ATM yang menjadi saluran penting perbankan jumlahnya belum
ideal. Perlu peningkatan kemampuan teknologi dan fitur transaksi untuk
meningkatkan transaksi.
Masihkah cara
manual sekaligus konvensional dalam akses kanal perbankan, yakni memijit
kode digit, menunggu menu tampil, memprosesnya di layar kecil, keluar
uang tunai, ambil struk, dan seterusnya menjadi pilihan masyarakat
Indonesia? Pada waktu bersamaan, aneka komputer tablet dan ponsel cerdas
bertemu berbagai layanan perbankan yang compatible sehingga akses kanal melalui medium virtual menawarkan berbagai kemudahan dan kepraktisan.
Apakah automatic teller machine
(ATM) menjadi opsi layanan perbankan terpilih dalam deru kemajuan zaman
dan layanan yang membuat semuanya tercakup dalam satu genggaman gadget?
Faktanya,
meski jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini berkisar 55 juta
(dengan aneka pencapaian seperti pengguna Facebook terbanyak kedua dan
Twitter terbanyak kelima di dunia), tak terjadi perubahan signifikan
dalam kanal layanan perbankan.
Berdasarkan survei internet
banking yang kami lakukan tahun lalu, ATM ternyata masih menjadi pilihan
pertama masyarakat Indonesia dalam saluran layanan, selanjutnya diikuti
internet banking, layanan di kantor cabang, SMS banking, dan mobile
banking.
Posisi tersebut layak dijadikan prolog dalam tulisan ini
mengingat sejumlah data penunjang berikutnya masih menunjukkan betapa
kuatnya eksistensi ATM—yang secara bersamaan memperlihatkan aneka
potensi yang belum dikembangkan. Kuatnya eksistensi ATM terlihat dalam
dua variabel. Pertama, ditilik dari sisi volume dan transaksi harian
sepanjang periode 2007-2011, keduanya mencatat pertumbuhan masing-masing
22,10% dan 21,35% per tahun.
Ambil contoh pada 2007, volumenya
mencapai kisaran 1 juta transaksi per hari dengan nilai uang ditarik
rata-rata Rp1,7 triliun per hari. Lima tahun kemudian, pada 2011,
volumenya naik menjadi 2,3 juta kali dengan nilai Rp2,5 triliun. Kini
estimasi pada 2012 ada 2,7 juta volume transaksi dengan nilai Rp3
triliun (meliputi tunai Rp1,4 triliun, belanja Rp100 miliar, transfer
intrabank Rp1,1 triliun, dan transfer antarbank Rp250 miliar).
Dari
angka di atas, jika dibagi rata, rata-rata mencapai 158 transaksi per
ATM per hari dengan rata-rata transaksi Rp157.487.401 per ATM per hari.
Sebuah angka yang cukup menggembirakan, sebenarnya. Kendati
demikian, rentang transaksi minimal adalah 120 transaksi dan maksimal
450 transaksi per ATM. Dengan pendekatan standar negara maju, rata-rata
transaksi malah antara 500 dan 1.000. Karena itu, masih ada pekerjaan
rumah utilisasi bagi perbankan nasional.
Kedua, dari jumlah ATM,
berdasarkan data Bank Indonesia (BI), saat ini berkisar 47.000 unit atau
naik 43,3% dari 2010. Lima bank terbesar pemiliknya adalah BRI (11.111
unit), Bank Mandiri (10.361 unit), BCA (8.836 unit), BNI (6.831 unit),
serta Bank CIMB Niaga (1.749 unit). Dari sisi persentase
komposisi kepemilikan, bank umum memiliki ATM 58%, BPD 28%, bank syariah
8%, serta BPR 6%. Demikian juga jika dibandingkan dengan penetrasi di
negara lain, angka ini masih sangat minim.
Kita lihat dari sisi
rasio jumlah ATM per 1.000 kilometer persegi (km2), dalam hal ini
sebarannya mencapai 12,39. Bandingkan dengan tiga negara tetangga kita,
yakni Malaysia (33,12), Thailand (80,68), dan Filipina (30,35). Artinya,
ATM masih jarang di sekitar kita.
Dari sisi jumlah ATM per
100.000 populasi orang dewasa, rasionya 13,37, sementara Malaysia 50,18,
Thailand 77,69, Filipina 14,88, Brasil 120,62, bahkan Jepang dan
Amerika Serikat (AS) rasionya masing-masing 132,96 dan 173,75.
Dengan
mengacu pada jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang terus
terjadi di Indonesia, jelaslah sudah bahwa angka saat ini masih jauh
dari ideal. Perbankan harus membuat kanal layanannya lebih tersebar dan
mudah ditemukan. Artinya pula, rata-rata 15 ATM/100.000 populasi di
Pulau Jawa dan Bali, Pulau Kalimantan (7/100.000 populasi), Pulau
Sumatera (15/100.000 populasi), Sulawesi (4/100.000 populasi), dan Papua
(8/100.000 populasi), masih perlu ditingkatkan.
Selain kuatnya
data tersebut, di lain sisi terdapat tiga isu utama yang harus menjadi
prioritas ke depan. Ketiga itu tersebut adalah mengenai keluhan
operasional, layanan ke depan yang harus disediakan, serta rencana
migrasi kartu ATM.
Dari segi keamanan, kejadian pencurian saldo ATM dengan proses scamming di Bali beberapa tahun silam adalah isu yang tak boleh sekalipun diremehkan. Jangan pernah tidak waspada.
Prioritas kedua adalah bersiap menyediakan berbagai bentuk layanan advance ATM, antara lain menyediakan ATM berbicara (talking
ATM) yang ditujukan bagi saudara kita kaum tunanetra. Juga menarik
disediakan adalah ATM multi currency, seperti sudah dilakukan Myanmar
Foreign Trade Exchange Bank dengan kurs dolar, pound, euro, dan dolar
Hong Kong.
Ada pula menu biometric identification, dalam
hal ini akses baru akan dilayani kalau scan telapak jari berhasil
diidentifikasi. Termasuk juga menyediakan gold ATM yang akan
mengeluarkan batangan emas seperti dimulai di London tahun lalu.
Prioritas
terakhir adalah mengenai perlunya perbankan nasional mengelola sebaik
mungkin antara peningkatan layanan melalui migrasi kartu ATM magnetik
ke cip dan nilai investasi yang dibutuhkan. Jangan sampai bujet yang
dikeluarkan tidak efektif karena tidak meningkatkan loyalitas pelanggan
atau menarik pelanggan baru, misalnya. Karenanya, penting untuk
menyosialisasikan keunggulan migrasi tersebut. Apalagi BI akhir tahun
lalu sudah mengeluarkan surat edaran yang meminta perbankan mulai
menerapkan kebijakan migrasi ini dengan tenggat pemenuhan aturan
selambatnya 1 Januari 2016.
Secara paralel, BI juga meminta
perbankan tidak membebankan migrasi ini kepada nasabah. Terlebih seluruh
bank telah berkomitmen bersedia menanggung biaya karena pergantian
kartu merupakan bagian dari layanan meningkatkan keamanan.
Dalam
sebuah kesempatan Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja, mengatakan,
migrasi kartu ATM magnetik ke cip butuh waktu sedikitnya tiga tahun
dengan investasi yang dibutuhkan US$14 juta. Secara keseluruhan, migrasi
butuh biaya minimal US$2-US$5 per kartu. Hingga Juni 2011, kartu ATM
dan kartu debit yang beredar mencapai 55,14 juta kartu atau meningkat
22,92% dibandingkan dengan Juni 2010 sebanyak 44,21 juta kartu.
Karena
itulah, migrasi menjadi prioritas komitmen seluruh bank nasional yang
harus diproyeksikan sebagai metode dalam meningkatkan loyalitas dalam
jangka pendek serta meningkatkan kualitas layanan dalam jangka
menengah-panjang.
ATM di Indonesia masih mengalami proses
pertumbuhan sehat dan dalam fase kompetitif sangat sehat. Karenanya,
layanan masih jauh dari titik jenuh. Namun, optimalisasi tetap
diperlukan, terutama melalui percepatan penetrasi dan peningkatan fitur.
Dimitri Mahayana (Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision) / infobanknews