Soul of services muncul jika karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa.
Saat ini kualitas pelayanan terhadap nasabah bukan lagi faktor diferensiasi antara satu bank dan bank lainnya. Hampir semua bank, setidaknya the top 15, termasuk bank asing, menyediakan standar pelayanan yang hampir sama.
Sudah susah membedakan apakah suatu bank dikategorikan lokal, badan usaha milik negara (BUMN), atau asing dilihat dari sisi kualitas pelayanan yang diberikan. Dari sikap petugas satuan pengamanan (satpam) hingga petugas kebersihan toilet rupanya hampir sama. Kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda.
Pada 1980-an bank asing memimpin inisiatif dalam memberikan kualitas pelayanan prima. Citibank, Standard Chartered (Stanchart), dan Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) terkenal dengan kualitas pelayanannya yang khas.
Pada 1990 dan 2000-an bank lokal di bawah komando Bank Niaga dan PermataBank leading dalam penyediaan kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tahun-tahun terakhir ini malah bank pemerintah, seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), nangkring di posisi puncak dalam kualitas pelayanan. Sesuatu yang dulu tidak pernah terbayangkan.
Dalam satu dekade terakhir ini bank-bank telah berbenah dalam kualitas pelayanan dengan sangat baik. Penampilan dan kualitas pelayanan bank di Indonesia jelas lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga.
Malaysia tidak memiliki kebiasaan kualitas pelayanan yang baik di industri perbankannya. Negara ini jauh tertinggal dari Indonesia. Kualitas pelayanan bank di Indonesia juga tidak lebih jelek dibandingkan dengan bank yang beroperasi di Singapura dan Hong Kong.
Fisik cabang dan area pelayanan bank di Indonesia tertata dan didesain dengan cita rasa artistik. Lihat saja sistem antreannya yang baik; penataan dan kebersihan toilet-nya yang terjaga plus para customer facing staff-nya yang manis, rapi, muda, dan ramah; teknologi perbankannya yang friendly; cabang dan automatic teller machine (ATM)-nya yang banyak; call center-nya dengan standar yang baik; dan seterusnya.
Satpam tidak hanya bertugas sebagai security, tapi juga sebagai agen dan navigator dalam pemberian pelayanan. Mereka membukakan pintu bank untuk nasabah, tersenyum, mengucapkan salam selamat datang, dan memberikan petunjuk bagi nasabah yang akan bertransaksi. Sekali-sekali menerangkan produk bank, jika diperlukan.
Itulah standar tampak depan kualitas pelayanan bank di Indonesia. Bukan hanya bank besar, bukan hanya bank asing. Hampir semua bank memiliki standar yang lebih kurang sama.
Bahkan, termasuk Bank Central Asia (BCA), yang sudah mapan sebagai bank transaksi dan hampir semua nasabah bank adalah nasabah BCA dan dulunya tidak tertarik dengan usaha perbaikan kualitas pelayanan, tahun-tahun belakangan juga telah berbenah secara signifikan dan memperoleh peringkat yang baik dalam standar pelayanan nasabah.
Karena itu, kualitas pelayanan bukan lagi faktor pembeda, melainkan sudah menjadi komoditas. Standar kualitas pelayanan antarbank boleh dibilang hampir sama. Artinya apa? Nasabah memilih bank bukan lagi berdasarkan kualitas pelayanannya. Toh, hampir semua bank menawarkan standar yang sama.
Kalau semua standar dalam pelayanan sudah sama, apa kiranya yang menjadi pembeda kualitas pelayanan yang diberikan satu bank dibandingkan dengan bank lainnya? Kenapa bank yang mendapatkan peringkat hampir sama dalam penyediaan kualitas pelayanan berdasarkan survei pihak ketiga memiliki loyalitas nasabah yang berbeda?
Yang membedakan adalah “jiwa”-nya, spirit dalam melayani. Atmosfer kejujuran dalam mengutamakan nasabah. Kalau tersenyum, apakah tersenyum dari lubuk hati yang paling dalam atau hanya mengikuti standar mulut dibuka sedikit sambil mengucapkan greeting.
Kalau menjelaskan produk kepada nasabah, apakah dengan niat supaya nasabah benar-benar mengerti dan seakan-akan menjelaskan produk dari perusahaan miliknya sendiri atau hanya sekadar melaksanakan tugas dan membacakan brosur.
Kalau nasabah komplain dan marah-marah, apakah dengan jiwa yang terbuka memahami persoalannya dan kemudian menawarkan solusi yang win-win. Apakah pelayanan dan bantuan bagi nasabah diberikan dengan sepenuh jiwa dan perasaan senang atau tidak.
Faktor spirit dalam melayani inilah yang menjadi faktor pembeda. Ada "jiwa" dalam standar dan arsitektur melayani. Melayani bukan hanya pelaksanaan dari standard operating procedure (SOP) dalam kualitas pelayanan yang dibuat oleh divisi di kantor pusat. Nasabah merasakan itu.
Nasabah sebagai manusia yang memiliki sense dan sensitivity memahami apakah pelayanan itu diberikan dengan tulus dan sungguh-sungguh atau hanya sekadar menerapkan SOP. Loyalitas nasabah terhadap suatu bank akan tercipta kalau mereka merasakan ketulusan itu.
Jadi, tidak ada hubungan langsung antara kualitas pelayanan yang diberikan dan loyalitas nasabah di suatu bank. Kecuali, pelayanan yang diberikan berisi spirit dan jiwa yang ikhlas dalam mengerjakannya.
Nasabah akan loyal terhadap suatu bank kalau mereka mendapati standar pelayanan yang tinggi dan dengan cita rasa yang khusus disertai dengan keikhlasan dan kejujuran karyawan dalam menyediakan pelayanan tersebut. Pelayanan yang baik disertai dengan "jiwa melayani" akan menciptakan nasabah yang loyal.
Menemukan atau menciptakan "jiwa" dalam melayani tidak cukup dengan pengadaan standar dalam kualitas pelayanan. "Jiwa" itu tidak bisa diciptakan oleh arsitektur dan standar pelayanan saja, tidak bisa ditimbulkan oleh imbauan dari manajemen, tidak cukup dijadikan visi dan target perusahaan yang ditempel di dinding-dinding.
"Jiwa" dalam melayani—soul of services—itu diciptakan dan timbul dengan sendirinya dari karyawan yang memberikan pelayanan tersebut. "Jiwa" itu ada begitu saja. Tidak bisa direkayasa.
"Jiwa" itu muncul kalau karyawan ikhlas dan jujur dalam melayani. Karyawan tidak merasa terpaksa dalam melayani. Mereka melakukannya dengan gembira dan tidak merasakan itu sebagai tuntutan.
"Jiwa" itu datang begitu saja kalau karyawan merasa bagian dari perusahaan. Akan muncul seketika kalau karyawan merasa perusahaan adalah rumahnya sendiri. Seakan-akan bank itu adalah perusahaan miliknya sendiri.
"Jiwa" itu muncul di lingkungan tempat karyawan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan merasakan keterikatan emosional yang tinggi terhadap perusahaannya. Karyawan bekerja bukan karena terpaksa dan bukan semata-mata karena imbalan gaji dan benefit.
Loyalitas muncul karena karyawan diberikan tantangan dalam pekerjaan sekaligus diberikan perhatian-perhatian yang manusiawi. Karyawan diberikan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.
Karyawan diberikan pekerjaan yang berarti sehingga mereka dapat mengaktualisasikan diri. Karyawan diberikan target-target yang cukup menantang, tidak gampang untuk dikerjakan, tapi juga masih possible untuk dicapai.
Loyalitas tumbuh karena karyawan diberikan perhatian. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai robot dan mesin, tapi juga diperlakukan layaknya manusia (di-wong-ke), ditanya pendapatnya, diajak berdiskusi, diberikan empowerment, juga disentuh dengan hal-hal yang bersifat pribadi, seperti membantunya dalam keadaan susah atau malang.
Loyalitas karyawan adalah mantra ajaib untuk menciptakan kualitas pelayanan yang berjiwa, untuk benar-benar memberikan isi dan spirit bagi standar pelayanan, yang pada ujungnya menciptakan nasabah-nasabah yang loyal dan tidak gampang berpindah ke bank lain.
Mantra ini yang sekarang banyak dilupakan. Seakan-akan semuanya beres dengan penciptaan standar pelayanan dan gaji tinggi. Memang benar akan tercipta standar pelayanan yang baik. Namun, standar pelayanan yang hanya sebagai komoditas, yang tidak berjiwa, yang tidak bisa menjadi pembeda standar pelayanan dengan kompetitornya.
Bank yang memikirkan dan mengupayakan untuk memiliki standar kualitas pelayanan mungkin akan mendapatkan ranking yang baik berdasarkan customer service survey yang dilakukan pihak ketiga. Akan tetapi, bank itu belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal karena standar pelayanan nasabah yang dimilikinya hanya sebagai komoditas, bukan sebagai competitive advantage.
Bank yang mengutamakan nasabahnya belum tentu mendapatkan nasabah yang loyal. Akan tetapi, bank yang mengutamakan karyawannya akan mendapatkan karyawan yang loyal sekaligus nasabah yang loyal, yang tidak gampang berpindah-pindah bank.
Bank harus menciptakan upaya-upaya untuk meningkatkan semangat, komitmen, dan loyalitas karyawan agar kelak bisa memperoleh kualitas pelayanan yang sustainable dan nasabah yang loyal.
Karena itu, don’t bother on your quality of services and customer loyalty. Just take care your staff, and your staff will take care the customer.
Oleh : Awaldi (Praktisi sumber daya manusia (SDM) bank) / INFOBANK