanan inflasi ke depan yang diperkirakan masih bersumber dari gangguan produksi dan permasalahan distribusi komoditi pangan dan energi, pengendalian kestabilan harga akan terus dilakukan dengan dukungan kebijakan Pemerintah melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat Pusat maupun Daerah (TPID).