Cerita Tukang Bakso
Nih cerita 2 tahun yang lewat sewaktu di kota Bagansiapiapi. Di suatu senja sepulang kantor, kebetulan ada bakso didepan kantor, kebetulan hujan rintik-rintik dan numpang berteduh sembari hujan reda. Dingin-dingin asyiknya makan yang hangat. Kebetulan kami bertiga nih,ku sama dua orang sahabat. Kami dengan sangat lahap menikmati bakso sekalian ngobrol-ngobrol masalah kerja dan juga ngomongin agama, maklum teman yang satu nih dipanggil ustadz. Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. Dan bertanya pinten mas (pakai bahasa Jawa)
Ada satu hal yang menggelitik pikiranku selama itu ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku.
"Mas kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Mas pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?"
"Iya dek, Saya sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 4 tahun. Tujuannya sederhana saja, Saya hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Saya, mana yang menjadi hak Orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita - cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. .?",saya melanjutkan bertanya.
"Iya Dek, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Saya membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1.) Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Saya dan keluarga. 2.) Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 4 tahun menjadi
tukang bakso, Saya selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja. 3.) Uang yang masuk ke kaleng kue, karena Saya ingin menyempurnakan agama yang Saya pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Saya berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 4tahun menabung, dalam waktu dekat lagi Saya dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si Mas tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki pikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki. Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".
Iya menjawab, " Itulah sebabnya Dek. Saya justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau
kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso". Semoga memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita. Amin....
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.