Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak yang terkejut mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis ekonomi atau moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikat dan Bahkan di dunia.
Ada sebuah analisa lain, selain yang disampaikan oleh Dahlan Iskan tempo lalu di harian Kompas. Analisa ini saya dapatkan dari mailist sumbernya saya lupa. Artikel ini diberi judul : Asal Mula Krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat.
Asal Mula Krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat (AS)
Pada 2001-2005, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung seiring rendahnya suku bunga perbankan akibat kolapsnya indutri dotcom. Sejak 1995, industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank.
Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya melalui skema subprime mortgage. Gelembung perumahan ini terjadi di banyak negara bagian, seperti California, Florida, New York, dan banyak negara bagian di barat daya.
Saat bisnis perumahan mulai booming pada tahun 2001 ini, banyak warga AS berkantong tipis yang membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah). Pada tahun 2006, ketika koreksi pasar mulai menyentuh gelembung bisnis perumahan di AS, ekonom Universitas Yale, Robert Shiller memperingatkan bahwa harga rumah akan naik melebihi aslinya.
Koreksi pasar ini, menurutnya, bisa berlangsung tahunan dan menyebabkan penurunan nilai rumah-rumah tersebut hingga muliaran dolar AS. Peringatan itu mulai terbukti ketika pada akhir 2006, sebanyak 2,5 juta warga AS yang membeli rumah melalui skema tadi tak mampu membayar cicilan. Harga rumah yang mereka kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya. Akibatnya, menurut laporan perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, RealtyTrac, sebanyak itu pula, rumah yang akan disita dari penduduk AS.
RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru.
Tidak semua warga negara AS memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau memiliki sejarah kredit yang baik. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran, pekerja-pekerja seperti office boy, pedagang kecil, dan pembersih rumah atau kantor (mirip pemberian kartu kredit yang jor-joran di Indonesia, seorang office boy punya 2 sd 5 kartu kredit).
Sebenarnya, mereka dianggap tidak layak mendapatkan pinjaman untuk memiliki rumah murah, karena sejarah kreditnya kurang baik dan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk mencicil. Untuk itulah diadakan subprime mortgage.
Pembiayaan jenis ini sebenarnya berisiko, baik bagi kreditor maupun debitor, karena bunganya yang tinggi, sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah. Kamus online Wikipedia menjelaskan, Subprime Lenders (Pemberi pinjaman), biasanya adalah lembaga pembiayaan perumahan, mengumpulkan berbagai utang itu (pool) dan menjualnya kepada bank komersial. Oleh bank komersial, sebagian portofolio tersebut dijual lagi kepada bank investasi. Oleh bank investasi, kumpulan utang tersebut dijual kepada investor di seluruh dunia seperti bank komersial, perusahaan asuransi, maupun investor perorangan.
Kumpulan utang tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) yang merupakan bentuk utang yang dijamin. MBS ini termasuk salah satu bentuk transaksi derivatif yang penuh risiko. Ketika pembeli rumah membayar bunga, baik pada cicilan bulanan atau pada saat pelunasan, pembeli MBS mendapat pendapatan. Layaknya transaksi derivatif lain, MBS bisa dibeli dari tangan pertama atau berikutnya. Artinya, investor yang sudah membeli MBS bisa menjualnya lagi ke investor lain. Perolehan pendapatan dibagi menurut jenjang atau senioritas pembeli MBS ini. Dan ini menjadi beban seluruhnya bagi pembeli rumah. Ini membuat nilai yang harus dibayar pembeli rumah melambung tinggi hingga 100% dari nilai aslinya.
Meskipun tergolong kredit berisiko tinggi, bank investasi dan hedge fund (HF) tetap memainkan instrumen ini, karena para investor dari golongan pemain baru banyak yang tertarik membeli MBS. Ditambah lagi ada dukungan pemeringkatan yang dibuat lembaga seperti Standard & Poor’s (S&P).
Akibatnya, menjelang 2007, pembeli rumah dengan skema ini tak sanggup mencicil kredit rumah murah tersebut lantaran semakin sulitnya perekonomian AS. Ketika ini terjadi, satu-satunya jaminan bagi MBS adalah rumah-rumah itu sendiri. Namun, karena penawaran perumahan ternyata melebihi permintaan seiring gelembung industri perumahan dalam 2001-2005, nilai rumah-rumah itupun turun, tidak sesuai lagi dengan nilai yang dijaminkan dalam MBS. Sementara bank investasi dan HF harus tetap memberi pendapatan berupa bunga kepada para investornya. Inilah asal mula terjadinya krisis subprime mortgage yang berimbas ke seluruh dunia.
BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :
1. Kreditor Perumahan Murah
Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2 tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.
Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan membuat takut investor.
Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.
2. Perusahaan Pemeringkat
Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan risiko instrumen utang tersebut.
3. Investment Banks (Bank Investasi)
Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya dalam waktu yang tidak lama.
Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve (The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.
Dampak Krisis Subprime Mortgage Amerika Serikat (AS)
Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.
Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap penawaran saham BNI juga sempat terganggu.
Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)
Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia. Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.
Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000 menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.
Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007 menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial -10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.
Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun, sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.
Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi 3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga. Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul 10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.
Kebijakan Bank Sentral Untuk Mengatasi Krisis Subprime Mortgage
Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia. Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.
Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah USD 29 miliar.
Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.
Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.
Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.
Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil tinggi khususnya di negara berkembang.
Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-pemerint ah negara seluruh dunia.
Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja perusahaan-perusaha an sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh. Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusaha an keuangan sedemikian besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.
Kesimpulan
Kebijakan perubahan suku bunga bank sentrak yang tidak diimbangi dengan koordinasi yang komprehensif dengan pengawasan penyaluran dana terutama sektor non produktif (property) memiliki dampak yang luas terhadap stabilitas system keuangan jangka panjang, sikap perbankan yang kurang hati-hati dan penerbitan derivative securities yang terlalu liberal tanpa didukung oleh pemberdayaan sektor riil yang produktif juga memiliki kontribusi yang besar terhadap kerapuhan ekonomi, terakhir adalah peranan dari pemeringkat yang memberikan penilaian yang terlalu confidence terhadap fenomena market yang dominant debt market juga memberikan peranan terhadap krisis lembaga keuangan keuangan.
Dengan demikian be carefull dengan kebijakan pengaturan suku bunga yang terlalu mempercayakan kepada market, be carefull dengan laporan pemeringkat yang terlalu overlooked, dan be strong dengan pengawasan terhadap perbankan dan lembaga keuangan yang banyak mengucurkan dana public untuk sektor konsumtif termasuk property.