Jangan sampai pasar yang besar itu kita sediakan hanya untuk
kepentingan asing dengan dalil efisiensi—yang faktanya bank-bank swasta
milik asing juga tidak efisien dan justru menikmati margin yang besar.
Bank Indonesia (BI) kembali hendak meluncurkan beleid
baru tentang pengaturan perbankan. Salah satunya adalah pemberian izin
berjenjang kepada bank-bank. Nantinya bank tidak boleh seenaknya
melakukan ekspansi seperti sekarang, yang punya satu izin bisa untuk apa
saja. BI akan membuat aturan tentang izin berjenjang (multi licence).
Tidak
hanya soal izin berjenjang, BI juga tengah menggodok masalah remunerasi
para bankir di Indonesia. BI menilai, gaji bankir di Indonesia relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan bankir di kasawan ASEAN.
Pemicu BI akan mengatur masalah gaji bankir sejatinya adalah “oleh-oleh”
krisis di Amerika Serikat (AS), yang salah satunya karena besaran
remunerasi bagi para bankir perbankan di negara tersebut.
Dua
pengaturan tersebut tentu akan menimbulkan dampak bagi bankir dan
industri perbankan. Pengaturan gaji ini setidaknya akan menimbulkan
resistansi yang tinggi di kalangan bankir. Apa sebenarnya maunya BI, kok
sudah masuk wilayah mikro perbankan? Selama ini BI tak henti-hentinya
menyebut perbankan Indonesia tidak efisien sehingga perlu menurunkan
suku bunga sekaligus menurunkan net interest margin (NIM) dan menekan biaya-biaya operasional.
Pengaturan
remunerasi bankir ini salah satu sebabnya adalah kontribusi dari
rusaknya bank-bank di AS dan G-20 (yang dalam hal ini Indonesia menjadi
anggotanya) perlu mengatur besaran kompensasi ini. Tidak peduli apakah
masalahnya sama atau tidak struktur bank di Indonesia dan AS ini.
Pokoknya gaji bankir di Indonesia harus mengikuti karena Indonesia
menjadi anggota G-20.
Secara diam-diam para bankir menunjukkan
sikap ketidaksetujuannya terhadap pengaturan remunerasi ini. Para bankir
menyarankan Indonesia dan khususnya BI tidak mentah-mentah mengadopsi
kebijakan pengaturan remunerasi ini. Alasannya, selama ini bank sudah
menerapkan prinsip kehati-hatian dan penentuan remunerasi sudah
berdasarkan komite remunerasi dan nominasi (KRN). Lebih penting daripada
itu telah disetujui oleh pemegang saham lewat rapat umum pemegang saham
(RUPS).
Selain itu, struktur bank di Indonesia berbeda dengan di
AS yang menjadi dasar pengaturan gaji bankir ini. Di AS bank yang
mengalami masalah dan menjadi kontributor terbesar dalam rusaknya sistem
perbankan adalah invesment bank, sementara di Indonesia adalah commercial bank
yang tetap mengindahkan risiko yang ada. Korelasi risiko dengan
remunerasi di Indonesia memang tidak tergambar jelas. Namun, dengan
meningkatnya laba perbankan, seharusnya dapat dilihat bahwa secara makro
perbankan di Indonesia tumbuh dengan baik.
Tidak hanya itu.
Komposisi biaya tenaga kerja di Indonesia dibandingkan dengan di
negera-negara maju, terutama di bank-bank di dunia, masih relatif lebih
rendah. Tidak sampai 25% dan bahkan dalam kisaran 18% sampai dengan 20%.
Lihat saja bank-bank di Eropa dan AS sudah di atas 40%.
Tentu
sangat berbeda. Hanya, barangkali, yang perlu digarisbawahi adalah
tingkat disparitas gaji karyawan (di level terendah) dan karyawan di
level tertinggi yang menyangkut bilangan besar. Bahkan, bank-bank swasta
yang sahamnya dikuasai asing mempunyai disparitas gaji di atas 150
kali.
Fakta lain, besaran remunerasi tidak tergantung pada
kepemilikan bank. Ukuran bank dan besaran laba pun relatif tidak terkait
dengan besaran remunerasi. Penentuan besaran remunerasi pada setiap
bank tidak sama, tapi secara garis besar, bank tetap mengacu pada
Peraturan BI (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006. Bank besar tidak otomatis
menggaji direksinya besar dan bank kecil tidak otomatis menggaji
direksinya kecil.
Nah, dengan demikian, tidak ada alasan yang
mendasar jika BI secara teknis mengatur pola konpensasi ini. Jika harus
mengadopsi pengaturan gaji seperti di negara-negara G-20, mekanismenya
perlu lewat pemegang saham yang mengetahui persis risiko yang ditanggung
bank-bank dan pengelolanya.
Jangan sampai pengaturan ini tidak
efektif dan menimbulkan gejolak bagi perbankan yang selama ini sudah
memberi kontribusi besar terhadap perekonomian. Apalagi, tidak tergambar
korelasi antara risiko dan besarnya remunerasi yang selama ini ada.
Boleh
jadi, yang perlu diatur adalah disparitas gaji karyawan (level
terendah) dan karyawan level tertinggi sebab itu sering kali menimbulkan
gejolak sosial dan cenderung mengandung risiko sosial karena
ketidaksesuaian.
Bank-bank milik asing mempunyai potensi besar
dalam disparitas gaji ini. Jadi, tidaklah benar gaji bankir lokal lebih
besar dibandingkan dengan gaji bankir asing—karena di sini sering
terjadi transfer pricing yang merugikan pajak negara.
Selain penetapan remunerasi, beleid
baru mengenai pengaturan izin berjenjang juga akan mewarnai perbankan
nasional. Beleid itu tentu akan berdampak pada ekspansi bank-bank,
terutama bank-bank menengah-kecil yang punya modal di bawah Rp1 triliun
dan bank yang punya modal di bawah Rp10 triliun.
Bank-bank menengah-kecil akan menyesuaikan beleid
baru tersebut, terutama dalam mengucurkan produk dan ekspansinya.
Tentunya BI juga sudah berpikir masak-masak akan dampaknya. Jangan
sampai yang bakal menikmati beleid izin berjenjang ini adalah bank-bank
swasta milik asing yang mempunyai modal dan produk lebih baik.
Izin
berjenjang ini harusnya memberikan keleluasaan kepada bank-bank
nasional yang sehat untuk berkembang baik di Indonesia. Rasanya BI perlu
terus berpikir bagi kepentingan nasional, tidak hanya mendorong dunia
usaha, tapi juga mendorong bank-bank nasional untuk tetap menggarap
pasar dalam negeri yang punya potensi pasar sebesar 115 juta calon
nasabah.
Jangan sampai pasar yang besar itu kita sediakan hanya
untuk kepentingan asing dengan dalil efisiensi—yang faktanya bank-bank
swasta milik asing juga tidak efisien dan justru menikmati margin yang
besar. Jadi, remunerasi bankir tidak perlu diatur lebih teknis dan
BI tetap memberi ruang bagi bisnis bank-bank menengah-kecil dalam
konteks izin berjenjang yang akan dikeluarkan akhir tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar terbaik anda, lebih dari satu komen no problem,sekarang zamannya bebas berekspresi.