Pengaturan terhadap shadow banking ini mendesak. Sebelum terjadi korban berikutnya. Dan, setiap krisis senantiasa menyebabkan kematian lembaga-lambaga shadow banking—yang makin nyata ini. Siapa yang mengawasi ?
Jangan
ditanya tingkat keuntungan bank-bank di Indonesia. Yang jelas, sangat
tebal dan menggiurkan siapa saja, baik dari sisi margin maupun perolehan
laba tahun berjalan. Kondisi itu sungguh membuat ngiler siapa saja,
termasuk lembaga yang bergerak seperti bank (bank gelap) atau shadow banking dalam banyak cerita di dunia.
Cerita
nikmatnya margin yang diperoleh bank-bank di Indonesia bahkan mengusik
Bank Indonesia (BI). BI pun terganggu dan berusaha mengatur tingkat
perolehan margin dengan membuat banyak kebijakan dan pernyataan bahwa
tingkat keuntungan bank di Indonesia sudah tidak wajar dan perlu
dikurangi karena bank-bank tidak efisien.
Sejatinya, bank-bank
memupuk laba adalah untuk kepentingan kebutuhan modal yang terus
berkembang. Bicara laba besar, itu bukanlah isu. Coba lihat bagaimana
laba perusahaan otomotif dan pertambangan serta perkebunan yang pajaknya
tidak pernah sebesar setoran laba perbankan.
BI sudah bergerak ke
urusan mikro operasional bank sehingga oleh kalangan perbankan, BI
dinilai terlalu intervensi ke masalah operasional bank. Bahkan, untuk
urusan gaji dan hadiah yang dilakukan bank-bank buat penabung pun, BI
gelisah.
Coba seandainya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) bisa lebih rendah daripada suku bunga deposito bank-bank papan
atas atau suku bunga SBI benar-benar bisa menjadi acuan. Ceritanya bisa
berubah.
BI di ujung kisah, sebelum perannya digantikan oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), harusnya lebih banyak bercerita tentang
penguatan struktur perbankan. Pemerintah pun harus berpikiran sama.
Jangan sampai kebijakan kepemilikan bank, yang baru saja keluar, tanpa
arah dan tujuan yang jelas.
Kebijakan untuk memperkuat tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance atau GCG) yang baru saja keluar beberapa bulan lalu itu sebenarnya tidak banyak memengaruhi struktur kepemilikan bank.
Saat ini sebenarnya ada dua hal yang perlu dilakukan BI. Satu, bagaimana BI dalam sisa umurnya membuat kebijakan multi licence untuk bank-bank. Tidak membuat kebijakan yang sama untuk semua bank. Bank kecil tentu berbeda dengan bank besar.
Dua,
membuat kebijakan tentang dividen yang boleh dibawa lari ke luar negeri
sehingga bank-bank yang dimiliki asing bisa terus memupuk modalnya
untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan nasional, misalnya
mendorong terus pertumbuhan ekonomi dan mendorong angkatan kerja.
Terlepas
dari itu, yang pasti, saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang
belum dilayani bank. Menurut hitungan Biro Riset Infobank (birI), masih
ada 105 juta penduduk potensial yang layak berbank tapi belum terlayani
oleh bank, baik dari sisi kredit maupun dana. Financial inclusion masih belum terlalu dalam bagi masyarakat di Indonesia sehingga posisi masyarakat masih sangat lemah dan rawan penipuan.
Banyaknya lembaga keuangan yang fungsinya mirip dengan perbankan atau sering pula disebut shadow banking
makin memperkuat pandangan bahwa potensi pasar di Indonesia sangat
kuat. Melihat kenyataan itu, ada baiknya pemerintah, BI, dan bank-bank
fokus pada pasar dalam negeri yang luas dan besar serta menggiurkan ini.
Di luar negeri shadow banking
diartikan sebagai bank yang melayani atau menerbitkan produk-produk
nonbank yang belum terpayungi oleh regulasi, misalnya bank-bank
melakukan transaksi investasi dan derivatif. Kasus Lehman Brothers
dengan subprime mortgage dapat diartikan sebagai shadow banking, yang akhirnya menghancurkan bank investasi tertua itu.
Ada
pula skandal Madoff dengan skema Ponzy-nya atau arisan berantai yang
merugikan investor hingga miliaran dolar Amerika Serikat (AS). Madoff
sendiri akhirnya harus berurusan dengan yang berwajib dan harus
menjalani hukuman selama 150 tahun.
Hal yang sama dilakukan Allan
Stanford dengan mencuri dana investor lebih kurang Rp65 triliun. Sama
dengan Madoff, dia pun kemudian harus berurusan dengan yang berwajib dan
dihukum 110 tahun.
Dalam kasus tersebut, tentunya pemerintah tak
harus membayar ganti rugi kepada investor yang dirugikan dalam skandal
tersebut. Sebab, investasi adalah wilayah privat. Kalau mau untung, ya
harus mau buntung. Yang dihukum adalah penipuannya. Pemerintah AS sangat
tegas dalam memberikan hukuman.
Bandingkan dengan kasus PT
Antaboga Delta Sekuritas yang merugikan investor sebesar Rp1,4 triliun.
Tidak ada hukuman sehari pun bagi pemilik Antaboga Delta Sekuritas.
Lucunya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong-dorong pemerintah untuk
membayar ganti rugi kepada investor yang dirugikan dalam kasus
Antaboga. Cerita ini aneh bin ajaib. Justru, kalau dibayar ceritanya
jadi merugikan negara.
Di Indonesia shadow banking adalah lembaga keuangan nonbank yang melakukan praktik perbankan, seperti perusahaan pembiayaan, private equity,
dana pensiun, asuransi, lembaga keuangan mikro (LKM), pegadaian swasta,
dan koperasi simpan pinjam (KSP) yang menjamur sekarang ini di
sepanjang wilayah Indonesia.
Shadow banking wilayah perbankan, bank yang membuat produk nonbank pengawasannya ada di BI. Sementara, shadow banking
dalam hal ini lembaga keuangan bertindak sebagai bank, pengawasannya
ada di wilayah Kementerian Keuangan. Keduanya kini berada di wilayah
OJK. Pertanyaannya, bagaimana dengan LKM atau KSP? Siapa yang harus
mengawasi ?
Banyak investor yang lebih tertarik membuat KSP
dibandingkan dengan membuat bank perkreditan rakyat (BPR) yang aturannya
ketat. Bahkan, ada dugaan, pemilik BPR sebagian besar mendirikan KSP.
Langkah itu untuk menyiasati regulasi BI. Sebab, kalau ditanya, siapa
yang harus mengawasi KSP yang bertindak sebagai bank ini? Apakah
Departemen Kementerian Koperasi dan UMKM? Ternyata, tidak pernah
dilakukan pengawasan. Bebas merdeka. Dengan suku bunga berapa pun.
Mendekati 65%.
Menjamurnya KSP di wilayah pantai utara dan pantai
selatan yang disaksikan para pemudik saat Lebaran lalu menyiratkan bahwa
potensi pasar kredit mikro sangat besar dan perbankan ternyata kalah
dalam mengantisipasinya.
Semua akan baik-baik saja jika kondisi
ekonomi membaik. Bagaimana jika cerita itu seperti Koperasi Langit Biru
yang pemiliknya melakukan penipuan investasi sebesar Rp6 triliun, yang
akhirnya pemiliknya tertangkap?
Banyak cerita pilu dalam shadow banking
ini, misalnya arisan Lebaran. Bagaimana jika lembaga pegadaian swasta
membawa lari Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) peminjamnya? Siapa
yang harus mengurus? Siapa yang mengawasi lembaga-lembaga shadow banking ini?
Sementara,
OJK tidak ada dasar hukumnya. BI bukan wilayahnya. Kementerian Koperasi
dan UMKM juga tidak pernah melakukan praktik pengawasan. Yang
dilakukannya adalah melaporkan bahwa perkembangan pendirian koperasi
berhasil karena meningkat jumlah KSP-nya.
Krisis perbankan selalu memunculkan apa yang disebut dengan flight to quality—masyarakat
memilih lembaga keuangan yang dipercaya. Namun, melihat pendirian KSP
yang menjamur, itu sejatinya menunjukkan bahwa peluang perbankan masih
tetap besar karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum berbank.
Meski
demikian, yang sangat urgen, lantaran belum ada pengaturan yang lebih
tegas terhadap shadow banking, dalam hal ini perlunya pengaturan yang
lebih tegas karena selama ini tidak ada koordinasi yang baik
antarlembaga. Pasalnya, OJK tidak bisa masuk karena undang-undang
(UU)-nya tidak memungkinkan.
Pengaturan terhadap shadow banking ini mendesak. Sebelum terjadi korban berikutnya. Dan, setiap krisis senantiasa menyebabkan kematian lembaga-lambaga shadow banking—yang makin nyata ini. Siapa yang mengawasi?
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.