30 Oktober 2012
29 Oktober 2012
Modal dan Resiko Bank
.

Sesuai dengan persamaan akuntasi Aset = Utang + Modal,
 maka setiap perubahan di Aset akan memengaruhi Utang dan atau Modal 
melalui laba rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca bank, yang 
memiliki aset Rp 100, Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga kredit
 dan deposito masing-masing 6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar 
(default rate) sebesar 0%, aset bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp
 106 dan modal menjadi Rp 6,25 melalui proses peningkatan laba sebesar 
Rp 1,25. Namun, dengan gagal bayar sebesar 4%, maka modal bank telah 
tergerus sebesar Rp 2,99 sehingga menjadi 2,01. Akibatnya pemilik bank 
akan mengalami kerugian karena tingkat pengembalian modal (ROE) menjadi 
minus 69,80%, dibandingkan dengan bila tidak terjadi gagal bayar dengan 
ROE 25%. Bila proses bisnis terus memburuk, misalnya gagal bayar menjadi
 8%, maka modal bank menjadi minus Rp 2,23, karena pendapatan bank 
menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya utang (bunga) tidak boleh default.
  
28 Oktober 2012
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
Hidup penuh dengan risiko yang terduga
 maupun tidak terduga, oleh karena itulah kita perlu memahami tentang 
asuransi. Beberapa kejadian alam yang terjadi pada tahun-tahun 
belakangan ini dan memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun harta,
 seperti mengingatkan kita akan perlunya asuransi. Bagi setiap anggota 
masyarakat termasuk dunia usaha, resiko untuk mengalami 
ketidakberuntungan seperti ini selalu ada. Dalam rangka mengatasi kerugian yang timbul, manusia 
mengembangkan mekanisme yang saat ini kita kenal sebagai asuransi.
Fungsi utama dari asuransi 
adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan resiko (risk transfer 
mechanism), yaitu mengalihkan resiko dari satu pihak (tertanggung) 
kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan resiko ini tidak berarti 
menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung 
menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan 
(peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung 
membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan 
dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya.
Asuransi jiwa adalah jawaban yang sangat tepat untuk menunjang kebutuhan kita yang tidak terduga nanti. Lalu dimanakah kita bisa mendapatkan Asuransi Jiwa Terbaik ? Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa adalah Commonwealth Life, Commowealth Life merupakan salah satu Asuransi Jiwa Indonesia yang memiliki visi cukup baik yaitu menjadi Menjadi Perusahaan Penyedia Pelayanan Asuransi Jiwa Terbaik di Indonesia, yang Terbaik dalam hal Pelayanan Pelanggan.
Asuransi jiwa adalah jawaban yang sangat tepat untuk menunjang kebutuhan kita yang tidak terduga nanti. Lalu dimanakah kita bisa mendapatkan Asuransi Jiwa Terbaik ? Salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa adalah Commonwealth Life, Commowealth Life merupakan salah satu Asuransi Jiwa Indonesia yang memiliki visi cukup baik yaitu menjadi Menjadi Perusahaan Penyedia Pelayanan Asuransi Jiwa Terbaik di Indonesia, yang Terbaik dalam hal Pelayanan Pelanggan.
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia telah banyak memberikan keuntungan dan kenyamanan bagi pemegang polis (nasabah), memiliki kinerja cukup baik dan Asuransi Jiwa Commonwealth Life sangat sehat dan mampu bertahan hingga saat ini ditengah persaingan asuransi lainnya. Commonwealth Life mulai melayani Nasabah sejak tahun 1992 dengan nama
 Astra Jardine yang kemudian berubah nama menjadi Astra CMG Life sampai 
dengan tahun 2007. Nama PT Commonwealth Life diperkenalkan untuk pertama
 kalinya pada Juli 2007, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan 
Hak Asasi Manusia nomor W7-07188 HT.01.04-TH 2007 tentang Persetujuan 
Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.
Saat ini saham terbesar Commonwealth Life dimiliki oleh Commowealth 
Bank of Australia (CBA) Group sebesar 80% (CMG Asia Life Holdings 
Limited 50% saham dan Commwealth Life International Holdings PTY LTD 30%
 saham)  dan 20% oleh PT Gala Arta Jaya. CBA adalah salah satu 
perusahaan penyedia jasa keuangan terkemuka yang menguasai industri 
perbankan dan asuransi di Australia. Dua perusahaan asuransi jiwa CBA 
yang lebih awal berdiri adalah ‘CommInsure’ di Australia' dan 
‘Sovereign’ di New Zealand yang keduanya merupakan perusahaan asuransi 
jiwa terbaik di masing-masing negara.
Seiring dengan visi dan misi perusahaan untuk selalu menjadi yang 
terbaik, Commonwealth Life terus mengembangkan produk dan layanannya 
yang tersebar di 19 kota besar dan didukung oleh lebih dari 7.500 Sales 
Force di seluruh Indonesia yang melayani Nasabah individu dan kumpulan.
![]()  | 
| Peta Jaringan Commonwealth Life yang hampir tersebar di Seluruh Indonesia | 
Performa keuangan Commonwealth Life sendiri telah berhasil mengalami 
banyak peningkatan pada Laporan Keuangan 2011. Pos laba meningkat dengan
 jumlah Rp 181 miliar lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yakni 
sebesar Rp 148 miliar. Peningkatan ini membawa pengaruh terhadap 
kenaikan pos laporan lainnya seperti kenaikan rasio kecukupan modal 
(Risk Based Capital – RBC) yaitu 676% sekitar lima kali lebih tinggi 
dari angka ketentuan oleh pemerintah. Total aset di 2010 sebesar Rp 4 
triliun dan meningkat hingga Rp 3,9 triliun di 2011. Prestasi ini akan 
memberikan motivasi kepada Commonwealth Life untuk berada pada tingkat 
yang lebih tinggi lagi dalam perusahaan Asuransi Jiwa Indonesia.
Untuk program asuransi kumpulan (group) dan perlindungan kredit (credit life), Commonwealth Life juga bermitra dengan beberapa perusahaan besar lainnya seperti PermataBank, Commonwealth Bank, Bank BTPN, BCA Finance, BII Maybank, Bank BNP, Bank OCBC NISP, Bank Index, Bank Mayora, Adira Insurance, Olympindo Multifinance. Selain itu, Commonwealth Life juga mendistribusikan berbagai produknya kepada Mitra Bank dan Non-Bank melalui program Bancassurance, mitra bisnis meraka antara lain adalah Citibank, BCA Card, AstraWorld, Telkomsel, PermataBank, Commonwealth Bank, Astra Credit Companies.
Untuk menjamin kemanan dan kenyamanan Nasabah berasuransi, Commonwealth Life memilih mitra perusahaan reasuransi yang memiliki reputasi internasional. Kredibilitas ini ditunjukkan dengan rating yang dikeluarkan oleh lembaga rating ternama yaitu:
- Cologne Re (rating AA+ oleh Standard Credit Rating)
 - Gen Re (rating AA+ oleh Standard & Poor's)
 - Marein (rating A oleh Pefindo)
 - MetLife (rating A+ oleh Standard & Poor's)
 - Munich (rating AA- oleh Standard & Poor's)
 - ReIndo - Reasuransi Indonesia (rating A+ oleh Pefindo)
 
Tidak salah jika anda menjatuhkan pilihan untuk melakukan perlindungan asuransi terhadap diri maupun keluarga dengan Asuransi Jiwa Commonwealth Life, saya sendiri berada di kota pekanbaru dan kebetulan Asuransi Jiwa Commonwealth Life telah memiliki jaringan di Kota pekanbaru dalam waktu dekat dalam kesempatan pertama saya akan berkunjung ke Asuransi Jiwa Commonwealth Life untuk bertanya-tanya. Bagi yang tertarik ataupun penasaran dengan produk Asuransi Jiwa Commonwealth Life tidak ada salahnya jika anda datang ke Cabang Asuransi Jiwa Commonwealth Life yang terdekat di Kota Anda atau mengunjungi halaman resmi Asuransi jiwa indonesia Commonwealth Life atau menghubungi Commonwealth Center di Nomor 500 525 pada jam kerja.
27 Oktober 2012
Shadow Banking, Siapa yang Mengawasi
Pengaturan terhadap shadow banking ini mendesak. Sebelum terjadi korban berikutnya. Dan, setiap krisis senantiasa menyebabkan kematian lembaga-lambaga shadow banking—yang makin nyata ini. Siapa yang mengawasi ? 
Jangan
 ditanya tingkat keuntungan bank-bank di Indonesia. Yang jelas, sangat 
tebal dan menggiurkan siapa saja, baik dari sisi margin maupun perolehan
 laba tahun berjalan. Kondisi itu sungguh membuat ngiler siapa saja, 
termasuk lembaga yang bergerak seperti bank (bank gelap) atau shadow banking dalam banyak cerita di dunia.
Cerita
 nikmatnya margin yang diperoleh bank-bank di Indonesia bahkan mengusik 
Bank Indonesia (BI). BI pun terganggu dan berusaha mengatur tingkat 
perolehan margin dengan membuat banyak kebijakan dan pernyataan bahwa 
tingkat keuntungan bank di Indonesia sudah tidak wajar dan perlu 
dikurangi karena bank-bank tidak efisien.
Sinyal Krisis Perbankan
Harus diakui memang masih ada indikator lain yang harus 
diwaspadai terkait dengan belum jelasnya penanganan krisis di Eropa. 
Sangat bijak kalau kita tidak selalu menghibur diri dengan mengatakan 
bahwa dampak krisis Eropa sudah dapat dikendalikan. 
Perkembangan
 terbaru dari krisis perbankan di Eropa memberikan indikasi yang belum 
menggembirakan. Banyak analis memperkirakan bahwa krisis tersebut lambat
 laun akan merambat ke kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Apakah krisis akan berdampak secara langsung (first round) ataupun tidak langsung (second round),
 itu hanya persoalan waktu. Tapi, jika bicara tentang besaran dampaknya,
 tentu akan berbeda untuk masing-masing negara, termasuk tiap bank di 
negara bersangkutan.
Terlepas dari kapan dan besar kecilnya dampak
 krisis di Eropa terhadap perekonomian Indonesia dan khususnya sektor 
perbankan, ada baiknya kita ingat pepatah bijak, sedialah payung sebelum
 hujan. Bukan sebaliknya, ketika hujan justru kita sibuk mencari payung.
 Dalam konteks antisipasi dampak krisis Eropa terhadap sektor perbankan 
khususnya, kita harus bijak mencermati lebih intensif atas situasi 
perkembangan yang ada. Ada beberapa indikasi yang mengharuskan kita 
lebih siaga.
Pertama, karena informasi sudah sedemikian mudah 
didapat, maka sangat wajar kalau semua pelaku bisnis sudah mengetahui 
apa yang terjadi atas krisis di Eropa. Di satu sisi, hal ini positif 
karena mereka bisa mendapatkan informasi terkini, tapi di lain pihak 
mereka juga dapat melakukan langkah-langkah sendiri yang bisa jadi tidak
 selalu tepat. Dengan perkataan lain, semakin banyak antisipasi mereka, 
bisa saja berdampak negatif bagi lainnya.
Salah satu kecenderungan
 yang terjadi adalah semakin banyaknya dana dalam bentuk mata uang dolar
 Amerika Serikat (AS) dipindahkan dari simpanan berjangka (deposito) ke 
simpanan yang sangat likuid, yaitu giro. Kecenderungan tersebut terjadi 
pada kalangan pengusaha khususnya, bukan lagi untuk mendapatkan imbalan 
bunga, tetapi lebih kepada kebutuhan likuiditas di satu pihak dan boleh 
jadi spekulasi dengan mencari keuntungan (profit taking) di tengah 
pelemahan rupiah.
Apabila semua pengusaha memiliki kecenderungan 
yang sama, di mana dananya lebih banyak ditempatkan di giro, misalnya, 
perbankan tentunya harus ekstra menjaga likuditas karena setiap saat 
dana tersebut bisa dicairkan untuk keperluan apa pun.
Seyogianya 
bank tidak “terlena” karena mendapat sumber dana murah, tapi stabilitas 
dalam jangka panjang akan mengganggu likuditasnya. Harus ada langkah 
strategis yang saling menguntungkan, baik bagi bank maupun nasabah dalam
 menghadapi kondisi tersebut.
Kedua, sekalipun likuiditas 
perbankan dalam kondisi baik, dari sisi nasabah penerima kredit bisa 
terjadi yang sebaliknya. Misalnya, kreditor yang berorientasi ekspor 
sudah mulai merasakannya, selain permintaan mulai berkurang, harganya 
cenderung turun. Bila keduanya berjalan pararel, maka persoalan yang 
timbul adalah menurunnya kemampuan membayar. Jika kondisi itu terjadi 
secara serempak, bisa jadi non performing loan (NPL) akan naik dan 
akhirnya memengaruhi kinerja bank.
Saat ini gejala tersebut belum 
begitu terasa, tapi ada kemungkinan akan membesar. Kalau ekspor terus 
menurun dan dibarengi harga komoditasnya, praktis akan mengganggu arus 
kas (cash flow) perusahaan. Belum lagi bagi industri yang bahan
 bakunya masih impor, gangguan arus kas terjadi dari dua sisi, yaitu 
biaya dan pendapatan.
Ketiga, ketidakpastian sering kali 
mengundang isu dan rumor di pasar. Kondisi ini sulit dihindari karena 
mereka juga memiliki akses informasi yang relatif mudah dan bebas. 
Tentunya akan sangat tidak produktif kalau hal tersebut terus berkembang
 sehingga perlu adanya penyeimbang informasi, termasuk dari pemerintah.
Indonesia
 di masa lalu punya pengalaman yang kurang baik, di mana semakin sering 
dinyatakan tidak ada masalah, justru dalam tempo yang relatif singkat 
masalah itu terjadi. Sering disampaikan bahwa pemerintah tidak akan 
melakukan devaluasi, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Pernah 
disampaikan juga bahwa kondisi perbankan dalam keadaan sehat, lalu 
tiba-tiba muncul masalah Bank Global dan Bank Century.
Belajar 
dari pengalaman masa lalu itu, seyogianya keterbukaan informasi lebih 
sering dilakukan. Memang akan menjadi buah simalakama. Semakin terbuka 
bisa saja direspons positif, tapi tak jarang pula respons pasar atau 
pelaku bisnis khususnya malah sebaliknya. Andai diambil untung ruginya, 
nampaknya tetap lebih baik kalau keterbukaan informasi dan penyampaian 
kondisi kekinian lebih banyak dilakukan.
Penyampaian informasi 
terkini tentunya harus disertai dengan langkah-langkah konkret dari 
pemerintah dan/atau regulator. Dengan adanya rencana langkah-langkah 
yang jelas, terbuka, serta rasional, akan mengurangi isu negatif atau 
rumor sekalipun tidak hilang sama sekali.
Ketiga catatan tersebut 
merupakan bagian-bagian yang termasuk penting. Harus diakui memang masih
 ada indikator lain yang harus diwaspadai terkait dengan belum jelasnya 
penanganan krisis di Eropa. Sangat bijak kalau kita tidak selalu 
menghibur diri dengan mengatakan bahwa dampak krisis Eropa sudah dapat 
dikendalikan.
Kalau hanya data-data publikasi, baik dari luar 
maupun dalam negeri yang digunakan, kita bisa jadi akan terjebak dalam 
pola pikir yang linier. Artinya, karena data-data sebelumnya baik, maka 
disimpulkan ke depan akan tetap baik. Padahal, krisis terjadi lantaran 
adanya “break” (menjadi tidak linier) sehingga tidak selalu semua data 
yang menunjukkan indikasi positif akan berlaku untuk seterusnya.
Pihak
 pemerintah dan regulator (Bank Indonesia atau BI) sudah mengumpulkan 
dan mengkaji berbagai sinyal yang berkaitan dengan dampak krisis Eropa. 
Berbagai simulasi (stress test) sudah dilakukan dan juga berbagai langkah penanganannya sudah disiapkan.
Demikian
 juga beberapa instrumen keuangan yang ditujukan untuk menjaga 
stabilitas perbankan khususnya juga sudah ada dan akan terus 
disempurnakan. Semua itu tentunya berkaitan dengan sedia payung sebelum 
hujan. Semoga kita memiliki payung yang tidak mudah bocor dan rusak. 
Lebih celaka lagi ketika hujan reda, kita baru punya payung. 
26 Oktober 2012
Gaji Bankir dan Multi Licence
Jangan sampai pasar yang besar itu kita sediakan hanya untuk 
kepentingan asing dengan dalil efisiensi—yang faktanya bank-bank swasta 
milik asing juga tidak efisien dan justru menikmati margin yang besar. 
Bank Indonesia (BI) kembali hendak meluncurkan beleid
 baru tentang pengaturan perbankan. Salah satunya adalah pemberian izin 
berjenjang kepada bank-bank. Nantinya bank tidak boleh seenaknya 
melakukan ekspansi seperti sekarang, yang punya satu izin bisa untuk apa
 saja. BI akan membuat aturan tentang izin berjenjang (multi licence).
Tidak
 hanya soal izin berjenjang, BI juga tengah menggodok masalah remunerasi
 para bankir di Indonesia. BI menilai, gaji bankir di Indonesia relatif 
lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan bankir di kasawan ASEAN. 
Pemicu BI akan mengatur masalah gaji bankir sejatinya adalah “oleh-oleh”
 krisis di Amerika Serikat (AS), yang salah satunya karena besaran 
remunerasi bagi para bankir perbankan di negara tersebut.
BI Rate Tetap 5,75%
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 5,75%.
 Tingkat suku bunga tersebut dipandang masih konsisten dengan tekanan 
inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan sasaran inflasi tahun 
2012 dan 2013, yaitu 4,5% ± 1%. Fokus kebijakan tetap diarahkan untuk 
menjaga keseimbangan eksternal dengan tetap mendukung pertumbuhan 
ekonomi domestik. Rapat Dewan Gubernur memandang bahwa berbagai 
kebijakan yang dilakukan sebelumnya telah mendorong penurunan defisit 
transaksi berjalan. Sementara itu, perekonomian domestik masih tumbuh 
cukup baik meskipun tidak setinggi prakiraan sebelumnya akibat 
berlanjutnya pelemahan perekonomian global. Ke depan, Bank Indonesia 
akan terus mengevaluasi dampak dari kebijakan-kebijakan yang telah 
dilakukan dan apabila diperlukan akan mengambil langkah-langkah 
kebijakan lanjutan sesuai dengan dinamika perekonomian. Bank Indonesia 
juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dalam mengelola 
permintaan domestik dan perbaikan neraca pembayaran agar tetap sejalan 
dengan upaya menjaga kestabilan ekonomi makro dan kesinambungan 
pertumbuhan ekonomi nasional. 
Dewan Gubernur mencermati bahwa 
perekonomian global cenderung tumbuh lebih lambat dari perkiraan dan 
masih dibayangi dengan ketidakpastian. Pemulihan ekonomi AS 
masih rentan, sementara ekonomi Eropa masih mengalami kontraksi seiring 
krisis yang masih berlanjut. Di sisi lain, perekonomian China dan India 
juga diprakirakan semakin menurun. Inflasi global secara umum juga 
relatif moderat, sejalan dengan harga komoditas dunia yang masih 
cenderung turun. Kondisi tersebut mendorong otoritas di berbagai negara 
untuk menempuh kebijakan yang lebih longgar untuk mendorong pemulihan 
ekonomi. Langkah ini telah menimbulkan sentimen positif di pasar 
keuangan global, termasuk arus modal asing ke negara-negara emerging. 
Langganan:
Komentar (Atom)

