Menakar Dampak Risiko Sistemik di Industri Keuangan

Indonesia yang pernah mengalami krisis moneter 1997/98, lalu krisis ekonomi 2008 dan kini krisis utang Eropa bersamaan dengan krisis fiskal Amerika serikat, tentunya harus secepatnya merespon melalui penetapan lahirnya UU tentang JPSK. 

Kasus-kasus kerugian besar di industri keuangan selalu menjadi polemik tak berkesudahan. Kasus-kasus yang sudah selesai pun, entah bagaimana cara menyelesaikannya, biasanya akan menjadi referensi baik bagi regulator dan otoritas maupun bagi pelaku industri keuangan sendiri. Bahkan, mungkin juga menjadi bahan diskusi (case study) di kampus-kampus bisnis dan manajemen di seluruh dunia.

Di Indonesia, kasus eks Bank Century hingga kini boleh dibilang belum tuntas. Buktinya, tim pengawas kasus eks Bank Century masih eksis. Padahal, sejauh yang diketahui, “keputusan politik” untuk menyelamatkan bank bermasalah itu tentu ada dasar pijakan rasionalitas dari aspek ekonomi, keuangan, hukum dan politik.

Belajar dari pengalaman penyelamatan bank tadi, maka semua pihak harus mau mengambil hikmahnya. Bagi regulator dan otoritas, yakni Bank Indonesia dan pemerintah, harus mampu merumuskan beberapa langkah strategis supaya peristiwa serupa tak terulang.

Pertama, kembali mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan draft RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Regulasi itu sangat diperlukan sebagai landasan hukum  bagi BI dan pemerintah terkait dengan kebijakan di sektor keuangan, terutama bila terjadi krisis.

Semakin terintegrasinya industri keuangan antara lembaga bank dengan lembaga non bank menjadi dasar pertimbangan yang valid untuk memprioritaskan lahirnya UU JPSK sesegera mungkin. Ini sekaligus melengkapi keinginan kuat para pemangku kepentingan paska-hadirnya lembaga pengawas industri keuangan secara terintegrasi bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kedua, jika RUU JPSK kembali dibahas, maka belajar dari kasus eks Bank Century, DPR perlu lebih serius membahas pasal-pasal di dalam draft RUU JPSK yang terkait dengan batasan atau definisi mengenai “dampak sistemik” dari tutup atau ditutupnya sebuah bank.

Hal itu terkait dengan status apakah bank yang mengalami kesulitan akan dibiarkan tutup atau ditutup ataukah perlu diberi bantuan dana talangan seperti halnya eks Bank Century.

Bab yang secara spesifik membahas definisi “dampak sistemik” perlu dijabarkan secara rinci, bahkan disertai kejelasan ukuran kuantitatif agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya maupun pascapelaksanaan.

Ini penting untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang mengambil keputusan dan yang mengeksekusi keputusan itu.

Kabarnya draf pasal yang terkait dengan pembahasan “dampak sistemik” penutupan sebuah bank, masih bersifat umum, tidak secara spesifik dan detil dimaknakan. Rancangan pasal itu dinilai terlalu makro, kurang teknis operasional sebagai sebuah petunjuk teknis operasional (juklak atau juknis) karena tidak ada indikator-indikator kuantitatifnya.

Hal seperti Ini berpotensi menimbulkan multitafsir sesuai referensi dan kompetensi para pihak. Polemik pascapenyelesaian eks Bank Century yang terjadi hingga kini menjadi bukti sahih bahwa penafsiran atas pasal atau ayat dalam sebuah ketentuan perundang-undangan yang bisa dipahami oleh banyak orang menjadi penting dinyatakan secara tegas.

Di sini ada beberapa definisi tentang dampak sistemik terkait penutupan bank. Definisi pertama dari Oliver de Brandt dan Philippe Heartman (2000) dalam Working Paper Nomor 35 tahun 2000 yang diterbitkan Bank Sentral Eropa. Menurut mereka, dampak sistemik akibat penutupan bank adalah jika penutupan itu memancing kepanikan nasabah bank-bank lain untuk rush atau beramai-ramai menarik dana sehingga bank-bank itu mengalami kesulitan likuiditas.

Boleh jadi definisi tersebut kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia karena para deposan cukup rasional dan tidak mudah terpancing emosinya jika mendengar kabar rencana penutupan sebuah bank oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Definisi kedua dari Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) melalui artikel yang diterbitkan oleh dana Moneter Internasional (IMF). Menurut mereka, dampak sistemik dari penutupan sebuah bank bisa dari faktor bank itu sendiri, keterkaitan bank tersebut dengan bank lain, perundang-undangan, dan akibat kondisi ekonomi makro.

Definisi ketiga, dari kesepakatan para ahli keuangan saat menilai kebangkrutan perusahaan Goldman and Sach, serta AIG (perusahaan asuransi raksasa) di Amerika Serikat. Menurut mereka, risiko sistemik akibat penutupan bank atau institusi keuangan yang lain adalah jika bank atau institusi itu terlalu besar ukurannya (aset, pangsa pasar, omzet) untuk ditutup atau biasa diistilahkan “too big too fail”. Definisi ini bisa dikuantitatifkan, yaitu berapa ukuran (aset, pasar, omzet) suatu bank dikategorikan terlalu besar yang kemudian menjadi dasar untuk menutup bank tersebut.

Sebenarnya masih ada definisi keempat, yang muncul belakangan, di mana sebuah lembaga keuangan atau bank dapat dikatakan berisiko sistemik jika memiliki keterkaitan yang kompleks dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Ini diistilahkan dengan “too interconnectivity”.

Jika ada sebuah bank kecil, namun memiliki keterkaitan dengan banyak bank dan lembaga keuangan non bank yang lain, maka bank tadi tergolong sistemik. Kalau terjadi apa-apa dengan bank tadi, maka walaupun ukurannya kecil, bank tadi harus diselesaikan guna menyelamatkan pihak-pihak yang terkait dengan bank tadi.

Masih ada pula rumusan indikator dampak sistemik penutupan bank, dilihat dari enam variabel banking pressure index (BPI). Variabel itu menyangkut nilai tukar riil efektif, indeks harga saham gabungan (IHSG), angka pengganda uang, produk domestik bruto (PDB) riil, nilai ekspor, dan suku bunga jangka pendek. Besar indeks antara 0 dan 1. Jika indeks lebih besar dari 0,5, maka industri perbankan itu akan terkena risiko sistemik dari perubahan variabel yang digunakan untuk menyusun indeks tersebut.

Langkah ketiga yang harus ditempuh boleh BI dan pemerintah adalah mempelajari secara seksama keputusan lembaga tinggi dan tertinggi hukum yang bersifat tetap (inkracht) terkait penyelesaaian kasus perbankan untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Selanjutnya, terhadap lembaga keuangan yang terkena putusan hukum harus segera melaksanakan keputusan tadi untuk memenuhi asas keadilan dan kepatutan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia saat ini yang sewalktu-waktu bisa menghadirkan krisis ke perekonomian Indonesia, maka sebaiknya pembahasan draft RUU JPSK diprioritaskan oleh DPR. Juga lebih baik lagi apabila pasal-pasal yang berkaitan dengan batasan atau pengertian tentang “risiko atau dampak sistemik” dapat diperkuat sebagai pegangan secara hukum bagi para pengambil keputusan untuk melakukan tindakan darurat dalam konteks penyelamatan sebuah lembaga keuangan atau bank.

Regulator dan otoritas di beberapa negara Eropa Tunggal (Euro Zone) sudah melakukan hal itu sehingga sejumlah lembaga keungan dan bank di Italia, Spanyol, dan Yunani dengan cermat dan pasti bisa melakukan pemberian dana talangan (bailout) untuk menyelamatkan industri keuangan mereka, bukan hanya menyelamatkan bank-banknya saja.

Indonesia yang pernah mengalami krisis moneter 1997/98, lalu krisis ekonomi 2008 dan kini krisis utang Eropa bersamaan dengan krisis fiskal Amerika serikat, tentunya harus secepatnya merespon melalui penetapan lahirnya UU tentang JPSK.

Sungguh akan sangat berisiko, ketika tiba-tiba terjadi krisis ekonomi yang akut, ternyata tidak ada satu pun lembaga dan pejabat negeri ini yang berani mengambil keputusan darurat untuk menyelamatkan industri keuangan yang sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional karena ketiadaan payung hukum berupa UU JPSK. Ongkos pemulihannya akan sangat besar dan berat.

Penulis : Ryan Kiryanto